15 Januari 2014
Saat terbangun di pagi hari dan melongok melalui jendela, ternyata memang benar hotel kita itu berada di tengah hutan. Kanan kiri pohon, dan kering semua. Saya tidak keluar untuk berfoto di tamannya, dingin ah. Enakan di dalam restoran, hangat. Tapi setelah keliling-keliling rak, kok kayaknya tidak ada yang menggugah selera ya. Ada omelette, tapi dibuat raksasa, jadi tamu tinggal colek saja, pindahkan ke piring. Scrambled egg yang sudah saya sendokin agak banyak ternyata kurang enak juga. Mangkok-mangkok lainnya kebanyakan salad-salad gitu. Akhirnya yang saya ambil hanya miso soup, kentang goreng, sedikit nasi, sama croissant. Cobalah, masa kentang goreng sama nasi? Hahah..
Untung seorang teman – BuDe -bawa ikan teri. Jadilah saya melahap nasi dengan teri (diam-diam tentunya). Plus pakai saos botolan yang saya bawa.
Bus kemudian berangkat. Menuju Yokohama. Mau makan siang di sana dan ke Motomachi, salah satu shopping street terkenal di situ. Tadinya mau ke Chinatown, tapi setelah dipikir-pikir, toh sama saja Chinatown dimana-mana, kita sepakat untuk tidak ke sana.
Makan siang ala orang Jepang bersila dengan meja rendah perlu effort bagi yang pakai boots, soalnya harus buka boots kan. Kami makan, hmm, sukiyaki kali ya. Kayak semur daging dan tahu, plus mie halus, sayur, dan ada jamur juga. Minuman sudah pasti green tea, sejak awal minum itu terus. Enak. Perjalanan di saat cuaca dingin membuat kami semua cepat merasa lapar, jadi makanan pun cepat masuk ke dalam perut. Di tempat makan ini, yang melayani kami berpakaian kimono semua. Ibu-ibu, kelihatan dari bagian belakang kimono yang berbentuk bantal dan panjang lengan separuh.
Sehabis makan, ada perjuangan lainnya sebelum ke Motomachi. Jadi teman-teman ada yang sudah pada kehabisan Yen, karena hanya bawa sedikit, berharap bisa menukar dollar di sini. Tapi ternyata hotel-hotel sebelumnya gak ada money changernya, maka oleh guide, disarankan menukar ke bank. Dan ternyata ribet banget prosesnya, sampai satu jam lebih, padahal teman-teman sudah pool uangnya atas nama satu orang saja. Saya sih santai-santai saja, karena Yen saya masih ada. Bukan karena bawanya banyak sih, tapi bagaimana mensiasatinya. Yen dipakai kalau mau bayar-bayar di tempat yang tidak bisa terima card. Tapi kalau bisa terima card, kan bisa bayar pakai kartu kredit. Pakai debit Visa juga bisa.
Jadi selama teman-teman pusing di dalam bank, yang menunggu di luar mengisi waktu dengan foto-foto gila dan keluar masuk supermarket, mencari kehangatan. Menyeberang jalan bolak-balik untuk mendapatkan hasil foto saat melompat atau bergaya terbang. LOL.
Motomachi Shopping Street
Sampai di sini jam tiga sore, sudah terasa gelapnya. Di Motomachi ini banyak butik, toko, dan juga restoran, jejeran toko berhadapan dengan jalan raya yang kecil namun tetap bisa dilalui mobil. Mirip dengan Pasar Baru di Jakarta, tapi versi ini lebih modern, bersih dan tertata. Banyak yang branded, tapi toko biasa juga ada. Rata-rata menjual perlengkapan musim dingin seperti coat dan boots.
Kadang suka lupa, kirain ini komplek toko non kendaraan, jadi suka mau nyebrang sembarangan. Tapi selama trip kemarin, saya belum pernah dengar suara klakson. Memang di sana kendaraan jarang sekali menggunakan klakson, digunakan kalau terpaksa saja.
Saya menemukan juga sebuah toko yang menjual blus rajut dengan motif kucing yang cantik. Kalau dikurs rupiah, kurang lebih harganya jadi enam puluh ribu. Saya ambil.
Eniwei, di sini banyak sekali yang membawa anjingnya berjalan-jalan. Dan semuanya didandani, dipakaikan sweater-sweater lucu. Waktu saya keluar dari toko blus rajut tadi, ada dua ekor anjing kecil di dalam stroller yang menggigil kedinginan, meskipun sudah pakai sweater. Hahah, kasihan ya.
Ngopi. Akhirnya setelah beberapa hari, saya menemukan Starbucks. Tapi rasa kopinya beda dengan yang di Jakarta. Dan juga beda dengan rasa kopi asli Indonesia. Harganya? Beda tipislah, size tall di Yokohama empat puluh ribu, di Indonesia tiga puluh satu ribu.
