Sebuah surat elektronik masuk ke inbox saya seminggu yang lalu. Surat dari sekolah anak saya Vay tersebut menginformasikan jadwal masuk akademi tahun depan dan juga menyampaikan bahwa sekolah masih akan melanjutkan sistem pembelajaran jarak jauh.
“The school will continue the Home-Based-Learning program as the COVID-19 cased in Indonesia, especially Jakarta is continuing to rise. We will continue to observe the development of the situation and inform parents with sufficient preparation time if we are to modify the program in the future.”
Tidak mengejutkan. Sudah saya duga bahwa sekolah pasti akan mengambil keputusan ini, meskipun tiga minggu sebelumnya kami orangtua murid sudah diberikan form survey mengenai pendapat dan keinginan kami, apakah orangtua setuju atau tidak setuju sekolah tatap muka dibuka kembali dalam waktu dekat, dan bila setuju kapan waktunya, apakah term 3 (Januari), term 4 (April), atau Juli 2021.
Bagaimana dengan jawaban saya di form itu? Saya menjawab, setuju sekolah dibuka kembali, dan saya ingin langsung dibuka pada term 3, yaitu Januari 2021. Kenapa setuju sih? Lho, kenapa tidak?
Pendapat saya pribadi, metode belajar online ini tidak terlalu efektif. Saya setiap hari di rumah melihat bagaimana proses anak saya belajar, dan saya melihat bahwa ini seperti kita kursus online. Kekurangan pertama yang saya lihat langsung adalah, para guru kesulitan mengetahui apakah siswa mengerti atau tidak dengan yang diterangkan. Beberapa guru yang emosional bisa langsung menembak murid yang tidak bisa menjawab saat ditanya dan muridnya bengong karena memang meski wajahnya terlihat di kamera tapi dia memang belum paham, sementara ada pula murid yang mendadak koneksinya terputus begitu guru menyebutkan namanya. Alasannya disconnect (pas pula yaa waktunya :))
Mudah buat kita di kota besar berteriak di media sosial ketika listrik padam atau internet down, tapi bagi yang di daerah yang mungkin belum support untuk belajar online bagaimana? Bisa belajar ramai-ramai dari satu smartphone saja sudah syukur. Guru di daerah harus berjibaku mendatangi muridnya agar bisa belajar, belum lagi cerita orangtua yang punya anak tiga, dan harus berbagi komputer atau ponsel untuk ketiga anaknya. Saya sedih lho kalau membaca berita guru-guru di daerah harus mendatangi rumah-rumah muridnya agar anak-anak tidak ketinggalan pelajaran.
Jadi sebenarnya, kapan nih sekolah tatap muka dibuka kembali?
Tiga hari sebelum surat dari sekolah datang, salah satu orangtua teman sekelas Vay, Mom AJ, menyampaikan sedikit unek-unek atau tepatnya masukan untuk disampaikan ke sekolah. Terkait dengan survey yang diadakan sekolah, mommy ini juga salah satu dari yang setuju agar sekolah dapat dibuka kembali, dan juga sangat berharap sekolah dapat mengakomodir secara adil permintaan para orangtua. Jadi bila sebagian orangtua setuju anaknya bisa segera sekolah tatap muka, maka kita berharap sekolah bisa mengakomodir itu. Lalu bagi orangtua yang masih ingin anaknya mengikuti pembelajaran jarak jauh, maka tetap boleh seperti itu. Pelan-pelan berjalan sampai nanti saatnya kondisi kembali normal.
(But then sekolah kami sudah mengambil keputusan seperti saya tulis di atas)
Mungkin di antara orangtua yang membaca tulisan ini memiliki problem yang sama dengan Mom AJ, anaknya mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran selama belajar di rumah, sehingga banyak ketinggalan, seperti tidak mengerjakan tugas sampai akhir semester sehingga nilai berkurang. Ibunya bekerja sehingga tidak ada yang bisa rutin menemani dan mengingatkan anak.
