Hujan yang sangat deras menemani perjalanan kami di suatu siang. Truk bak terbuka di depan kami melaju kencang, dengan muatan beberapa ibu-ibu dan anak perempuan mereka. Basah kuyup. Yeah, mungkin mereka menumpang truk untuk menuju ke satu tempat, dan tidak menduga akan ditemani hujan sepanjang jalan. Aah… kenapa sih pak sopir tidak berhenti dulu untuk memasang terpal? Kasihan sekali mereka kebasahan sepanjang jalan.
Bersyukurlah kita, yang bisa berada di dalam mobil tertutup dan tak kebasahan.
…..
Dua hari saya ada di Lombok bersama salah satu teman. Sehari sebelumnya kami ada di sana untuk menjadi relawan Kelas Inspirasi Lombok, dan di hari terakhir di Lombok, kami pun menyempatkan diri mampir ke beberapa tempat wisata favorit di sana.
Salah satunya adalah Pantai Tanjung Aan yang berada di Lombok Tengah. Dan saya baru tahu ketika tiba di sana dan mendengar orang Lombok mengatakannya, ternyata cara penyebutannya adalah “An” bukan “A-an”.
Dari hotel tempat kami menginap di Mataram, tempatnya cukup jauh. Namun karena Tanjung Aan ini letaknya juga bisa dikatakan tidak terlalu jauh ke arah bandara nantinya, jadi kami akan diuntungkan dengan waktu perjalanan sore hari.
Jadi, ceritanya kami tuh awalnya mau ke Bukit Merese, ingin melihat bukit hijau yang terkenal itu. Di perjalanan, karena driver kami ingin mencoba jalur alternatif (katanya jalan lama yang biasa dilewati sudah sangat jelek kondisinya), kami sempat nyasar. Tanya sana-sini, eh ternyata bisa melewati jalan baru yang baru setengah jadi yang sebelumnya sudah kami lewati jauh di belakang sana. Putar arah. Dan coba lewat jalan baru sesuai anjuran.
Di tengah kegalauan kapan kami akan tiba di Bukit Merese, mobil tiba di dekat areal pantai, bernama Pantai Tanjung Aan. Ya sudah, saya dan teman berpandangan dan kami sepakat untuk berhenti di situ saja, soalnya takutnya nanti gak jelas lagi nih sampai apa enggak. Masa udah dua jam gak nemu-nemu juga tuh bukit. Dan mumpung di depan mata sudah ketemu pantai yang juga hits itu, ya sudah di sini sajalah.
Eh cerita punya cerita, begitu sudah masuk dan ketemu para penjual jasa wisata air di situ, kita baru tahu kalau Bukit Merese itu ya di situ-situ juga. Hahah. Ini ternyata driver yang ngantar juga gak terlalu hapal Lombok ya.
Pertama kali menginjakkan kaki di Pantai Tanjung Aan ini, langsung terasa pasirnya yang sangat lembut. Karena butir pasirnya yang mirip butir merica, maka Pantai Tanjung Aan ini juga disebut Pantai Merica lho. Rasanya pengen nyebur lihat air laut yang jernih dan ombak yang memanggil-manggil, tapi karena waktu yang lumayan terbuang waktu di jalan tadi, kita pun jadi gak bisa benar-benar santai. Plus, kami juga berhemat baju. Sudah hari terakhir, tak banyak baju bersih bersisa. LOL.
Datang ke Pantai Tanjung Aan ini seperti sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Ya itu tadi, selain pantai yang kece ini, juga ada Bukit Merese, dan Pantai Batu Payung. Untuk mencapai kedua tempat ini, kami pun menyewa perahu boat dengan harga coret Rp300ribu. Memang harus tawar menawar alot sih di sini, tadinya mereka buka harga Rp450ribu, yang kemudian berhasil kami tawar ke angka tiga ratus ribu. Gak tahu deh benar gak segitu harganya. Menurut saya sih mahal.
Pantai Batu Payung
Pantai Batu Payung adalah tujuan pertama kami. Letaknya tidak terlalu jauh dari pantai Aan, ya cuma lima sepuluh menitlah naik perahu. Di sini ada batu karang tinggi yang katanya menyerupai payung menutup (padahal menurut saya sih gak mirip). Katanya ada jalur lain untuk dapat sampai ke sini, jalur darat yang jelas akan lumayan menghemat ongkos.
Saat itu sudah pukul sebelas siang, dan gelombang ombak mulai membesar dan kuat menghantam karang-karang di tepi. Sisi-sisi pantai ini hampir semuanya karang, hampir tidak ada hamparan pasir di bibir pantai. Bila ingin berfoto di tepi karang harus ekstra hati-hati agar tak terpeleset. Memang sih airnya tak terlalu dalam, namun ombak besar itu, kita tak akan tahu seberapa sanggup melawannya bila tergelincir masuk laut. (Padahal saya cuma menebak-nebak kedalaman aja, soalnya warnanya masih hijau muda, tebakan sih cuma 4-5 meter)
Pantai Batu Payung ini hits juga di Instagram. Tapi saya belum tahu apakah di sini cocoknya hunting sunrise or sunset karena kalau mau main tebak-tebakan lagi, kayaknya kalo sunset air di sini sudah pasang.
