Postingan ini adalah kelanjutan dari postingan pexrtama yang bisa dibaca di sini: Menyapa Hanoi.
Dari bandara, bus kami langsung menuju ke Mega Grand World, Hanoi. Perjalanan tidak terlalu jauh, hanya sekitar 45 menit saja. Traffic juga cukup lancar, mungkin karena hari Minggu ya.
Selama perjalanan, Pak Tom menjelaskan banyak hal tentang Vietnam, khususnya Hanoi. Hanoi adalah wilayah Vietnam bagian utara, dan merupakan ibukota Vietnam, sementara Ho Chi Minh City, yang dulu dikenal dengan nama Saigon berada di selatan, dan merupakan pusat ekonomi Vietnam. Dan Vietnam baru saja melakukan restrukturisasi administratif, dengan mengecilkan jumlah provinsi dari 63 menjadi 34.
Dia juga menjelaskan pada kami bila nanti mencari makan, bagaimana membedakan masakan pho yang babi dan yang ayam. Kalau ada tulisan bhun, berarti itu daging babi. Tapi saya juga akhirnya tidak mencoba masakan-masakan lokal biar aman saja.
Masuk ke Mega Grand World Hanoi, Serasa Masuk Dunia Lain!
Akhirnya sampai juga di Mega Grand World. Sekilas begitu sampai di tempat ini, saya pikir tempat ini kurang lebih sama dengan sebuah tempat di Jakarta, Sedayu City dan PIK. Tapi mungkin tidak terlalu sama, hanya ambiencenya mungkin saja sedikit mirip.
Begitu melangkah ke Grand World Hanoi, rasanya seperti masuk ke set film fantasi yang penuh warna. Ternyata tempat ini bukan sekadar taman hiburan, tapi sebuah complex entertainment city yang menawarkan pengalaman visual dan budaya yang unik.
Selain bangunan pastel bergaya Eropa, ada kanal ala Venice dimana pengunjung bisa mencoba naik perahu dengan pemandu, ada pertunjukan malam, juga ada atraksi kapal bajak laut raksasa di tengah-tengah danau. Inilah yang paling mencuri perhatian. Sesekali dentuman meriam SFX terdengar.

Grand World ini sebenarnya adalah bagian dari VinWonders Phu Quoc, namun mereka juga membuka cabang di Hanoi sebagai bagian dari kawasan pengembangan Vinhomes Ocean Park. Karena itu, banyak yang menyebutnya “City that never sleeps” versi Vietnam Utara — karena atraksinya aktif dari pagi sampai malam.
Kami berpencar untuk melihat-lihat dan berfoto. Banyak spot-spot aesthetic instagramable yang menjadi target bergoto. Sebenarnya jauh lebih cocok datang ke tempat ini kalau sudah semakin sore agar matahari mulai turun, karena kemarin itu panasnya bukan main. Kami juga tidak naik perahu ala-ala Venice itu, karena itu bisa dikatakan atraksi yang tidak asli Vietnam.


Beberapa penjual dari kafe keluar dan memanggil saya dan Vay untuk mampir. Kebanyakan menjual kwetiau, rujak-rujakan, sampai yang paling banyak adalah kedai kopi. Vay menolak untuk mampir, karena kami juga nanti akan berkumpul di Onsen Coffee, kafe di depan pintu masuk. Jadi lebih baik sekalian saja duduk ngopi dan makan di sana.


Karena panas, kami melipir untuk ngopi di Onsen Coffee
Saat masuk ke kafe ternyata tour leader dan satu keluarga lainnya sudah masuk duluan. Ternyata sama dengan kita, mungkin sudah cukup puas keliling dan tak tahan panas, jadi lebih baik mendinginkan badan di dalam.
Saya meminta Vay memesan ice Americano. Vay pergi membawa uang lembaran 500ribu dong. Inilah pecahan terbesar yang saya dapat dari money changer di Jakarta. Nilai 1 dong ini kurang lebih Rp0.65.
