gunung fansipan vietnam

Vietnam Trip: Gunung Fansipan, Atap Indochina

Gunung Fansipan puncak tertinggi di Indochina adalah tujuan kami di hari keempat trip ke Vietnam. Jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel Bora, tempat kami menginap malam sebelumnya, setelah mengunjungi Cat Cat Village.

Setelah menyerahkan kunci kamar dan koper ke pegawai hotel, kami langsung mencari meja untuk sarapan. Ternyata Hotel Bora Sapa cukup terkenal di kalangan travel agent, terlihat dari betapa ramainya restoran pagi itu. Beberapa grup terlihat mengenakan t-shirt dengan warna seragam, sebagian besar dari mereka ibu-ibu dan oma-oma.

Eh ternyata menu chicken grillnya juga ada. Ya sudah saya ambil sedikit untuk Vay, sementara saya tetap saja sarapan roti dan telur.

So, menuju Gunung Fansipan dengan bus kecil

Kami melaju lagi dengan bus kecil kami ke Fansipan. Suasana pagi itu masih gerimis, tapi apa boleh buat. Sepatu kami berdua sudah kering 80%, dan kami sudah mengenakan jaket karena katanya udara akan dingin di atas.

Payung juga masih dibawa. Payung yang kemarin sore dibeli saat di desa adat masih cukup kuat ternyata, meskipun dari plastik.

Ada apa di Fansipan Vietnam?

Tempat yang satu ini terkenal karena Gunung Fansipan yang menjulang setinggi dan sering tertutup kabut tebal. Gunung Fansipan berada di provinsi Lao Cai, Vietnam dan menjadi destinasi favorit pagi para pendaki maupun wisatawan.

Wisatawan? Ya, jadi meskipun kita sebagai wisatawan bukanlah pendaki profesional, kita juga bisa menikmati tempat indah ini dengan cara lebih mudah, naik cable car.

Berapa Tinggi Gunung Fansipan?

Gunung Fansipan memiliki ketinggian 3.143 meter di atas permukaan laut, sehingga menjadikan dia sebagai yang tertinggi di Vietnam sekaligus di seluruh Semenanjung Indochina. Saking tingginya, puncak gunung ini sering tertutup awan, sehingga bila kita berdiri atasnya, kita akan merasa seperti sedang berdiri di atas “lautan awan”. Karena itulah, ada julukan khusus untuk Fansipan, yaitu:  “Atap Indochina”.

Kami pun tiba di Sun World Fansipan Legend. Gerbang ticketing masih sepi. Dari depan kami masuk lagi ke dalam, berjalan kurang lebih beberapa ratus meter. Kayaknya sih kami termasuk pengunjung pertama, masih sepi banget.

Ada Rumah-rumah Tradisional

Deretan rumah tradisional adalah yang pertama kali menyambut kami. Sepertinya itu tempat mereka menjual kerajinan seni, tapi karena hari masih pagi jadi belum pada buka. Lebih duluan turis datang dibanding yang jualan. Mungkin agak siang baru suasana lebih ramai.

Sunworld Fansipan Legend
Ada apa di Fansipan Vietnam

Ketemu Taman Kaktus yang Keren Banget

Ahhh ternyata di sini juga ada taman kaktus yang cakep banget. Kalau di Jakarta kita biasa lihat kaktus-kaktus atau sukulen mini yang potekan, di sini itu mbahnya. Besar luar biasa.

Saya sempat kepikiran boleh gak ya dipetik 2-3 potong? Pengen bawa pulang ke Jakarta. Tapi tentu saja itu hanya sekadar mimpi. Hahah.

Sunworld Fansipan Legend
taman indah di Sunworld Fansipan Legend

Naik Sun World Fansipan Legend Cable Car

Kami pun tiba di gedung stasiun cable car. Stasiun awal. Gedungnya sangat besar, dan mewah. Setelah ke toilet, kami menuruni eskalator yang lumayan panjang untuk menuju ke gerbang cable car.

Gunung Fansipan bukan gunung ecek-ecek yang hanya untuk turis. Untuk mendaki Gunung Fansipan, ada jalur pendakian tradisional yang infonya membutuhkan waktu 2-3 hari untuk mencapai puncak.