Odaiba Aqua City
Kalau pergi dengan travel, ya gitu. Waktu dimepet-mepetin. Capek dan cepat lapar hahah… Motomachi sebentar saja dan langsung cabut, mau ke kawasan Odaiba, yang dekat dengan pelabuhan Tokyo. Ini kawasan bisnis dan juga wisata, mallnya gede-gede. Kami dibawa bus berputar dulu, melihat gundam raksasa, kemudian ke mall Aqua City, untuk dinner. Saya tidak ikut dengan beberapa teman cowok yang pergi untuk memotret gundam raksasa, kita perempuan memilih hangat-hangat saja di dalam mall. Eh, iya di sini ada replika patung Liberty lho. Semakin sore semakin banyak yang berfoto di situ. Lumrah, pemandangannya indah dari atas situ.
Di mall ini sih, mostly pada borong oleh-oleh, seperti Tokyo Banana, mochi coklat, green tea, sampai souvenir. Di sini pun ada toko Ladies, yang menjual boots dengan harga around Y 900 – 1500. Saya mencoba satu ankle boots di kaki, dan ternyata lembut sekali bagian dalamnya, langsung deh dibeli, hehe..
Saat makan malam, akhirnya guide mengabulkan protes saya. Saya bilang, saya tidak makan sashimi, apakah bisa diganti menu sashiminya dengan yang lain? Akhirnya bisa, dua orang dari rombongan pun diganti menu sashiminya dengan fried chicken.
Setelah kelar, saatnya kembali ke hotel. Kita menginap di Hotel Villa Fontaine Roppongi. Letaknya di dekat jalan raya dan tidak ada akses bus untuk ke lobby, sehingga kami harus turun di tepi jalan dan mendorong bagasi masing-masing. Ah, untunglah hanya bawa satu bagasi. Hotel yang ini khas hotel metropolitan, terlihat lebih minimalis dan kaku. Dan syukurlah ada free WiFi di lobby, maka ngejogroklah semua di lobby demi bisa update status atau ngecek email. Saking minimalisnya hotel ini, lobbynya itu sekalian pula jadi restoran di pagi hari.
Malam itu kita jalan sendiri, menikmati Tokyo di malam hari. Dari kejauhan saya melihat Tokyo Tower kita tidak sempat ke sana dengan lampu-lampunya yang cakep. Di daerah Roppongi ini banyak pub di setiap sudut, dengan orang-orang hitam sebagai calo pub-nya. Biasanya mereka akan ajak turis mengobrol, kemudian dirayu dan diajak ke atas (pub), disuguhi minuman hingga mabuk, lalu dikasih escort juga, dan tahu-tahu uang kita sudah habis saja. Itu kata guidenya, jadi mesti mawas diri kalau di tempat ini. Kita singgah ke Hard Rock Cafe, lalu ke Wendy’s. Tadinya mau ngopi, tapi ternyata kafenya sudah mau tutup karena sudah hampir jam setengah sebelas malam.
Eh, tapi Tokyo ini hebat deh. Jadi kan, saat kami berjalan kembali ke hotel, ternyata jalan pedestrian yang tadi kami lewati sudah ditutup karena ada pekerjaan perbaikan jalan. Nah, ternyata oleh kontraktor pekerja, sebagian jalan raya sudah diberi pembatas yang cukup lebar agar pejalan kaki bisa lewat situ. Dan, di setiap belokan jaraknya 2 meteran gitu ada petugas yang berdiri dan mengarahkan kami ke arah yang benar. Meski sudah malam, tetap tersenyum ramah pada kami. Wuih, profesional sekali. Coba kalau di negara kita ini, pasti bilangnya begini, “Bu. Bu. Lewat sini, Bu!” dengan tampang sengak dan rokok di selipan jari. Lol.
foto-fotonya keren mba
Aku nyesel ga ke yokohama pas di jepang. Padahl di sana itu ada rollercoaster yg masuk seolah2 ke dalam air :p. Kyknya seru bangettttt.. Next k jepang hrs ksana..
Itu kenapa aku ga suka kalo traveling ga nyiapin mata uang lokalnya mba. Pasti repot kalo hrs nuker2. Makanya sebelum pergi aku pasti tukar uangnya dulu. Kbtulan bank tempat aku krja juga nyediain 10 mata uang yg banyak di pakai, dengan rate staff pula. Kalo mata uangnya ga lazim , baru deh tukarnya di bandara pas sampe ke negaranya itu.. Sebisa mungkin klo hrs nuker di bank ato money changer itu udh last option banget lah 😀
Iyaaa…. masa sampai di sana baru repot tuker-tuker uang. Repot kan?
Levitasinya kereeen banget mbak. Trim berbagi trik kapan card kapan yen….
Lihat foto-fotonya yg keren saya serasa berada disana juga nih mba…
Keren abis foto-fotonya. Rupanya mba jago motret juga ya…
Terima kasih Mas Ujang.. 🙂
Levitasinyaaaaa!
itu yang dipakai foto-foto pakai camera apa kak? keren habis…
btw belum absah loh jalan jalan ke jepangnya kalau masih bawa teri sama saos botolan, haha
Pake Canon 60D…
Hahah… gimana dong, lidah tetap selera Indonesia..