Gak lama Vay kembali dan bilang kalau dia hanya akan pesan sponge cake karena sepertinya itu yang agak bener untuk dipesan dan tidak ada ice chocolate. Ingin bertanya tapi ragu karena ternyata pegawainya kesulitan berbahasa Inggris.
Saya bilang tunjuk saja menunya, karena terpampang di depan kasir. Saya lihat beberapa pekerja di sana masih sangat muda, dan mereka tidak bisa atau mungkin belum lancar berbahasa Inggris. Jadi ada salah satu pegawai kasir yang melayani sambil memegang ponsel, menggunakan Google Translate sebagai asisten. Smart!
Dugaan saya sih para pekerja muda itu mungkin anak sekolah yang lagi magang mengisi waktu liburan sebab di Vietnam libur sekolah itu 3 bulan. Dan kemarin itu masih musim liburan.
Setelah saya cek lagi menunya, sebenarnya ice chocolate itu ada. Cuma di Vietnam mereka menyebutnya Cocoa. Jadi minuman coklat di kafe-kafe Hanoi hampir semua dinamakan cocoa, bukan chocolate. Dan, orang Vietnam ternyata melafalkan chocolate dengan cara berbeda. Bukan ca-klet. Mereka mengatakan: co-ko-lEt.
Dilihatin sama orang lokal
Ice Americanonya lumayan! Saya duduk sambil mendapati banyak mata memandang saya. Mereka warga asli yang juga sedang menikmati kopi di situ, berkumpul bersama keluarga bersantai di hari Minggu.
Seharusnya mereka sudah biasa dengan turis, tapi barangkali yang bentuknya seperti saya jarang. Karena mereka tahu turis tidak akan mengerti apa yang mereka obrolkan, mereka tak peduli berkali-kali menoleh ke saya dan saling berkomentar.
Begitu pulalah yang saya dan Vay lakukan! Menjadi orang asing di negara orang ternyata menyenangkan karena bisa ngomongin orang tanpa takut mereka tahu artinya. Meskipun tetap harus jaga mulut. Turis Indonesia banyak, juga turis Malaysia.
“Mereka dari tadi lihatin Mami terus Dek.” “Mungkin heran, ini orang mana ya, kok kulitnya coklat.” Candaan saya ke Vay.
Saya masih memesan segelas caffe latte lagi dengan sepotong croissant, seharga 95.000 Dong. Karena setelah sekian lama pesanan tidak datang juga (sementara waktu berkumpul all group sudah hampir tiba), Vay membawa struk ke seorang pegawai, gadis muda – yang kemudian melihat struk kami baik-baik. Membandingkan struk pertama dengan struk kedua. Lalu dia ke dapur. Vay menyusul.
“Cuma dia yang agak ngerti Bahasa Inggris.” Kata Vaya kembali datang ke meja. Sementara si pegawai yang tadi memang sejak tadi berdiri di belakang Vay, menunggu. Karena dia mungkin mengira kami masih diskusi untuk menanyakan satu dua hal lagi ke dia.
Pukul 16.30 kami jalan, saatnya Check In Hotel
Paket perjalanan kami sudah termasuk menginap di hotel bintang tiga. Untuk perjalanan kali ini, kami akan menginap 3 malam di Hanoi dan 1 malam di Sapa. 2 malam pertama di Hanoi, 1 malam di Sapa, dan 1 malam terakhir di Hanoi. Di hotel yang sama.
Check in the First Eden Hotel, Hanoi
Kami tiba di hotel jam 6 sore. Hari sudah mulai gelap di Hanoi, tapi ternyata belum masuk maghrib. Jam maghrib di Hanoi kurang lebih sama dengan Medan, 18:45 mendekati jam 19:00. Sementara waktu subuhnya cepat sekali, 3:45.
Hotel kami, First Eden Hotel Hanoi, terletak di tempat yang cukup strategis. Dari bandara cuma 30-40 menit tergantung traffic, kemudian di seputarannya banyak tempat makan, kafe, juga butik. Sungguh tempat yang sempurna untuk para pelancong bila ingin explore hidden game di sekitar Hanoi.
