Saya masih ingat beberapa tahun lalu ketika putri saya masih duduk di kelas 4 SD. Waktu itu guru math-nya ngirim pesan WA ke saya, nanya ada apa dengan Vay. Katanya, di buku math workbook-nya, jawabannya pakai tulisan besar-besar. Gurunya khawatir apakah Vay marah padanya, mungkin mau protes mengenai pelajaran atau lainnya. Saya cek bukunya dan memang sih, beberapa halaman workbook diisi dengan jawaban dengan ukuran huruf yang besar, tegas, dan terlihat garisan penuh emosi di situ.
Saya tanyalah ke anak saya ada apa, dan dia menjawab dengan muka ditekuk. Jadi ceritanya dia memang sedang kesal dengan salah satu temannya di kelas yang mengatakan sesuatu saat mereka sedang belajar, saya lupa apa itu, sudah lama soalnya. Dan karena dia tidak suka membalas dengan kata-kata ke temannya maka dia melampiaskannya dengan menulis besar-besar di buku, jadi itu sama sekali bukan ditujukan ke gurunya. Kalau kata ayahnya Vay, mungkin kemarin itu dia sedang masa transisi ke praremaja, jadi masa-masa tantrum sebagai gadis praremaja sepertinya mulai menyeruak.
Sekarang, Vay sudah dua belas tahun lebih sepuluh bulan, hampir tiga belas tahun. Dan yes, seperti yang sering dikatakan kata para expert, anak gadis dua belas tahun memang bisa jadi sangat pemurung, penuh drama, egois, fokus hanya pada temannya, suka over dramatis, mukanya masam terus, dan… menganggap remeh orang tua.
Enggg….. Ada yang merasa gak kalau dulu pas jadi remaja juga begitu? Ehmm.
Gadis remaja kita ini pasti nantinya akan jadi dewasa, akan jadi wanita penuh kasih sayang, akan jadi orang yang menyenangkan, tapi memang ini situasi yang pasti akan mereka lalui, fase dari anak-anak yang manis berubah jadi remaja. Tantrum yang kedua. Dan, kebanyakan ini rata-rata bikin orang tua makan hati. Kayak saya.
Tubuh remaja yang sedang berkembang penuh dengan hormon, otaknya berpikir lebih cepat dari jari-jemarinya, mereka juga punya kebutuhan menunjukkan eksistensinya di dunianya, mengabaikan apa yang selama ini menjadi value mereka, seperti keluarga. Ingin menunjukkan kalau dia sudah dewasa dan mandiri.
Tapi beberapa waktu lalu saya juga membaca bahwa usia dua belas ini memang waktu yang tepat buat orang tua untuk memperkuat hubungan dengan anak gadisnya sebelum dia beranjak jadi remaja. Dan ya, saya juga mau memiliki hubungan itu dengan anak saya.
Jadi, bagaimana cara saya mengasuh gadis praremaja saya agar tidak terlalu penuh drama?
Ini yang saya lakukan agar bisa dekat dengan anak gadis saya yang beranjak remaja.
1. Mau bersedia berubah.
Kan anak sudah praremaja, jadi tak mungkin lagi mengasuh dia dengan gaya orang tua ketika dia masih kecil. Sudah pasti tidak sesuai dan efektif. Susahkah? Iya. Karena di satu saya masih tetap ingin terus ngelonin dia, tapi anaknya sudah merasa terganggu bila maminya memperlakukan dia seperti anak balita. Lebih banyak mendengar, salah satu kuncinya.
