[soliloquy id=”7425″]
Ini adalah tulisan lanjutan saat main ke Malang bulan lalu. Tulisan sebelumnya bisa lihat di sini dan di sini.
Pukul sebelas tiga puluh malam, mendekati tengah malam, alarm berbunyi. Ampun, rasanya mata ini berat sekali terbuka. Setengah sadar terseok-seok bangkit dari tempat tidur, ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Karena jam sembilan malam tadi sudah mandi dan sudah pakai long john (bagi yang belum tahu, long john adalah sejenis pakaian dalam yang biasa dipakai di musim dingin, melekat dan pas dengan badan, umumnya berbahan wol, lembut di kulit) saya langsung membungkus badan dengan jaket katun bertopi dan celana jeans heat-tech. Jaket bulu angsa andalan masih saya cantel di back pack, kemudian pashmina dan sarung tangan sudah masuk juga di dalam tas. Agak berlebihankah? Tidak, sih. Udara pegunungan dinginnya minta ampun, jadi jangan sepele dalam menyiapkan perlengkapan. Suhu tubuh harus dijaga agar tetap stabil, biar tidak sampai kedinginan parah malah sampai hipotermia. Duh, jangan sampai. Lha ini Batu saja sudah dingin begini, apalagi di Bromo?
Untuk sepatu, saya memilih pakai boots yang biasa saya pakai sehari-hari, dengan lapisan kaos kaki. Kawasan Bromo adalah kawasan berpasir, jadi wajib pakai kaos kaki agar kaki terlindung. Jangan pakai sneakers tanpa kaos kaki, jari-jari kaki bisa lecet setelah keluar dari situ.
Dan jangan lupakan masker. Ini penting sekali karena di Bromo itu berpasir dan debu bertebangan seiring kaki-kaki yang melangkah.
Di dalam bus, sebagian besar rombongan juga masih pada ngantuk. Saya langsung tidur lagi di bus, karena kita akan menempuh perjalanan hampir tiga jam untuk tiba di kawasan Bromo, sebelum melanjutkan naik mobil Hard Top ke atas.
Tiba di pangkalan Hard Top, sudah ada enam mobil yang kami book untuk rombongan. Penjual sarung tangan dan topi langsung mengerubungi kami. Lumayanlah, jadi kalau ada yang lupa bawa sarung tangan bisa langsung beli di tempat. No worries.
Untuk tiba di penanjakan, kami harus menempuh perjalanan dengan Hard Top ini sekitar tiga puluh hingga empat puluh menit, tergantung ramai atau tidak. Guys, ini Bromo sudah kayak Jakarta! Macet! Dan berisik! Sepanjang jalan mobil-mobil ini ngebut menghantam semua kelokan dan rintangan. Sepertinya mereka butuh penyaluran, balapan offroad. Dan sepertinya mereka lupa kalau yang duduk di belakang itu manusia, bukan karung beras.
Bau bensin yang menyambar hidung membuat saya mulai mabok. Mati aku. Ini tanda-tanda, nih. Mual mulai menyerang. Dua orang yang duduk di belakang dengan saya tertidur, dan satu orang terjaga. Dan mereka tak sadar sama sekali ketika akhirnya saya muntah! Ya, saya tak tahan juga dengan jalan berputar-putar ditambah bau bensin. Untungnya ya karena saya emak-emak yang terbiasa bawa plastik kemana-mana – berjaga-jaga kalau anak munmun – saya sudah sedia plastik ketika dirasa mual ini sudah tak bisa ditahan. Hidup plastik penyelamat!
Akhirnya mobil gila ini berhenti juga. Tiba di parkiran yang sudah penuh dengan pejalan kaki yang ingin menuju ke Penanjakan. Waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi ketika kami tiba. Teman-teman kaget tahu tadi saya jackpot, hahah… bener kan, pada gak sadar. Dari situ kami masih harus berjalan lagi sekitar lima puluh meter untuk tiba di bagian Penanjakan. Di sini ada dua penanjakan, yaitu tempat di mana pengunjung bisa naik dan menonton sunrise. Yang paling bagus katanya Penanjakan Satu. Tapi, berhubung Penanjakan Satu sudah full, itu sudah ditutup sehingga sisanya harus naik ke Penanjakan Dua, di sisi kanan. Di atas ini, sudah seperti Puncak sih, sudah ada warung-warung penjual makanan dan minuman, bahkan ada yang menyewakan baju hangat, lho! Again. No worries kalau ke sini.