Kamar kami pas banget di sebelah pintu lift. Pertama buka lift, langsung ketemu pintu kamar. Ulasan singkat tentang kondisi kamarnya, cukup luas, sangat nyaman dan bersih. AC nya dingin, dan kamar mandinya juga luas. Di kamar mandi ada bath up, tapi posisinya terlalu tinggi dari lantai. Untuk ukuran orang Asia, melangkah keluar dari bath up bisa berbahaya karena tinggi dan mereka tidak meletakkan keset kain, hanya keset plastik serap.

Saya langsung terbayang anggota grup kami lainnya, yang sudah sepuh dan sakit. Ada dua oma-oma dan 1 bapak yang kelihatan pasca struk (bapak ini suami dari ibu-ibu yang melengos itu, ada di postingan pertama). Tentu harus ekstra hati-hati keluar dari bathup. Harus berpegang pada pinggiran bathup.
Kami beristirahat sebentar, karena malam ini adalah malam bebas. Saya mengeluarkan alat rebusan yang saya bawa dari Jakarta, untuk nanti malam kalau lapar tinggal masak Indomie. Pakaian untuk perjalanan besok juga sudah saya keluarkan, agar pagi hari tidak repot lagi. Setelah itu berbaring sebentar meluruskan badan.
Ngiderin seputar hotel
Sebenarnya kami sudah sangat mengantuk, khususnya Vay. Tapi saya ingin keliing sebentar, melihat ada apa saja di sekitar hotel ini. Toh kalau tidur bisa kapan saja, dan kita tidak setiap saat pergi ke sini. Tapi Vay bukan tipe yang suka jalan, atau mungkin saat ini dia masih dalam mode remaja yang gak mau diatur. Apa-apa tidak mau, jadi saya juga tidak mau terlalu memaksa.
Tapi malam ini kami tetap harus cari makan malam. Jadi setelah mandi dan berganti pakaian dengan pakaian santai, keluarlah kami berjalan kaki. Awalnya saya ingin cari restoran India yang infonya dibagikan seseorang di grup, tapi ketika buka Google Maps letaknya lumayan jauh. Sebenarnya tidak jauh, hanya 1 km berjalan kaki. Tapi saya tahu Vay tidak akan mau. Jadi kami ngider saja di sekitar situ melihat apa saja yang unik.
Hanoi di malam hari, khususnya di seputaran hotel kami, sangat vintage. Jalan raya kecil yang dengan pohon-pohon besar di sepanjang sisi jalan. Lampu-lampu kuning yang hangat.
Keluar hotel kami belok ke kiri. Kami melewati tempat-tempat makan yang tempat duduknya dibuka hingga ke trotoar pejalan kaki. Kebanyakan berjualan seafood dan pho, dan pengunjungnya sudah banyak. Saya ingin mampir tapi ragu, jadi skip.
Di lampu merah, kami belok ke kiri. Di sebelah kiri ada toko penjual segala macam, mulai dari cinderamata, boneka dan semuanya. Lalu ada juga laundry, wah dekat sekali ya pikir saya yang langsung terbayang apakah pakaian kotor saya laundry aja di sini?
Mampir ke kafe estetik Vua Ca Phe
Tak lama kemudian kami sampai ke deretan kafe-kafe kecil nan estestik! Sebuah kafe unik menarik perhatian saya dan Vay. Vua Ca Phe! Dari depan kafe ini hanya selebar 3 meter saja, ada beberapa anak tangga untuk naik dan masuk. Yang unik adalah, outdoor terrace mereka. Seperti halnya para penjual makanan yang tadi menggunakan trotoar, begitu juga di kafe ini.