2. Gadis praremaja ingin lebih banyak kebebasan. Saya kasih gak? Iya, sedikit banyak.
Praremaja memang punya darah pemberontak. Dan mereka bangga mengakuinya, karena bisa melawan peraturan (dan orang tua) adalah sebuah prestasi. Saya sekarang sedikit mengurangi kebiasaan untuk mengendalikan semua pilihannya. Selalu saya lakukan pendekatan dengan kalimat, bagaimana kalau dicoba dulu, kalau tidak suka ya sudah. Meski demikian, ayahnya bisa melihat bahwa saya adalah orang yang demanding dan itu saya akui harus saya kurangi kadarnya sedikit agar gadis cantik di rumah ini bisa percaya diri atas pilihannya sendiri nanti, tanpa harus memberontak. Saya pernah bilang bahwa saya memang tak bisa membuat hidup ini mudah untuknya, namun seringkali itu terlihat seakan saya feeding dia terlalu banyak agar dia punya bekal cukup nanti. Bagian menentukan sejauh mana keleluasaan diberikan adalah yang tersulit, karena praremaja belum bisa mengambil keputusan sendiri.
3. Mengurangi sedikit disiplin dan fokus pada menjalin hubungan
Saya selalu ‘memaksa’ untuk dekat dengannya. Kadang kami saling berteriak, tapi gak apa-apa. Saya tidak mau membiarkan anak saya menjauh, karena dia masih tetap butuh ibunya meskipun dia tidak mau mengakui. Jadi setiap kali ada kesempatan untuk bisa dekat dengan anak, itu saya lakukan. Setiap pagi dia saya peluk, saya cium (meski dia ngomel), saya antar ke kamar mandi (untuk mandi pagi!), lalu malam hari saya ulang lagi. Ada manfaatnya lho, ternyata ketika sekali saja saya tidak melakukannya, dia akan datang ke saya dan bilang kalau saya belum cium dia hari itu. Padahal kalau saya izin mau cium dia saja, dia mengelak terus. Malam hari sebelum tidur juga saya suka mengajaknya ngobrol sebentar, mencari tahu apa yang ada di dalam pikirannya yang sedang melamun sebelum tidur. Dari situ saya bisa tahu apa saja yang sebenarnya mengganggu di dalam hatinya dan belum tuntas dia sampaikan.
4. Mencoba melihat sesuatu dari sudut pandangnya.
Seminggu yang lalu saya melihat status teman SMP saya di Facebook, dan itu membawa saya pada memori ketika dulu menjadi remaja usia tiga belas tahun. Dan ya, itu membantu lho untuk kembali mengingat bagaimana rasanya menjadi remaja, dan bahwa sekarang adalah saat saya mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang anak gadis saya. Sejauh ini saya belum pernah melihatnya sedih (entah karena patah hati atau lainnya), tapi saya berjaga-jaga nih. Dan mulut ini ditahan-tahan juga untuk tidak terlalu banyak bertanya (atau memaksa), sebaliknya mengharapkan dia yang mulai bercerita.
Dan yang saya ingat-ingat selalu adalah gadis dua belas tahun biasanya menyimpan banyak kekhawatiran tentang masa remaja. Ini benar karena remaja perempuan punya perasaan cemas menghadapi dunia barunya, seperti tuntutan untuk tampil keren dan menarik untuk anak seusianya, lalu belum tahu juga bagaimana cara menghadapi lawan jenis, atau menghadapi perasaan tertarik di dalam diri.
Mamak harus siap-siap.
5. Saya membuat batasan screen time
Tak mudah untuk membatasi screen time ketika sekarang dunia mulai berubah. Remaja menghabiskan seharian waktu school from home di depan komputer, sehingga bila di sela-sela jam pelajaran dia membuka media sosial atau bermain game online orang tua tidak bisa tahu dengan tepat apakah itu masih wajar atau sudah kecanduan. Beda dengan beberapa tahun lalu ketika anak memang seharian di depan komputer untuk bermain game.
Anak saya tidak terlalu tertarik lagi dengan permainan dress up, kecuali pada Roblox, karena permainan dress up di Roblox itu saya lihat lebih mendekati mendandani diri menjadi sebuah karakter, sebuah persona, jadi bukan sekadar dress up.
Batasan screen time memang saya lakukan agar dia lebih sering mengobrol hanya dengan teman-temannya, dan tidak terlalu sering terekspos oleh konten superficial di media sosial.
