Mobil yang membawa kami berbelok ke salah satu penyedia jasa wisata air sekitar jam 10.30 pagi WITA. Begitu keluar dari mobil, panasnya udara langsung menyambar kulit. Tapi bukan Bali ya kalau gak panas, meskipun saat itu juga sedang musim hujan.
Rencana kami hari itu adalah melihat penangkaran penyu, dan kita akan berangkat dari salah satu tempat di Tanjung Benoa ini. Tanjung Benoa ini memang terkenal sebagai salah satu tempat untuk kita mencari atraksi-atraksi air, termasuk salah satunya adalah singgah ke Turtle Island. Ya kalau dibilang tempat ini bagus sih enggak, soalnya air laut di sekitar sini busuk semua. Kan gak seru ya, kalau main Banana Boat terus jatuh di air busuk. Hahah.
Kami ke sini karena mau ke Turtle Island saja. Eniwei, jangan lupa untuk selalu menawar harga yang tertera di kertas menu. Kemarin saya ambil paket yang sekalian memberi makan ikan di glass bottom — which is ikannya gak keluar-keluar karena sudah kenyang — sama ke Turtle Island, Rp300.000. Ini sudah ditawar, tadinya mereka buka harga Rp400.000.
Kami naik salah satu kapal boat dengan kapten kapal muda berwajah Indonesia bagian timur. Saat naik ke kapal, kapten kapal melihat saya dan bertanya asal saya dari mana. Aduh, ketahuan deh… batin saya. Hahah, dalam hal ketahuan yang saya maksud bukanlah berarti tidak baik, hanya saja jarang sekali ada orang yang bertanya saya asli mana, kecuali orang itu punya feeling bahwa kemungkinan kakak ini serumpun. Ricky — si kapten kapal — berasal dari Ambon. Jauh-jauh kerja di Bali padahal di Ambon pantainya lebih bagus, kenapa? Katanya, di sana wisatanya belum selengkap di Bali. Malah saudara-saudara dari Saumlaki saja pun liburannya ke Bali, biar bisa main Banana Boat.
Dari dia juga saya tahu bahwa mereka tukang kapal ini selain dapat gaji bulanan, juga dapat uang sewa Rp10.000 dari setiap carteran yang naik ke kapal dari pengelola. Kertas carter yang diberikan petugas admin ke dia, disimpan untuk nanti ditagihkan.
(Dalam hati dengarnya sedih juga, kita bayar mahal ke pengelola tapi yang diberikan ke mereka tak sampai 10%).
Katanya, “Usi, lain kali kalau main ke Bali, tidak usah dari pengelola. Bayar mahal. Langsung saja deng kita, nanti tong bawa keliling puas-puas.”
Vay diam saja sepanjang jalan, mungkin dia berusaha mencerna ini maminya lagi ngomong apa sih sama kapten kapal? Tapi Ricky dengan senang hati membiarkan Vay menyetir kapal selama beberapa saat. Maksudnya tentu biar Vay lebih rileks dan tidak takut melihat lautan. Dan Vay sangat bangga karena bisa menyetir kapal.
Turtle Island sendiri letaknya tidak terlalu jauh dari pelabuhan Tanjung Benoa tempat tadi kami memulai perjalanan. Sepuluh menit jalan santai sudah sampai. Dari kejauhan kami melihat ada tiga empat tempat penangkaran yang bisa dipilih. Ricky memilihkan kami tempat yang di sisi kiri, katanya di situ tidak terlalu ramai jadi bisa puas lihat penyu. Seseorang datang menyambut kapal kami, ditarik ke tepi agar kami bisa turun di air yang tak terlalu dalam. Seorang ibu menyambut kami, mengajak kami masuk ke dalam.
Menilik tempatnya, ini memanglah tempat penangkaran penyu. Penyunya banyak sekali! Di depan ada bak-bak untuk penyu-penyu muda. Ada satu ekor penyu berusia delapan tahun yang harus kami pegang berdua agar bisa difoto. Saya tak menyangka penyu ukuran kecil itu ternyata berat! Masalahnya kami hanya memegang salah satu tepi cangkangnya, dan bukan memeluk erat semua, jadi terasa berat.
Berlalu dari bak-bak itu, kami turun ke kolam penyu. Saat pertama turun, saya tak mengira itu adalah kolam. Saya tadinya mengira itu hanya halaman yang digali lebih dalam, karena jejakannya juga kering. Hanya ketika mendekati kandang dari bambu, barulah berair semata kaki. Sempat terpikir, bagaimana penyu-penyu ini bisa hidup dengan air sedikit begitu. Tapi ternyata itu bukan halaman biasa. Bila hari semakin sore dan air pasang tiba, dari belakang kandang, air laut akan datang dan memenuhi seluruh kolam hingga ke ujung tangga tempat kami turun tadi.