Rombongan besar sudah terpencar-pencar entah kemana. Maklumlah ya mau mengejar sunrise, dan suasananya ramai bukan main, susah untuk mencari-cari. Kami, berempat, akhirnya naik sendiri, karena takutnya kalau menunggu – entah siapa juga yang ditunggu – kita tidak akan mendapatkan sunrise. Karena kami tak membawa senter dan tak tahu arah juga, kami menggunakan jasa orang lokal sebagai penunjuk arah, yang membantu menyenteri jalan setapak yang dilalui. Bayarnya Rp 30.000. Udah gitu cepet banget lagi jalannya, masa dia udah di atas, kami berempat masih terengah-engah di belakang, gak tahu apa ya ada orang Jakarta yang jarang olahraga terus nenteng tas berat sama kamera juga berat. Wooii Bang, tungguin…!
Tiba di atas, semua langsung mencari posisi masing-masing. Ini namanya Piknik di Bromo. So many people! Full. Posisi saya sih pas menghadap Gunung Bromo, namun sunrise ada di sisi timur, jadi ya mau gak mau harus melipir sedikit demi sedikit agar bisa menangkap momen pertama kalinya saya lihat sunrise di gunung ini. Meskipun ini lebih tepat diberi judul, menatap lautan kamera ketimbang lautan awan. Hahah…
Tapi semua itu terobati kok. Warna-warni di langit itu sungguh luar biasa memukau. Tak heran semua mata tak henti memandang ke sana. Dan semua berebut foto, sampai ada yang hampir terperosok karena kurang hati-hati melangkah. Saya juga hampir terperosok karena boots saya licin. Well, pelajaran juga, harus pakai boots yang sesuai kalau naik gunung. Di atas gunung juga banyak turis asing, dan saya menemukan seorang perempuan bule terlihat duduk menggigil dan membungkus dirinya dengan selimut. Nah! See?
Agak susah mendapatkan foto sendiri dengan latar belakang Gunung Bromo kemarin itu. Ramai sekali, maka harus berhati-hati sekali ketika ingin turun untuk mendapatkan foto yang clear. Maafkan ya muka bantal saya ini! 😀
Ketika kami mau turun, cahaya cantik matahari menyinari sisi selatan. Cantik banget.
Sekitar pukul lima tiga puluh kami turun. Sempat terpisah pula dengan Mba Dev, yang tadi barengan. Saya menunggu sekitar sepuluh menit tapi kok gak kelihatan juga nih. Lalu ketika saya bertemu dengan EO yang datang barengan Pak Bos kita yang ikutan ke Malang bersama rombongan #BrikPiknik Indosat ini, baru deh kita akhirnya memutuskan untuk turun saja ke bawah, ke mobil. Eh, begitu sampai di mobil, ternyata si Mba Dev sudah di situ, tidur. LOL.
Kali ini saya langsung pilih duduk di depan, supaya tidak mabok. Dari situ kami berencana turun ke daerah pasirnya untuk kemudian naik melihat kawah. Jadi kalau ke Bromo, setelah sunrise-nya, maka yang bisa dinikmati lagi adalah kawah Bromo, kemudian Pasir Berbisik, dan Bukit Teletubbies.
Uhuk! Sayangnya untuk yang naik ke kawah Bromo, saya tidak ikutan. Begitu naik mobil, saya, Mba Dev, dan Abenx teman satu lagi, langsung tidur pingsan. Gak kebangun sampai jam delapan lewat, ketika rombongan sudah bersiap-siap untuk lanjut ke Pasir Berbisik. Hahah, kebo banget. Tapi kita beneran ngantuk. Masa kata mbak EO-nya, sudah diketok-ketok jendelanya saya tetap tak bergerak. Jadi ya gitulah, saya tidak naik kuda, tapi sempat foto-foto sedikit.
Pasir Berbisik
Sebenarnya, kawasan ini hanya pasir kering biasa tak bernama. Namun kemudian dinamakan demikian ketika ada film yang dibuat di sini dengan judul Pasir Berbisik, tahun 2001.