Nah buat kita para wisatawan, untuk mencapai puncak tanpa perlu mendaki berhari-hari, dapat menggunakan cable car. Harga tiket cable car Fansipan umumnya berkisar 750.000 VND untuk dewasa dan sekitar 550.000 VND untuk anak-anak. Harga ini belum termasuk biaya shuttle train, yang menghubungkan stasiun cable car dengan area tangga menuju puncak.

harga tiket cable car Fansipan

Pengalaman naik Cable Car ke Fansipan

Setelah mengantri beberapa saat, akhirnya kami dapat cable car yang kosong. Pak Tom (tour leader kami) sengaja menunggu sampai dapat yang kosong agar kami semua bisa naik segrup tanpa sharing dengan orang lain.

Sebagian orang langsung mengambil bagian tepi, agar bisa difoto atau mengambil foto. Tapi cuaca sangat berkabut, kami hampir tak bisa melihat apa-apa. Hahah.

Jarak sampai ke atas kurang lebih 6 KM pakai cabel car. Sedikit jauh mungkin, namun perjalanan begitu smooth, tak ada guncangan atau hentakan yang mungkin dapat membuat wisatawan khawatir. Kabin di kereta gantung Fansipan ini juga luas dan nyaman. 

Dalam hati, kapan ya Indonesia bisa buat seperti ini di salah satu gunung di Indonesia? Mungkin di Rinjani, atau ya tak usahlah Rinjani yang sudah masuk level 4, mungkin di gunung lain yang juga bisa menjadi jualan wisata di Indonesia.

Barang ketinggalan di kamar

Saat sedang memandang-mandang ke bawah, berharap kabut hilang, suara Pak Tom memecah keramaian, yang berarti harus kita dengar.

“Kamar 717 – siapa?” Dia bertanya sambil mengedarkan pandang. Saya terkesiap.

“Saya.”

“Ibu ya? Ibu – ada – ketinggalan barang – di kamar?”

Saya mengernyitkan kening. Ketinggalan apa? Kayaknya gak ada, semua baju sampai toiletries beres kok.

“Ada handphone, tinggal, di kamar.”

Haa?!! Omaigat. Ternyata hape Samsung saya ketinggalan, pasti karena semalaman saya main Ludo sebelum tidur, lalu hapenya terselip di balik bed. Dan entah kenapa pagi itu saya memang tidak terlalu periksa handphone kedua. Saya yakin aja kalau semua elektronik sudah masuk ke dalam ransel.

“Ibu – ada – hape banyak – ya, jadi yang ini tidak ingat,” kata Pak Tom lagi. Semua cuma tersenyum memaklumi. Begitulah kalau itu hanya hape cadangan, jadi bisa terlupakan. Apalagi memang saya pakai hape itu hanya untuk main game.

“Ini nanti supir ambil. Orang hotel – antar – delivery.”

Ah syukurlah. Saya kira tadi kita akan kembali ke hotel, kalau balik kan berarti waktu terbuang. Dalam hati saya memarahi diri sendiri, lagian ngapain sih traveling bawa hape buat game? Saya lihat Vay memandang saya, entah apa dalam pikirannya! Karena biasanya ibunya sangat terorganisir, tapi kok bisa hape ketinggalan. Hahah.

Kurang lebih 30 menit, kami pun sampai di stasiun Gunung Fansipan. Stasiun ini tersambung langsung dengan restoran, atau tepatnya food court yang cukup luas, bisa menampung banyak wisatawan. Ya, semacam pit stoplah.

foodcourt di stasiun fansipan

Harga tiket shuttle train

Nah. Foodcourt ini adalah pemberhetian pertama saja. Untuk para wisatawan yang ingin naik benar-benar sampai ke puncak tertinggi, ada dua pilihan. Pertama, naik shuttle train lagi, seharga 150.000 VND per orang.

Kedua, dengan berjalan kaki, semacam small trackinglah, tapi pakai anak tangga. Ada berapa anak tangga di Fansipan? Ada sebanyak 600 anak tangga dari stasiun shuttle train, dengan jarak tempuh kurang lebih 45 menit.

Sebenarnya saya tertarik juga ingin jalan kaki saja, toh sudah biasa jalan kaki 1 jam lebih. Tapi pertimbangan bahwa kalau pp berarti 1 jam 30 menit, lalu saya khawatir saya nanti lama padahal kita kan grup.

Kami semua pun mulai mengumpulkan uang cash pembelikan shuttle train untuk diberikan ke Syifa, TL kami dari Indonesia. Karena uang Dong saya habis, saya pun menukar 50 dolar ke Pak Tom. Dia memang jadi semacam money exchanger berjalan, hahah. Bisa tukar rupiah, bisa tukar USD. Bagus sih, jadi kita tak perlu repot cari-cari money changer. Ya paling beda 1000 perak selisihnya.

