Saya adalah orangtua yang egois. Saya sering menggoda Krasivaya kalau dia ketika saya mintai tolong untuk melakukan yang dia tidak suka dengan berkata, “Hei, memang siapa dulu yang melahirkan Vaya?” dan dia akan tertawa-tawa yang membuat mata besarnya jadi menyipit sambil balik membalas, kalau dia adalah anak ayahnya karena mukanya mirip bapaknya.
Menampilkan dia seperti apa yang saya inginkan, itu iya. Namun sebagai seorang yang dikenal sebagai mommy blogger (yang kalau sekarang kemudian bergeser istilah menjadi influencer) saya berusaha untuk membuat cerita tentang keluarga, dengan aktivitas saya dan dia yang lebih banyak, menjadi konten blog ini. Kadang disponsori, tentu saja.
Dalam sebagian besar perjalanan sebagai blogger, sejauh ini masih lancar tapi harus diakui bahwa tidak mudah untuk mengajaknya bekerjasama, karena itu harus selalu ada trik yang saya lakukan.
Perlu Banget Gak Sih Kita Membagikan Foto Anak di Media Online?
Sebagai mommy blogger dan pegiat media sosial, pasti ada godaan untuk menghadirkan cerita tentang kehidupan dalam sudut pandang tertentu. Apalagi kalau sedang ada momen-momen besar, karena biasanya engagementnya pun besar.
Namun, bagaimana bila foto-foto itu terlalu pribadi, atau memalukan bagi anak-anak kita kelak? Bagaimana jika konten yang dibuat itu menampilkan anak-anak kita dari sudut pandang yang berbeda dengan yang mereka lihat sendiri? Bagaimana ya bila saya ternyata menggunakan imej anak saya untuk mempromosikan suatu brand yang suatu hari kelak mungkin dia tidak akan senang bila dikait-kaitkan dengannya? Nah, saya tidak punya jawaban untuk ini. Soalnya masa depan tetap tidak bisa diprediksi termasuk kita tidak bisa tahu isi pikiran orang lain.
Tapi, dalam tahun-tahun terakhir saya dan anak saya berbagi kehidupan online kami di blog dan media sosial, kami berdua telah mendapatkan beberapa aturan yang cocok.
YANG PERTAMA: JANGAN BIKIN ANAK JADI PAPAN REKLAME
Menjadi mommy blogger berarti saya akan melibatkan Vay dalam pembuatan konten bersponsor, dari waktu ke waktu. Yang saya selalu coba lakukan adalah membagikan foto yang jujur tentang keluarga dan gaya hidup kami, bukan sekadar menampikan produk. Seringkali ada beberapa permintaan dari klien seperti misalnya agar merek produk lebih terlihat jelas di dalam foto, dan ini berarti pe-er bagaimana agar semuanya tetap natural meskipun menurut saya jadi mirip dengan banner iklan mereka.
Jadi anak saya bukan hanya mejeng di depan kamera sambil memegang produk dengan logo menghadap ke depan lalu tersenyum. Bukan begitu. Ya, memang kan rata-rata iklan mainstream memang begitu, namun sebagai pencerita, sebagai blogger, kita harus membangun cerita dengan foto tersebut. Dan juga saya berusaha menjaga agar kelak anak saya tidak menjadi olok-olokan teman yang kejam.
YANG KEDUA: MINTA IZIN DULU BILA INGIN MEMBAGI FOTO
Kami cukup jelas dengan aturan membagikan foto secara online. Saya lebih memilih membagikan foto di blog karena lebih mudah untuk saya mengetahui foto atau video mana yang pernah saya share. Ayah Vay, jelas tidak mau ada fotonya hadir di media sosial kami.
Untuk Vay, sekarang setiap kali saya ingin membagikan foto dirinya saya akan meminta izin padanya. Boleh gak saya menggunakan foto ini untuk blog, atau Instagram Story? Ya, namanya juga sudah hampir remaja, tentu dia tidak mau dong wajah pale dia mendadak muncul di feed ibunya tanpa seizinnya.
Momen kami bersama tetap kami abadikan, tapi tentu tak semuanya diposting. Saya suka menyimpan foto dengan keluarga besar di Facebook saya, yang saya set hanya saudara yang bisa melihat. Di sinii, saya berusaha melindungi bukan hanya anak saya tapi juga keluarga lainnya, karena belum tentu mereka setuju fotonya ada di medsos saya. Sekaligus melindungi dari munculnya imej atau persepsi dari orang yang tidak mengenal kami.
Sekarang, bila Vay melihat ada video atau foto lama saat dia masih kecil yang menurutnya memalukan (meskipun buat saya ibunya dia tetap cute dan lucu), maka saya akan mengarsipnya. Kita masih bisa melihat dan menontonnya kapan saja, ya namanya juga kenangan ya, tapi bukan untuk konsumsi umum.
YANG KETIGA: KISAH ANAK BUKAN KISAH KITA
Para perempuan menjadikan media sosial sebagai sehabat setia yang tersedia selama 24 jam untuk curhat. Tapi kisah yang kita tuliskan tentang anak kita bukan hanya milik kita tapi juga anak kita.
