Happy Idul Fitri bagi pembaca TS! Apa rencana teman-teman di weekend ini? Libur lebaran memang terasa sangat lama sekarang, ketika pemerintah melarang warga untuk melakukan mudik. Ada yang sudah mudik duluan lalu ada juga yang memilih untuk mudik belakangan, jadi bagi yang kerja nih, koordinasi bisa agak molor.
Tetap bisa kok jadi produktif. Asal tegas dan konsisten pada rencana dan tanggung jawab.
Weekend ini saya ada di Medan. Yeah, saya memilih pulang ke Medan pada tanggal 18 Mei kemarin, sehari setelah jadwal larangan mudik. Kami melakukan swab antigen pada jam 1 siang hari sebelumnya, lalu kemudian pesan tiket untuk berangkat pagi keesokan hari. Neko, kucing kesayangan kami, langsung dijemput malam itu juga oleh Petshop langganan, menginap dulu. *Dan yeah, Neko sedih sekali karena mendadak dicabut dari zona nyamannya. Sampai kemarin, dia masih ngambek di Petshop.
Ch1. TEMPAT PERISTIRAHATAN TERAKHIR
Saya ingin bercerita tentang kunjungan saya kemarin ke TPU di Simalingkar. Berikut ini adalah status yang saya tulis di Facebook, dan izinkan saya membagikannya di blog ini.
20 May 2021
Hari ini kami mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Tante Cie, tante kesayangan kami. Tanteku ini sudah urus saya dan abang sejak kami masih kecil di Biak. Saya suka disuapi, dipakaikan kaos kaki sebelum ke sekolah, dimandikan kalau pas kaki luka-luka karena habis mandi-mandi di pantai. Semuanyalah, karena Mami saya kerja maka Tante yg urus ponakan2 di rumah.
Jadi, beliau ini… mami kedua saya….
Sering menginap juga di rumah di Jakarta, dan kalau sudah mau tiba hari Natal, saya yang antar beliau ke gereja di Duren Sawit, menunggu sampai selesai, karena saya tahu oma2 kan sudah sepuh, tidak kuat berdiri lama2, jadi jangan sampai menunggu-menunggu untuk dijemput. Tt Cie selalu sumringah pas cerita misalnya habis ketemu sesama orang Ambon di gereja. (Ada kawan thoo…).
Tapi habis itu Tt Cie jarang gereja lagi, katanya capek duduk terlalu lama di kursi yang keras, lalu mau masuk gereja saja mesti naik anak tangga banyak, su tra kuat katanya.
Kalau anak saya marah-marah sama Oma Cie, saya pasti langsung emosi dan tegur dia. Saya bilang Oma Cie itu juga maminya mami, jadi dia harus hormat.
Tante saya satu lagi yang di Sorong pernah bilang begini saat main ke Jakarta, mungkin karena beliau lihat Tante Cie happy selama di Jakarta, “Sizy terima kasih-eee karena su urus Tt Cie dengan baik….”
Saat itu saya diam saja, tidak menjawab apa-apa. Karena mungkin ya, menurut saya yang saya lakukan ini sesuatu yang lumrah dilakukan siapa saja, jadi tak pernah terpikir bahwa orang lain akan memandang itu sebagai suatu tindakan berbakti.
Sebulan yang lalu, di tengah bulan Ramadhan, Tante Cie berpulang karena wabah COVID-19. Sulit rasanya dipercaya, karena tante kami ini selama setahun pandemi kan hanya di rumah saja, namun entahlah kena di mana, saat keluar sekali ke Siantar sebelum puasa, pas pulang ke Medan kok beliau langsung drop. Cepat sekali kejadiannya setelah dibawa ke RS, dan kecewa berat hati ini karena saya tidak ada di dekatnya kemarin, tapi yeah mungkin ini sudah jalannya. Malam-malam pas diinfo kalau Tante drop dan pindah dari isolasi ke ICU, aku diam saja tidak bisa komen apa-apa, lalu mendadak jam 2 pagi air mata mengalir sendiri, sampai makan sahur begitu…. keluar saja. Tidak ada isakan, namun air mata seperti tidak mau berhenti. Ternyata itu sudah firasat karena di situ beliau sudah kritis).
Lalu ketika keesokan malamnya Tante Cie berpulang dan mau langsung dikebumikan (tengah malam), hati ini cukup plong karena para nakes berbaik hati mengirimkan foto dan video terakhir beliau, dengan baju kebaya putih yang memang sudah kami siapkan jauh-jauh hari . Ah, terima kasih. Sungguh besar jasa para nakes ini, mengurus para penderita COVID dengan segala resikonya, bahkan termasuk mereka setiap hari harus berhadapan dengan banyak pasien meninggal.