Pakai shuttle train sebentar saja sudah sampai ke atas, kayaknya cuma 5 menit deh. Cukup kebanting ya dibandingkan 45 menit jalan kaki.

Sampai di Landmark Fansipan

Kami harus berjalan kaki lagi keluar dari stasiun dan ketemulah dengan gerbang besar yang sangat megah, yang menjadi penanda bahwa kita telah tiba di Fansipan. Cuaca tetap belum bersahabat, masih gerimis dan berkabut.

Saya dan Vay naik dan masuk ke dalam. Bertemulah kami dengan sebuah kuil tempat berdoa. Ada yang sedang berdoa di depan altar, dan ada juga wisatawan yang masuk untuk melihat-lihat.

Sembari saya menunggu dan berfoto-foto, Vay bilang ke saya bahwa dia akan ikut masuk ke dalam kuil. Karena kamera ponselnya jelek, dia meminjam ponsel saya. Lalu setelah membuka sepatu, Vay masuk ke dalam.

Kuil di dalam Landmark Fansipan
Kuil di dalam Landmark Fansipan

Cuaca tidak terlalu dingin, meski sudah di puncak. Tapi mata ini rasanya segar sekali karena bisa melihat hal-hal baru seperti di Fansipan ini. Bayangkan di gunung setinggi ini bisa dibangun Patung Buddha raksasa setinggai 21 meter, lho.

traveling ke gunung fansipan vietnam
berapa banyak anak tangga di fansipan

Tugu-tugu untuk berfoto

Setelah Vay selesai kami lanjut lagi, menaiki tangga-tangga hingga sampai ke atas. Di puncak landmark ini ada tugu-tugu yang menjadi spot foto. Semua  sudut ini dibuat sama, sehingga semua wisatawan bisa memilih mana yang kosong untuk berfoto.

Mereka juga meletakkan bendera negara-negara di sampingnya sebagai properti foto. Eniwei, meskipun sudah ada begitu banyak tugu, tetap saja sulit untuk mendapat background kosong.

Rombongan ibu-ibu berbaju merah yang sangat berisik- entah Korea atau China – terus-terusan berfoto tak selesai-selesai, bahkan yang seharusnya mereka di bagian depan, eh mereka nyelonong sampai ke belakang.

Syifa – dengan sabar – bolak-balik bilang, “Excuse me. Excuse me!” Sambil mencoba menghalau mereka, tapi tetap aja gak tahu diri. Masih aja mereka nongol juga ke belakang, padahal mereka udah jelas di depan. Hahah, maaf ya jengkel soalnya.

Ada dua cewek Malaysia yang menunggu giliran setelah kami. Mereka senyum-senyum melihat betapa repotnya berurusan sama ibu-ibu rombongan baju merah. Saya bisa tebak, mungkin ada seratus take foto, hanya untuk di tugu Fansipan aja. Atau lebih?

fansipan gunung tertinggi di indochina

Mampir ke Kafe yang merch-nya kurang ok

Sebelum turun, kami mampir ke sebuah kafe yang ada di situ juga, untuk istirahat. Kafenya cakep banget, estetik dengan nuansa merah khas Vietnam. Saya membeli sebuah tumbler bertulis Fansipan dengan bendera Vietnam untuk Vay dengan harga 350.000 VND.

Sayangnya setelah sampai di Jakarta, saya baru tahu kalau tumblernya itu bocor. Jangankan untuk dibawa di tas, untuk kita minum saja, masih ada air yang keluar dari lubang penutup. Sayang sekali.

So, buat pembaca hati-hati jangan beli tumbler yang ini kalau ke sana ya!

Kafe di Gunung Fansipan di Vietnam

Dan, ternyata kasirnya pun salah paham sama pesanan. Diminta ice cocoa, yang datang hot. Ya begitulah contoh kendala bahasa. Padahal antara ice dan hot sudah jelas bukan kata yang susah dipahami.

Masalahnya Vay kalau sudah pesanan salah, dia akan bersungut-sungut. Mau komplen tapi sudah malas duluan karena percuma kalau mereka gak paham juga tho! Ditambah lagi pesanannya itu datangnya lama, dan harga lumayan mahal. Saya tidak pesan kopi, karena saya tahu minuman Vay pasti gak akan habis, dan tugas mamak salah satunya adalah menghabiskan makanan anak!