Stres. Pasti. Guru, murid, dan orangtua mengalami ini. Semua yang dilalui di 2020 ini memang tidak mudah buat semua orang, tapi buat saya bila kita tidak move on maka akan tetap begini. Ya memang harus move on! Semua sektor sudah mulai kembali normal, titik-titik yang bisa menjadi tempat penularan (pasar, kantor, mall, stasiun) malah sudah beroperasi sejak lama, dan orangtua (kita!) yang keluar rumah juga berisiko membawa virus ke rumah.
Dan ada satu yang juga saya khawatirkan, yaitu standar penilaian. Anak belajar di rumah, mau mengerjakan pe-er saja sudah syukur, orangtua sudah hepi, tapi bagaimana dengan sekolahnya? Fleksibelkah?
“Gimana sih ini? Udah sekolah dari pagi sampai sore, tugas banyak, besok mau tes. Aku jadi gak bisa main game…!!” Ini teriakan salah satu teman Vay di grup mereka. Vay memang suka rutin cerita ke saya kalau ada kejadian di kelasnya (atau di kelas lain), dan saya mendapati bahwa ya, anak-anak juga stress. Even mereka merasakan bahwa waktu santai mereka di rumah pun hampir tidak ada.
So, saya sekarang ini mencoba sabar sesabar-sabarnya sama anak, karena saya tahu dia pun lelah. Dia selalu bilang ke saya, “Belajar itu jangan sampai stress, Mi.” Dan saya oke-kan saja meski dalam hati gak sabar karena tahu dia belum belajar dengan maksimal.
Orangtua yang setuju dengan dibukanya sekolah tatap muka tentu bukan asal setuju tanpa pertimbangan. Pasti ada yang kita minta dari sekolah, seperti pembatasan jumlah jam belajar tatap muka, jumlah siswa di kelas dibatasi, guru dan staf pengajar harus rutin melakukan tes rapid antigen, disinfektan secara teratur (ini sudah pasti), dan peran serta semuanya untuk disiplin dalam menjalankan peraturan agar bisa sama-sama menjaga, agar tidak menulari orang lain. Dan tentu saja protokol kesehatan lain yang bisa sama-sama dirembukkan dan disepakati oleh sekolah dan orangtua.
Baca juga: Kenapa Kita Butuh Vaksin untuk Mengatasi COVID-19
Apa kata orangtua tentang sekolah tatap muka akan dibuka kembali tahun depan
Beberapa minggu lalu, obrolan mengenai, “setuju gak kalau sekolah tatap muka dibuka tahun depan?” dilempar juga oleh seorang teman, Atmojo, di WhatsApp grup. Simak apa pendapat orangtua lainnya.
“Gue setuju offline, terutama yang SD dan SMP awal. Dengan syarat sekolah sudah melakukan protokol dan jumlah murid dibatasi 50% dan ketentuan-ketentuan lain yang aman.” Leo, orangtua dengan 3 anak usia remaja dan pra remaja.
“Kalau tidak dimulai ya gak akan mulai, kan? Karena COVID tidak akan pernah hilang. Ini sama saja dengan flu yang terus ada.” Aloy, orangtua 1 anak usia 5 tahun.
“Sekolah Thole mulai Januari udah offline, dengan jumlah siswa dibatasi di dalam kelas, jadi dibagi 2 batch yang mengakibatkan ada yang masuk siang dan masuk pagi.”
“Kalau saat ini, gue belum mau melepas anak gue sekolah offline, pertimbangannya adalah karena anak gue masih kelas 1 SD, yang belum sepenuhnya bisa diwanti2. Memang sih kasihan, mereka gak bisa berinteraksi langsung sama teman-temannya, cuma lewat google classroom aja. So far kalo di sekolah anak gue (mungkin krn ini masih anak kelas 1 SD ya), pembelajaran onlinenya menurut gue sudah OK lah, karena hanya seperti memindahkan kelas ke rumah masing-masing. Guru tetap mengajar seperti mengajar di dalam kelas. Memang gue disini juga harus rajin-rajin cek google classroom untuk cek-cek tugas dan submit.” DKD, orangtua 1 anak usia 7 tahun.
“Intinya, selama COVID belum turun signifikan, prefer sekolah di rumah, walaupun kita dan juga guru haris maintain stress. Kalau bisa sekolah harus fleksibel dan penilaian lebih fleksibel jadi anak dan ortu tidak stress,” Tito, orangtua dua anak masih duduk di bangku SD.