Di sini sudah jelas padang pasir semua sejauh mata memandang, dan kalau ke sini ya hanya mobil atau motor trail. Udara panas terik, dan kalau ke sini sudah pasti sebaiknya pakai sunblock dan topi. Jangan lupakan masker juga. Eh tapi kalau mau foto, masker dibuka dulu biar ketjeh! Ini salah satu foto fave saya, teman-teman #BrikPiknik Indosat kemarin. Sahara Angels. ^^)
Sayangnya kami tidak sempat ke Bukit Teletubbies. Pemandu lokal mengatakan bukitnya kering semua karena kemarau panjang ini, jadi actually tidak banyak yang bisa dinikmati di sana.
Setelah rombongan puas foto-foto dan shoot video juga di sana, rombongan pun siap melanjutkan perjalanan. Sebelum kembali ke Malang, kami mau makan siang dulu di situ. Keluar dari sana, saya dilanda sakit kepala yang kuat karena masuk angin. Dan mual kembali melanda. Bahaya. Bahaya. Buru-buru minta pak supir menepi. Langsung jackpot lagi, kali ini hanya air saja. Mba Dev sampai turun dan membantu memijat punggung dan keluarlah semua angin-angin itu. Dalam hati mulai deh, kesal dan ingin menyalahkan pak supir yang bawa mobil gila-gilaan. Tapi begitu lihat wajahnya, ya sudahlah. Dia mungkin udah senang banget bisa mengendarai Hard Top. Biarlah. Jangan rusak kebanggaan dia.
Luar biasa sih perjuangan untuk ke Bromo ini kalau dipikir-pikir. Waktu ngobrol-ngobrol di restoran, baru deh ketahuan, ada juga peserta lain yang jackpot sampai lima kali karena masuk angin dan mabok. Begitu juga teman-teman lain kelihatan lelah sekali. Pastilah, bayangkan sehari sebelumnya kami baru tiba dari Jakarta langsung ke Batu Secret Zoo, Museum Angkut sampai malam, baru tengah malam langsung lanjut ke Bromo. Woooo…..!!
Melewati perjalanan, seperti ke Malang ini, seperti saya katakan sebelumnya, adalah ketika kita mendapatkan banyak hal baru. Mendapatkan beberapa teman baru yang saya rasa bisa cocok nantinya, kemudian menemukan juga sebuah batas kekuatan diri sendiri untuk persiapan perjalanan selanjutnya, dan juga menemukan sisi lain dari orang yang sudah kita kenal sebelumnya. Menyenangkan!
Jadi, kalian sudah ke Bromo? Bagaimana kalau kita barengan?
Wahh. Sunrise nya cantik Mbak. Padat tapi masih dapat foto seperti ini, kerennn.
Suka foto terakhirnya yang di Pasir Berbisik itu mbak.
Asiiikk… terima kasih…!
cakep banget zy foto sunrise nya!!!
Yoi, kannn???
Bromo selalu aja indah menantang, nggak bosan2 lihat foto2 cantiknya
kami waktu itu sengaja nginap di desa terdekat Zi.., karena nggak bakal sanggup juga kalau dibangunin tengah malam…trus lewat jalan meliuk meliku itu
Iya Kak, seharusnya nginap deketan jd gak capek. Maklumlah kami kejar tayang pikniknya… 🙂
Apa saya satu – satunya orang yang belum ke Bromo? Serius, penasaran bangeeeeeeeeeeeeet! Apa boleh buat, belum sempat, dana dan waktunya. Hiks. Doakan saya bisa segera kesana ya, Mbak Zizy! Mau foto bercahayakan sunrise biar kece kayak dirimu! 🙂
Pasti bisa, kok! Ga mahal banget sih, kalau beramai-ramai ama teman. Jadi sharing semua…
Aku yg sdh pakai baju tiga lapis tetap kedinginan di Bromo. Sialnya lagi gak isa motret sunrise saking bejibunnya orang 🙂
Benar Bu. Itu sebabnya saya gak mau ambil resiko. Pake long john ama jaket bulu angsa aja dah biar aman… hehe…
Bromo selalu bikin kangen dan selalu mau balik lagi 🙂
Kalau balik sana, ajak-ajak ya!
selalu pengen ke sana..indah sekali Bromo
Memang indah. Dan kalau sudah ke sana lalu ingin balik lagi…