Tak lama karena Pak Tom sudah memanggil kami semua untuk turun, kami jadi harus buru-buru menghabiskan hot cocoa itu. Ah, tapi view from fansipan dari Si Kafe Merc Jelek ini bagus lho. Karena kita berada di puncak, maka kita bisa memandang nun di kejauhan.

view dari gunung fansipan

Saat turun, ada banyak juga turis yang baru naik. Ada dua gadis muda berkulit gelap dan  berturban yang melihat-lihat ke saya, sampai Vay notice. Saya bilang, itu mungkin karena dia lihat style turban Mami, jadi penasaran ini dari negara mana.

Seperti biasa, sebelum kita keluar, pasti akan lewat toko merchandise resmi. Saya beli satu tas tenteng kecil yang lucu dengan lukisan, dan Vay  mengambil boneka kucing bertulis Fansipan. Untuk hiasan di kasur.

Kembali ke Stasiun awal Fansipan

Perjalanan menyeberang kembali dengan cable car kali ini, kabut sudah mulai hilang meski masih ada hujan angin. Karena sudah siang maka cable car kami sharing dengan wisatawan lain.

Seorang bapak India berdiri untuk membuka jendela cable car, dengan maksud agar udara segar masuk. Akan tetapi, jendela itu menghadap ke Vay yang duduk di tengah. Air hujan masuk dan menciprati wajahnya.

Saat saya masih bertanya pada Vay apakah dia kena air, si bapak India tadi dengan sigap sadar diri. “You want me to close?”

Makan siang di restoran di Stasiun Awal

Ini adalah makan siang prasmanan pertama kami. Ini semacam restoran all you can eat dengan jatah waktu 1 setengah jam. Di dalamnya sudah banyak anggota rombongan tour lainnya, sehingga cukup susah mencari meja kosong.

Vay berkeliling mencari tempat yang bisa sharing, dan ketemu. Kami join dengan dua kakak-kakak yang dari Bangka. Mereka tetap tidak makan, tapi mengambil buah banyak sekali untuk mengganjal perut.

Oh ternyata itu mau dibawa pulang untuk di hotel. Tapi kemudian salah satunya jadi khawatir kalau ketahuan take away buah, akhirnya semua dikeluarin dan dimakan di situ. Duh, saya bilang nanti sakit perut lho makan buah sebanyak itu.

Tapi sebenarnya sih tidak dicek juga. Waktu saya ke toilet, saya lihat banyak turis keluar melenggang dan tasnya tidak dicek. Tapi si teman kami itu kan ragu-ragu, nanti kalau ketangkap kan malu ya. Padahal sebenarnya kan gpp juga kita bawa beberapa, anggaplah untuk bekal di jalan.

Meskipun tadi di bagian minuman, saya baca kertas bertuliskan, “No take away”.

Jadilah saya bantu menghabiskan buah yang sudah diambil-ambilin. Vay juga kebagian menghabiskan 1 buah pisang.

Satu keunikan restoran ini adalah, ada “daging kuda”. Saya lihat seperti digrill gitulah. Pos yang paling ramai adalah bebek guling, bersebelahan dengan pork. Berarti pisau untuk motongnya sama.

Saya bingung juga mau makan apa di situ karena prasmanan begini sebenarnya kelihatannya aja enak. Padahal cuma menang banyak pilihan saja. Akhirnya yang diambil yang saya rasa aman, seperti udang rebus, jagung rebus, roti-rotian, dan ayam.

Saat berkeliling restoran sekaligus mengambil kopi hitam, saya ketemu Pak Tom. Lalu saya tanyakan berapa ongkos antar handphone saya? Biar sekalian saya tidak lupa. Dia membuka ponsel dan menelpon seseorang, sepertinya si driver bus.

“Lima puluh ribu.” katanya. Lalu saya kasih selembar 50.00 VND.

Di restoran ini ada tempat sholat

Alhamdulillah ternyata di sini ada satu ruangan khusus untuk sholat, lengkap dengan sajadah. Akhirnya bisa sholat dengan proper, jadi sekalian dijamak dengan ashar.

Ketika kami melangkah keluar restoran dengan santai – teman kami dengan tasnya yang buahnya tinggal beberapa aja, langsung menyesal.

“Ihh, ternyata gak diperiksa ya Buk. Kenapo tadi — dikeluarin semua?” Hahaha…. Ngakak saya. Si kakak itu asli Palembang, cuma sudah lama pindah, kerja di Bangka.