Di dalam kandang bambu ini ada banyak penyu besar yang sudah berusia puluhan tahun. Ada satu yang usianya 70 tahun, lho, seumur opungnya Vay! Tapi saya sendiri belum dapat membedakan yang usia 70 tahun dengan usia 40 tahun. Soalnya besarnya sama. Ada satu yang agak kecilan usianya 20 tahun, yang cukup lihai bergerak-gerak.
Di sini, kami mulai memberi makan penyu dengan rumput laut. Dilemparkan saja ke arah mulutnya, tapi jangan diarahkan atau disuapi. Vay sempat hendak menyuap terlalu dekat, tapi kemudian diingatkan oleh guidenya bahwa gigi penyu setajam pisau. Jadi jangan mengulurkan jari ke mulutnya, atau berdiri di depannya.
Nah, selain penyu, di tempat ini juga ada satwa lainnya, seperti burung, iguana, luwak, hingga ular. Untuk yang terakhir, ular, kita tidak foto bareng. Saya lihat ularnya kurang terawat, kulitnya tidak berkilat, kemudian mulutnya dilakban. Masa mulut dilakban. Kok ya kasihan ya, gak tega gitu foto-foto dengan ketidakberdayaannya. Saya pernah beberapa kali berfoto dengan ular sanca yang terawat, dan karena ada pemiliknya ya mulutnya gak dilakban. Mungkin ular ini ular liar, ya.
Kami tidak tinggal lama untuk makan siang di sana. Vay tidak terlalu suka ikan, jadi kalau pesan ikan bakar percuma juga kalau dia gak makan. Jadi ya hanya minum air kelapa saja, Rp30.000 perbutir (mahaallll!). Sebelum keluar dari pulau, ada cetakan foto dong seperti biasa, hahah. Vay seperti biasa memandang penuh harap, hobinya memang suka mengoleksi printed photo. Padahal mahal sih itu, Rp100.000. Tapi ya sudahlah ya. Namanya juga liburan.
Saat naik ke kapal, kapten kapal Ricky juga berkomentar, “Usi, buat apa ambil foto di sini. Mahal. Bagus cetak foto sendiri…” Hahah…. Tapi dia pun paham, kalau anak su mau, biar sudah…
Kami berlalu dari Tanjung Benoa sekitar jam 1 siang, mencari tempat makan siang. Kalau tanya ke Vay apa yang berkesan selama di sana, katanya ketika menggendong penyu.
….
Oh ya, sekalian saya mau mempromosikan Ricky ya. Siapa tahu ada teman-teman yang mau ke Bali dan ingin jalan-jalan di Tanjung Benoa puas-puas dengan perahu untuk snorkeling, ke pulau penyu, atau kasih makan ikan, bolehlah hubungi Ricky Ambon di 0823-4130-9317. Bisa lebih murah dibanding ke pengelola.
-ZD-
Pingback: Tips Liburan ke Bali dengan Keluarga | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Tempat Wisata Keren di Bali Selain Pantai | Mom Travel & Photography Blog - Zizy Damanik
perjalanan mbak zizy ini seru sekali ya mbak di Bali. Jadi pengen balik ke Bali lagi. Kemaren sangat belum puas karena baru sekali.
Bener Nie. Bali sih gak ada habisnya yaa hehee… harus balik dan balik lagi..
Aku ke tempat ini udh lama banget. Pas outing kantor bbrp thn lalu :D. Pas foto sama ular itu, aku jelas nolak. Hahahaha mau mulutnya dilakban kek, mau ga kek, ttp ga bakal sudi nyentuh yg namanya ular :p
Saya paling gak berani lihat binatang melata. Apalagi kalau sampai dilakban begitu, tambah seram kayaknya.
Dulu pernah punya kura-kura. Sama orang tua udah diingetin gak boleh kasih makan terlalu dekat. Giginya tajam dan bahaya. Kura-kura sama penyu mirip kali ya giginya. Masih ada kemiripan begitu
Makasih infonya, Kak. Noted. Berarti lebih murah langsung ke mereka daripada ke pengelola, ya. Btw, awak baru tahu kalok gigi penyu setajam piso. >.<
Penyu nih kayaknya aja gak berbahaya ya, padahal kalau gigit serem juga