Di Medan, ada satu tempat wisata lama yang menjejak di benak saya. Pertama kali keluarga kami pindah ke Medan di tahun 87, tempat wisata seputar Medan tentu jadi tujuan kami berekreasi, dan salah satunya adalah tempat ini. Taman Buaya Asam Kumbang yang terletak di Medan Selayang.
Sesuai dengan namanya, di tempat ini ada sekitar dua ribu lima ratus buaya hidup. Luasnya dua hektar lebih, termasuk rawa-rawa untuk para buaya. Sejarahnya, tempat ini dibangun oleh satu orang Medan yang sangat mencintai reptil, Lo Tham Muk, pada tahun 1959, yang kemudian bertahun-tahun kemudian jumlah reptil ini berkembang biak hingga ribuan.
Saya berusaha mengorek kenangan, kenapa saya sepertinya suka dengan tempat sederhana ini (tentu saja bukan karena saya pernah digigit buaya!). Tapi saya pikir, tentu saja kenangan ini bisa membekas di ingatn, karena saya datang ke sana di usia yang tepat bagi anak-anak untuk merekam memori di kepala. Dan setelah dipikir lagi, saya melihat buaya sebagai reptil yang mengagumkan. Binatang yang cool. Baru ingat dulu punya boneka buaya kecil, karena gemes dengan bentuknya yang panjang.
Saya bersama Vay, para ponakan, juga Oma, mengunjungi taman ini seminggu lalu saat ke Medan. Vay sempat nanya untuk apa dia diajak melihat buaya, tapi saya yakinkan dia bahwa tempat ini memang layak dikunjungi. Di mana lagi dia bisa lihat buaya aneka ukuran dari dekat. (Kayak masuk ke toko sandang aja ya, ada berbagai ukuran.)
Sebagai tempat penangkaran reptil terbesar di Indonesia, dan taman buaya terbesar di Asia Tenggara, taman ini memang dibangun sebagai habitat untuk buaya, yaitu hutan rawa yang luas. Bak-bak berbagai ukuran langsung bisa ditemui mulai dari pintu masuk, berisi buaya yang sudah disesuaikan dengan usia masing-masing. Yang tertua ada 1 ekor, usianya 43 tahun. Saya lihat sudah susah bergerak di bak itu, bisa jadi kesempitan ya, karena badannya sudah besar dan panjang. Seharusnya untuk ukuran buaya sebesar ini, baknya harus tiga kali ukuran badannya, agar dia cukup leluasa. Harapan saya kemarin sih bisa memperlihatkan anak buaya seukuran lengan anak kecil ke Vay. Dulu sekali waktu saya kecil main ke tempat ini, ada banyak anak buaya di dalam ember. Sayang kemarin itu sudah tidak ada. Sepertinya sudah pindah lokasi ke kebun belakang yang gerbangnya digembok.
Datang jam 1 siang, bukan jam makan buaya. Mereka makannya pagi dan sore jam 5. Tapi, bila ingin melihat langsung bagaimana buaya memangsa, bolehlah ya merogoh kocek sedikit, Rp35.000 untuk seekor bebek kurus.
“Hidup, Bang?”
“Iya. Hidup.”
“Waaaaa…. jangannn…!” Anak-anak serentak komplen, katanya gak tega kalau yang dilempar bebek hidup.
“Kalau yang dilempar ayam atau bebek mati, gak kelihatan nanti bagaimana buayanya menerkam.” Saya mencoba meyakinkan anak-anak bahwa bebek itu pun nanti juga akan mati dilempar ke buaya, hanya masalah waktu saja.
(Agak kejam gak sih?)
(Gak, kan?)
Begitu penjaga kembali dengan bebek kurus di tangan, pengunjung pun bersiap menonton. Dan, hopla! Bebek dilempar, dan mendarat dengan percikan ringan di rawa. Kemudian, byuurrr!! Seekor buaya besar menerkamnya.
Eh! Ternyata bebek kurus itu lolos. Berenang santai ke pinggir sementara buaya yang tadi gak ngeh kemana mangsanya. Hahah.. mungkin buayanya lagi lelah ya.
Penjaga taman yang melihat langsung menyusuri tepi rawa (tetap dari luar pagar), mencari buah-buahan kecil untuk dilempar ke bebek, tujuannya agar dia berenang lagi ke tengah.
(Dia tahu kalau bebeknya gak mati ya batallah Rp35.000-nya)
(Apalagi dia lihat wajah saya yang kecewa ketika tahu si bebek lolos. LOL.)