Baca juga:
- Cara Memblokir YouTube di Google Chrome selama proses belajar di rumah
- Ngobrol dengan Anak Mengenai Cara Berinternet dengan Aman
6. Mensupport minatnya
Ini masih related dengan poin di atas mengenai fokus pada menjalin hubungan. Support selalu apa yang dia lakukan dan apa yang membuatnya terlihat kompeten. Contohnya setiap kali anak saya datang ke saya untuk meminjam jari agar bisa mendownload aplikasi, saya perhatikan kalau semuanya adalah aplikasi yang bisa mendukung hobinya melakukan editing untuk konten Instagramnya. Jadi kalau memang itu untuk mendukung kemampuannya mengedit, pastilah ya harus didukung.
Ketika anak masih kecil, dia memang diikutkan ke banyak pelatihan minat, tujuannya untuk mengetahui mana yang paling dia minati. Pada dasarnya semua anak memiliki banyak bakat dan minat, namun ketika semakin besar dia akan mulai belajar fokus pada sesuatu, dan itu yang harus disupport.
7. Menjadwalkan waktu hangout bersama
Dulu sebelum pandemi, kami memang sering pergi berdua secara teratur, entah sekadar ngopi di kedai kopi, atau ke salon untuk pedikur menikur, intinya sih cari waktu berdua dengan si anak gadis. Sekarang karena semuanya harus #dirumahaja, ternyata jadwal bersama tidak lebih banyak lho karena anak gadis kan sudah punya temannya sendiri. Jadi, selama kami di rumah, yang dilakukan adalah melakukan delivery order, terserah pada dirinya sedang mau apa, lalu kami duduk di teras depan, atau di samping, makan dan mengobrol.
8. Jangan baper, mamak harus punya hati yang luassss
Kalau saya bilang gadis remaja suka pedas kalau menjawab orang tuanya, ini benar. Engg kan saya dulu juga pernah jadi remaja. Namun jujur saya pasti emosi kalau mendengar anak saya menjawab dengan bentakan. Biasanya kalau mamak batak, langsung dihajar. Saya begitu juga. Tapi sekarang saya mencoba menyetir situasi. Bila saya lihat dia sedang bad mood, maka saya tidak akan memancingnya, entah dengan memaksanya melakukan sesuatu. Intinya agar dia tidak membalas dengan kata-kata yang bikin kuping panas. Setiap kali dia sedang bad mood maka saya akan berpikir bagaimana orang tua saya dulu menyikapi saya. Bukan berarti cara mendidik kita harus sama dengan gaya orang tua kita dulu, tapi ambil yang baiknya yang kira-kira bisa diadopsi untuk anak kita.
9. Mengikuti perkembangan jaman remaja sekarang
Intinya adalah agar saat sedang mengobrol entah saat hangout berdua atau saat menjadi pendengar, saya bisa tahu apa yang sedang terjadi dan juga bisa memberi jawaban atas apa yang dia butuhkan. Tujuannya agar dia bisa mendapatkan jawaban atau sebuah diskusi yang bisa menyelesaikan masalahnya. Dia tidak perlu bertanya pada orang lain karena dia tahu kalau ayah atau ibunya bisa membantunya. Gak ada yang lebih membanggakan saat mendengar dia berkata pada temannya,”See? I’ve told you, my mom was right about that. I trust my mom.”
Cara-cara di atas pasti berhasil?
Semua teori semua cara semua saran hanya bisa ketahuan berhasil kalau dipraktekkan. Tidak mungkin selalu berhasil 100% karena orang dewasa bersahabat saja sering cekcok juga, apalagi orang tua dengan anak remaja. Tapi itulah yang saya lakukan, mencoba agar bisa selalu dekat dengan gadis praremaja saya :).
Please share juga ya bila para mamak dan bapak di sini ada yang punya metode pendekatan lain dengan remajanya.
-zd-
wah sama! keponakan saya juga lagi seneng banget main Roblox 😀