“Semua ada plus minus, bagaimana kita menyikapinya aja. Waktu belajar di luar akademis lebih banyak.” Leo.
“Sekarang kita lebih tidak memaksakan standar anak seperti dia pembelajaran langsung di sekolah. Ya namanya juga situasi lagi begini. Lebih mending daripada ketularan penyakit.” Puput, ibu 3 anak, usia paling besar pra remaja.
“Jadi sekolah offline masuk aja gitu ya? Karena herd imnunity dibuka, yang selamat alhamdulillah, yang gak selamat ya turut berduka. Begitu gak?” Atmojo, orangtua 2 anak usia SD.
“Kalau ku lihat sih ya, dari sektor lain udah banyak yang ngelanggar. Jadi pendidikan yang penting ya dibuka aja. Toh impactnya sama.” Levin, single.
Bagaimana pendapat para orangtua pembaca blog ini? Please share your opinion ya!
-zd-
Pingback: Bagaimana Agar Anak Bisa Berinternet dengan Aman | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Kilas Balik 2020 dan Harapan di 2021 — matriphe! personal blog
Pingback: Cerita, Dong! Apa yang Kalian Pelajari dari Tahun 2020 Ini? | | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Karena 3 boys semua py asma, dan yang tengah masih sering kambuhnya, kalo bisa smt depan masih online dulu deh, kalau untuk anak yang sudah besar… orangtua ga repot, untuk yang masih SD rieweuh banget, anak masih belum bisa fokus, saat zoom malahan main games…hi hi curcol jadinya, semester depan anak2 kuliah ITB,UI masih apda online juga nampaknya, anak yang dibawahnya better masih online juga.
Benar Mbak, kalau masih SD pasti repot karena memang belum bisa kita bilang.
memang repot ya, apalagi penanganan covid-19 di Indonesia seperti tidak jelas dan amburadul.. ?
kalo di Berlin, kemarin waktu lockdown pertama, seluruh kegiatan sekolah dilakukan dari rumah. masalah yang dihadapi ortu juga sama, ortu bekerja dari rumah dan harus mengawasi anak yang bersekolah dari rumah.
kemudian kondisi sempat terkendali, dan sekolah sempat dibuka kembali, sebelum akhirnya libur musim panas.
musim panas berakhir, sekolah masuk lagi. lalu, kasus penyebaran meningkat lagi, dan akhirnya sekolah juga dilakukan dari rumah kembali setelah lockdown kedua diterapkan.
memang pusing, namun pemerintah Jerman punya prioritas, dan dalam melaksanakan aturannya juga jelas dan tegas. ada parameter yang diukur, sebelum memutuskan sekolah boleh masuk kembali, yaitu jumlah penularan dengan target kurang dari 20 kasus per 100.000 penduduk dalam per hari.
selama jumlah penularan tidak turun, lockdown akan terus dilakukan dan warga akan terus “terkunci”. satu-satunya cara ya warga harus patuh dan menahan diri, jika ingin nanti dilonggarkan kembali.
tes hingga saat ini juga terus dilakukan, dan pelacakan kontak juga berjalan. namun yang paling penting sebenarnya adalah menghindari kontak fisik, dan ini yang dilakukan.
sementara di Indonesia, parameternya apa, juga tidak jelas. penerapan aturan antar daerah juga bisa berbeda-beda tanpa ada kejelasan. tidak ada ketegasan dan pemerintah tidak bisa memberi contoh, malah terkesan menggampangkan. jujur, aku sedih sekali.
membuka kelas offline, melihat kondisi di Indonesia, kok menurut saya juga sangat berisiko. memang problem di Indonesia sudah sedemikian rumit, kecuali ada keajaiban dan anomali yang terjadi di Indonesia.
semoga mbak Zizy, Vay, dan keluarga, serta kita semua terlindungi dari covid-19 dan sehat selalu.
Sama2 Mas, semoga sehat selalu juga di Jerman.
Saya setuju dengan pemaparan lengkap ini, semua peraturan tidak ada yang seragam, tidak jelas ukurannya bagaimana. Ah semoga segera ada kejelasan ya.