Ketika Vay masih balita sampai dengan beberapa tahun pertama duduk di sekolah dasar, saya suka membagikan kisah-kisah dan tingkah lucu dan konyolnya di blog, lalu kalau foto-foto konyolnya dulu lebih banyak saya share di Path (yang sudah tutup) karena di situ lingkaran pertemanan benar-benar sedikit sehingga saya bisa memilih siapa yang memang saya inginkan mendengar cerita tentang Vay.
Baca juga: Apa Sudah Saatnya, Putri Saya Punya Akun Social Media?
Saat anak saya sudah semakin besar, dia sudah punya pendapat sendiri tentang apa cerita yang dia lihat dari foto itu. Saya sangat menghindari konten yang saya pikir nantinya bisa mempermalukan dia atau membuatnya tidak enak hati. Saya pun mulai mengurangi memposting foto-foto yang bisa menggiring opini orang tentang dirinya. Misalnya, apakah nantinya orang akan berpikir bahwa anak saya jarang dikasih makan enak karena badannya kecil, atau lainnya. Saat orang memberi komentar yang manis-manis ke anak saya, saya juga suka merasa itu berlebihan. Sebagian mungkin tulus, ya mungkin. Tapi apa mungkin kita berkata pada teman kita kalau anaknya tidak cantik, kemampuannya biasa saja, dst. Kan tidak mungkin toh.
Bahkan Vay sendiri bisa berpikir realistis, “Ya itu kan teman Mami, mana mungkin dia bilang Vaya jelek.” Itu sebabnya saya tidak terlalu suka dengan komentar “cantik” karena terasa palsu.
Pada dasarnya, memposting foto anak bukanlah sekadar tidak memposting baju dengan seragam sekolah, tapi Ini tentang tidak memposting sesuatu yang bisa menciptakan imej atau identitas yang mungkin tidak mereka setujui.
Baca juga: Ini Lho, Tanda Anak Mom Sudah Masuk Praremaja
YANG KEEMPAT: BERITAHU SOAL REWARD
Kalau sebagai mommy blogger kita mendapatkan imbalan atau bayaran untuk postingan yang melibatkan anak, beritahu mereka. Sebenarnya bukan mengajarkan agar anak menjadi materalistis, tapi agar mereka tahu juga bahwa berkat kontribusinya ibunya bisa mendapatkan uang, atau mendapatkan produk dengan cuma-cuma, dan lainnya yang bisa dinikmati bareng-bareng.
Kadang saya juga memberikan dia uang yang saya katakan sebagai fee karena telah mau terlibat untuk difoto. Karena bagaimanapun pekerjaan ini dilakukan bersama-sama dan kita harus menghargai kontribusinya.
YANG KELIMA: BELAJAR SAMBIL JALAN
Setiap tahun bermunculan media sosial baru. Sementara yang sudah eksis saja mungkin belum terlalu dikuasai, sudah harus berhadapan lagi dengan yang baru. Di era digital ini, orangtua dan anak sama-sama belajar sambil jalan.
Ketika media sosial pertama kali muncul, orang dewasa generasi pertama yang juga ikut membagikan kehidupannya secara online akan bertemu dengan anak-anak kecil yang juga sudah menggunakan media sosial.
Orangtua bisa salah. Anak juga. Saya tahu ada banyak teman Vay yang mengikuti saya di media sosial, dan juga ibunya, sehingga saya berusaha tidak memposting apapun yang akan mempermalukan Vay. Terkadang ada foto yang harus kami diskusikan ini mau diposting di mana, akun saya atau akun dia. Pernah juga saya salah saat posting, dan dia komplen, “Kok Mami postingnya di akun Vaya? Kenapa gak di akun Mami aja?” Lalu saya dengan santai jawab, “Lho kan itu tentang Vaya.” :D. Kalau sudah begitu, maka artinya tinggal menambahkan lagi kesepakatan antara kita.
Setiap orangtua, mau mommy blogger daddy blogger pasti punya aturan sendiri dan trik sendiri tentang bagaimana berbagi foto anak mereka di media online. Sharing ya.
-zd-
Pingback: Tentang Menemukan Kebahagiaan dan Targetku di Februari | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: 6 Cara Berbicara dengan Anak Mengenai Keamanan Internet | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: 6 Cara Mengajarkan Rasa Hormat Pada Remaja | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Have a Nice Weekend: Berkebun Kita?? | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Saya setuju banget dengan artikel ini, Mbak. Ketika anak-anak saya masih kecil, memang saya gak pernah minta izin. Karena mereka kan juga belum paham medsos. Tetapi, saya selalu mikir dampaknya. Makanya tetap hati-hati share foto mereka.
Sekarang saya selalu minta izin. Pokoknya jangan sampai mereka jaid merasa kayak dipaksa. Apalagi jadi merasa dipermalukan
Benar Mbak.
tantangan membesarkan anak di era sekarang ini memang beragam, ya.. termasuk urusan foto dan privasi.. ini menarik.. jika dulu foto difungsikan untuk dokumentasi, sekarang lebih ke untuk aktualisasi diri.. jadi harus menyikapi dengan berbeda..