Di depan kafe ada kursi-kursi santai pendek dengan meja kayu bulat, setinggi 50-60 cm. Dua perempuan muda sedang duduk santai menikmati kopi sambil bermain laptop. Dengan cahaya lampu kuning yang temaram, dibantu pula dengan penerangan jalan raya yang seadanya, tempat ini seperti surga buat yang ingin me time!
Saat Vay sedang mengintip menu minuman dari luar, seorang cowok muda berambut seleher membuka pintu, tersenyum dan mempersilakan masuk tanpa bersuara. Dia tahu, ada turis yang ragu-ragu mau masuk.
“Stay here?”
Kasirnya, perempuan muda bertanya pada Vay. Vaya memesan segela ice cocoa. Sementara pegawai cowok tadi berdiri di belakang kasir, membuat minuman. Saya paham maksudnya adalah apakah minum di tempat atau take away, yang berarti dia akan pakai gelas atau cup.
Bagian dalam kafe juga kecil, tapi estetik, dengan pajangan-pajangan art di sudut-sudut. Saya tinggalkan Vay sebentar, keluar untuk melihat beberapa toko di sebelah, siapa tahu ada restoran halal India lainnya. Ternyata tidak ada.
Saya pun kembali ke kafe, dan mencoba duduk di kursi santai di teras. Jarak pengunjung ke jalan raya mungkin hanya 2 meter. Jadi, bayangkan rasaya ngopi di bawah pohon sambil memandang mobil (yang lebih tinggi) lewat di depan mata. Terlihat aman-aman saja sepertinya, karena tidak ada pemotor atau mobil yang balap-balapan sampai naik trotoar. Ah nyaman juga ternyata.

“Minumannya enak!” kata Vay ketika saya kembali ke dalam. Syukurlah Vay suka dengan minumannya, karena makanan atau minuman enak bisa membuat mood jadi lebih baik.
Vay memang suka dengan kafe-kafe atau tempat yang art begini. Dia tidak terlalu tertarik kalau diajak berburu pakaian. Lagipula tujuan kami adalah berlibur dan bersantai, saya harus ingatkan diri saya juga kemarin, supaya tidak tergoda untuk belanja barang-barang yang sebenarnya nanti tidak dipakai.
Selesai menikmati ice cocoa yang nikmat, kami berjalan lagi. Kami kembali ke arah hotel tapi menyeberang ke sisi satunya. Di sebelah sana ada beberapa hotel dan juga restoran dan toko-toko kecil. Lalu kami kembali ke arah hotel, melewatinya.
Berpapasan dengan dua keluarga segrup lainnya dan saling melambai. Mereka baru mau keluar untuk cari makan juga.
Ternyata di sudut jalan ada KFC.
Oh wow! Jauh-jauh ke Vietnam makan KFC haha. Saya mampir dan memesan satu paket ayam goreng dengan nasi untuk dibawa pulang makan di hotel saja. Vay tidak mau, dia pengen mie rebus saja katanya. Soalnya tadi pagi juga sudah makan ayam. Yang belum hanya nasi, jadi nasi dari KFC ini untuk teman makan Vay di hotel. Seharian memang dia belum makan nasi. Waktu di pesawat nasinya berbumbu semua, Vay hanya bisa ambil dua suap yang tidak kena kuah kari untuk dimakan dengan ayam BK nya, jadi secara teknis dia memang belum makan nasi.
Rasa KFC di Hanoi? Samalah dengan kfc di sini. Cuma di sana kurang crispy aja. Saos sambal dan saos tomatnya lebih besar ukurannya dari di Indonesia, dan rasanya lebih manis. Tak masalah.
Kami kembali ke hotel sekitar jam setengah sepuluh. Vay bahagia, karena akhirnya ketemu AC, ketemu kasur, dan bisa makan mie rebus, sambil melanjutkan membaca.
Tonton YT Short: MEGA GRAND WORLD
Malam itu kami tidur sekitar jam 11 malam. Bersiap untuk keesokan harinya, hari kedua, kami akan langsung ke Halong Bai!
pemandangannya indah banget dan bisa sambil nyemil enak ya