Saat berjalan kembali ke gerbang depan, cuaca sudah terang. Aduh, langsung rasanya pengen balik lagi. Soalnya ini sudah keluar warna-warnya.

Di belakang kami, si Bapak Bekasi juga sama pikirannya dengan saya. “Wah kok sekarang cuacanya jadi bagus ya? Giliran kita tadi cuacanya jelek banget.” Dia mengeluh sambil ketawa sendiri dan langsung mengeluarkan ponsel.

Dan saya pun mengambil foto baru lagi di tanaman love yang tadi pagi tidak terlihat kalau cantik.

Taman cantik di Stasiun Fansipan

Berangkat Kembali ke Hanoi, Gudbai Fansipan

Setelah dua hari penuh petualangan di Sapa dan berhasil menjejakkan kaki di puncak tertinggi Indochina, akhirnya tibalah saatnya kami harus mengucapkan selamat tinggal.

Kami sudah dijemput kembali dengan bus besar dan mulai meluncur meninggalkan kawasan pegunungan. Dari jendela, pemandangan terakhir berupa kabut tipis dan hijaunya lembah Sapa pun perlahan memudar, tergantikan oleh jalanan panjang menuju Hanoi.

Namun perjalanan kali ini terasa berbeda. Cuaca yang tadi sempat cerah kemudian berubah, hujan deras mengguyur sepanjang jalan. Tetesan air hujan berpacu di kaca jendela bus, menciptakan irama khas yang entah mengapa membuat saya sedikit melankolis.

Macet panjang menyambut kami begitu memasuki Hanoi, dan di tengah lampu-lampu kota yang basah oleh hujan, saya merasa seperti sedang kembali ke realitas setelah sebuah mimpi indah yang singkat bernama Fansipan.

Yeah, perjalanan mungkin melelahkan, tapi hati masih hangat mengenang setiap langkah di atas awan tadi.

Makan malam terakhir di Hanoi

Setiba di Hanoi malam hari, rasa lapar langsung menyergap. Kami tiba di restoran kecil di sebuah jalan yang agak sempit, pas di sebelah jalan besar. Restoran langganan para tour travel.

Kami bergiliran naik ke lantai 4, dan kemudian duduk menempati meja bulat. Makanan hangat tersaji di meja, lengkap dengan cita rasa khas Vietnam yang semakin terasa nikmat setelah perjalanan panjang.

Menariknya, di sekitar lokasi makan malam itu ada juga penjual oleh-oleh eceran. Mereka menunggu para wisatawan di emperan, dengan bal-bal. Anehnya –atau mungkin menyenangkan bagi wisatawan asal Indonesia—mereka menerima pembayaran dengan rupiah.

Mereka dengan mudah menjawab kalau Rupiah sekian, kalau Dong sekian. Hahah. Rasanya seperti menemukan potongan kecil rumah di negeri orang. Si Opung, ibu-ibu yang serombongan sama keluarganya, langsung bongkar-bongkar mencari kaos dan tas.

Lalu saya pikir, oh sepertinya tas belanjanya oke juga. Ukurannya cukup besar, bisa untuk oleh-oleh. Saya memilih dua tas untuk buah tangan, dan langsung naik ke bus yang sudah datang menjemput kami kembali.

Kembali ke Hotel dan Packing

Kami pun kembali ke hotel dengan menyusuri macetnya jalan raya, sebab malam itu hari kerja. Hujan masih turun rintik-rintik, membuat suasana malam kota terasa syahdu.

Sesampainya di hotel, kami kembali check in di hotel yang sama dengan hari pertama, tapi kali ini kami dapat kamar dengan AC yang tidak dingin. Ya sudahlah. Rasa lelah langsung terasa, tapi ada satu tugas yang menunggu: beres-beres barang dan packing untuk perjalanan pulang ke Indonesia esok hari.

Koper yang tadinya cukup longgar, kini terasa penuh dengan baju kotor, kopi dan coklat khas Vietnam, dan tentu saja oleh-oleh kecil yang kami beli. Proses packing ini jadi semacam ritual penutup—menyusun kembali barang-barang sambil menyusun kenangan di kepala.

Setiap lipatan pakaian seperti menyimpan cerita, dari dinginnya udara Sapa, kabut tebal di Fansipan, hingga riuhnya Old Quarter Hanoi.


Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.