But finally ketika si bebek tiba di sisi lainnya, di bawah pepohonan yang tumbuh di rawa, dia tak sadar kalau seekor buaya meluncur pelan ke arahnya. Dan, happp!!! Kali ini si Kurus masuk ke dalam mulut buaya. Seakan ingin mempertontonkan keberhasilannya, Sang Buaya menengadah – membuka mulutnya lalu menggigit remuk bebek itu. Di belakang saya ada backsoundnya. “Am. Am…” Dari mulut Vay.
Ini videonya:
Lalu, apa penutup kunjungan ke taman buaya ini? Apalagi kalau bukan berfoto bareng buaya. Seorang pawang muda membawa buaya sepanjang kurang lebih 1,5 meter, dengan mulut diikat. Buaya itu sempat meronta-ronta ketika matanya ditutup kain dan pawang menggendongnya untuk dipindahkan ke tempat yang lebih bersih untuk kita berfoto. Sekali angkut, bayar Rp50.000, bisa berfoto sepuasnya (tentunya selama si buaya masih mood).
Ngeri gak sih? Ya ngerilah pasti. Tapi si pawang meyakinkan kalau buaya usia 3 tahun yang dikeluarkan mereka itu jinak dan aman selama mulutnya diikat. Anak-anak bolak-balik ganti posisi hahah, duduk — berdiri — tukar formasi, karena tidak ada yang ingin kebagian kepala buaya. Vay mau ekornya, si Kakak mau badannya. Akhirnya Bang Arve yang kebagian memangku kepala dan dia ketakutan setengah mati. Takut dilirik buaya, sampai berusaha menutup wajah agar tidak ada kontak mata. Hahah…
Saat saya duduk di depan buaya untuk memotretnya, selaput matanya pelan-pelan terbuka (wuih, serasa lagi diawasi!). Anyway, jadi, si reptil air ini memiliki selaput pelindung untuk melindungi saat mereka menyelam di air. Selaput matanya cukup tipis sehingga mereka masih bisa melihat saat menyelam.
Vay awal-awalnya takut, tapi saya lihat dia percaya dengan kata pawang. Jadi setelah foto bareng selesai, dia masih mau mengelus-elus badan buaya. Saya juga mencoba mengelusnya, dan…. ya ampun, ternyata meski kelihatan serem karena berduri-duri, tapi halus dan lembut dipegang.
(Pantas saja tas atau sepatu dari kulit buaya itu mahal harganya)
“Buaya yang kecil gak ada ya, Bang?”
“Ada Kak, tapi ya kalau masih kecil kan belum bisa diatur. Masih mau gigit-gigit gitu.”
Oh, okelah. Bye. Cukup buaya jinak saja yang kita pegang yaa..
Ingin berfoto dengan buaya juga seperti Vay dan sepupu-sepupunya? Mainlah ke tempat ini, dijamin akan terkagum-kagum melihat buaya sebanyak itu. Batang-batang pohon yang mengapung diam di rawa, dijamin 100% itu bukan pohon ya. Hihhh…. gak kebayang kalau malam hari, gelappp dan buaya-buaya itu naik ke darat.
Ini alamatnya:
Taman Buaya Asam Kumbang.
Jalan Bunga Raya 2 No 59, Asam Kumbang, Medan Selayang, Kota Medan, Sumatera Utara 20133
HTM Rp8.000,-
Pingback: Tempat Wisata di Medan yang Wajib Dikunjungi | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Sekilas saya pikir itu yang disentuh buaya boongan, kak. Ternyata beneran ya setelah diperhatikan mulutnya diikat, dan ini yang bikin saya fokus sama buaya satu ini. Beneran nggak tega deh meskipun kondisinya gemuk kak.. 🙁
Penangkarannya juga dijadikan industri kulit buaya? Buaya begitu banyak dan bertahan bertahun-tahun. Salut buat yang mengusahakannya.
Kalo liat cara makan buaya itu sadis ya, 🙂
Di situ tidak ada industri kulit buayanya. Jadi hanya taman saja.
wuih ngeri kalii, main sama buaya. ngeri.
Hahah… cuma buaya jinak aja kok….
uuuww ngeriii ah
Hehehe…. sedikit ngeri sih.
Ya Allah Kak ngeri kaliiii itu anak-anak mangku buaya. >.< Aku paling takut sama hewan reptil huhuhu.
Jinak lho ini buayanya…. asal mulut ditutup aja ehhee..
Aku tuh paling serem liat buaya ama ular hahaahha.. seru yaaa! Anak-anak biasanya excited banget..