Dua anak kecil yang mengikuti kami dari Pantai Tanjung Aan terus saja membujuk agar kami berpotret dengan latar Batu Payung tersebut, dan akhirnya kami pikir ya sudah bolehlah sekali-kali berfoto ala-ala gaya main stream sekarang. Baru kemudian saya ajak juga mereka foto bareng.
Bukit Merese
Selanjutnya adalah ke Bukit Merese. Air semakin tinggi, sehingga kami harus menggulung celana cukup tinggi agar bisa naik ke kapal. Soalnya ombaknya cepat sekali balik ke pantai, jadi kita harus buru-buru naik, hahah. Dan kemudian ternyata gerimis di tengah laut. Angin kencang dan ombak besar bikin baju basaaahhh….. Langsung menyesal karena lupa bawa dry bag. Untuuung kamera dan handphone aman di dalam tas, meski tas juga agak basah.
Bukit Merese ini ada di sisi berlawanan dari Pantai Batu Payung. Ketika kapal sudah mendekat ke tepi, kami bisa melihat di atas sana gerombolan sapi sedang merumput di bukit. Ya ampun, sapi-sapi ini hebat ya, meruput sampai ke tepi-tepi bukit. Manusia mungkin udah takut duluan, takut kepeleset, hahah…
Pantai di bawah bukit pun sama indahnya dengan pantai Tanjung Aan. Lebih kecil, lebih dangkal, jadi bisa renang-renang kece hingga sedikit ke tengah.
Keistimewaaan dari Bukit Merese ini adalah, bisa menikmati hamparan laut luas dari atas bukit. Cukup mendaki sedikit ke atas (tidak terlalu sedikit juga sih, tapi karena tidak terlalu terjal, jadi tidak terasa terlalu lelah) dan kemudian bolehlah piknik di atas sambil memandang hamparan laut di sana. Indahnya Indonesiaku…. sungguh tak kalah dengan pemandangan di luar negeri. Hanya satu tips saja bagi yang mau ke Bukit Merese. Hati-hati dengan ranjau, di sana banyak bertebaran kotoran sapi.
Karena cuaca semakin tidak menentu, gerimis kembali turun, maka kami memutuskan untuk kembali ke Pantai Tanjung Aan. Sudah siang juga, kan masih mau makan siang dulu sebelum ke bandara.
Oh iya, untuk fasilitas di Pantai Tanjung Aan ini, bisa dikatakan masih seadanya. Kamar mandi dan toilet hanya ada beberapa bilik, bayarnya pun mahal, Rp5000/orang. Warung makan tidak banyak pilihan. Mushola khusus tidak ada, hanya berugak yang diubah menjadi tempat sholat, yang dipakai juga untuk tidur beberapa penghuninya.
Eniwei, dalam perjalanan kembali ke arah bandara, sebenarnya kami melewati Desa Adat Sade. Sudah berhenti juga untuk parkir. Namun karena hujan sangat deras, terus kita lihat kok pekarangan Desa Sader juga menggenang ya, akhirnya kami putuskan kembali melaju mencari tempat makan. Inginnya kan bisa melihat dan menikmati dengan santailah, gak pengen buru-buru. Ya sudah, lain waktu bisa ke sini lagi, kok.
Lombok memang sangat sangat sangat indah. Keunikan dari setiap daerahnya sangat banyak dan seperti tak habis-habis. Semoga nanti bisa balik lagi (dan lagi) ke Lombok. 🙂
-ZD-
Pingback: Pantai Selong Belanak | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Pantai Selong Belanak | BLOG-nya Zizy Damanik
Waah Mbaak ini ceritanya sama seperti aku. Antara jalan baru itu saya muter-muter terus ngikuti maps yang makin lama makin gak jelas haha..
Sedianya saya nyari Pantai Seger yang kata orang lebih bagus dari pada pantai Tanjung Aan. Tapi sudah bolak-balik arah, diputuskanlah ngawur aja belok. Makin ke dalam pemandangannya makin cakep, baru ngeh kalau ujungnya adalah Pantai Tanjung Aan haha..
Tapi saya nggak ke bukit Marese, Suami sudah cemberut gara-gara kesasar tuh haha..
Pantainya cakep. Tanjung A-an destinasi wajib nih kalo ke sana lagi
mbaaa…take me thereee :)..Alam Indonesia memang ngga ada dua yaaa. Rindu!
Benar Mbak Indah….. Pantai Aan ini sungguuhhhh indah. Renang2 sampai gosong pun rela…. ihihihi…
Ternyata bisa nego sampai banyak gitu satu boat ya, Mbak. Noted, deh. Aku lagi pingin ke Lomb0k, nih. Aaaaaaaaaaah! Makin pingiin.
Iyaaa harus ditawar separoh dulu tuh, baru nanti naik turun dikit negonya hehe..