Alhamdulillah, bulan Maret kemarin saya sudah sempat pulang ke Medan untuk lihat Papi, Mami, dan Tante Cie. Saat itu saya bilang ke Tante Cie, “Nanti lebaran sa datang lagi…” dan YA, kali ini datang tapi mengunjunginya di sini. Di TPU khusus penderita Covid di Medan.
Selamat beristirahat dengan tenang, Tante Cie, Oma Cie. Sudah hilang semua sakit itu.
Sampai bertemu suatu saat nanti.
Di TPU kemarin, saya melihat banyak lubang makam yang baru digali, sudah ready menampung jenazah sewaktu-waktu. Lalu saya juga lihat di deretan makam tante saya, ada makam perempuan muda kelahiran 1990, dengan nisan berhias fotonya semasa hidup. Ya, coronavirus tidak mengenal usia, karena itu bagi yang masih sehat dan kuat, tetaplah patuhi protokol kesehatan. Jangan anggap sepele COVID-19, jangan pula sengaja menantangnya agar datang. Jangan!
Ch2. TANTE CIE (postingan 2010)
“Ini adalah tulisan lama saya, di sebuah blog yang sudah ditutup. Cerita tentang Tante Cie, yang saya tulis di tahun 2010. Saya ingin menyimpannya di sini, sebagai kenangan yang tertera oleh tinta digital.”
“Ini. Sa pu kawan kasih buat saya,” Tante Cie memanggilku. Aku jalan mengikutinya dan melihat dua bungkus plastik kresek di atas baskom plastik.
“Apa itu?” tanyaku.
“Bawang merah. Sa pu kawan di pasar, da yang kasih..”
“Oo…” aku mengiyakan sambil menganggukkan kepala. Aku mengambil gelas dan menuang air ke dalamnya. Setelah itu aku ambil piring dari dalam lemari, mengambil nasi dari dalam magic com, dan mencomot sepotong ikan goreng.
“Hmm.. Enak nih ikannya.” Gumamku. Ah, sedap betul makan di rumah ini. Jarang aku dapat ikan sesegar ini di pasar dekat rumahku di Jakarta. Anakku sedang makan dengan lahap disuapi susternya. Kami berangkat pakai pesawat paling pagi dari Jakarta, pantaslah dia kelaparan, soalnya belum makan.
Tante Cie datang lagi membawa sebuah bungkusan. Isinya dua kotak sepatu. Dikeluarkannya salah satu kotak dan diambilnya isinya. Ditunjukkannya padaku.
“Ini. Sa beli di sana, salon yang sa biasa potong itu. Bagus ka tarada?” Aku mengamati sekilas sepatu pantofel sederhana itu. Biasa saja sebenarnya, masih kalah dibandingkan handmade buatan Bandung. Tapi aku tersenyum saja dan mengangguk.
“Iyooo… bagus,” jawabku sambil menyuap ikan lagi.
“Kalau ini?” Kali ini Tante Cie mengeluarkan sepasang sepatu lagi, dengan model yang sama tapi warnanya coklat.
“Ini lebe bagus..” jawabku jujur. Warna coklatnya bagus.
“Harganya..” Tante Cie berhenti sebentar, berusaha mengingat. Lalu melanjutkan, “Satu, enam puluh lima. Tapi sa beli dua, jadi dia kasih enam puluh. Sa mo pake nanti buat Natal.” Aku mengangguk lagi.
Setelah itu bungkusan itu dibawanya lagi ke kamarnya. Disimpan. Lalu Tante Cie datang lagi, dan mulai mengulang omelan yang sama seperti yang sudah-sudah. “Yang kamarin Tanta Nona datang itu, dong bilang sama saya, Tanta Nona beli sepatu banya skali….” Tante Cie berhenti sebentar mengatur napasnya. “Sa bilang, beli banya-banya buat apa. Tanta Nona itu boros skali…” Aku mengangguk-angguk lagi. Biasalah.
Tante Cie. Umurnya sudah 65 tahun, badannya kurus dengan rambut pendek. Masih cukup sehat untuk orang seusianya. Dia jarang sakit. Hanya pernah sekali sakit parah sepuluh tahun lalu sampai harus masuk ICU sebulan, karena kesalahan dokter yang memberikan obat terlalu keras sehingga dia muntah darah. Keluar dari ICU, ada lubang di lehernya untuk tambahan aliran masuk oksigen.
Beliau hanya sekolah sampai kelas 3 SD saja, karena keterbatasan yang dimilikinya. Dia sedikit tuli sejak kecil, dan karena selalu mengalami ketinggalan saat belajar di sekolah akhirnya bapaknya (opa kami) memutuskan ia sekolah hanya sampai kelas 3 saja. Sejak kecil Tante Cie lebih sering di dapur membantu mamanya mengurus rumah tangga. Memasak dan beres-beres. Ketika ia masuk usia matang, ada seorang pria yang kemudian datang dan menikahinya. Tapi mereka tidak punya anak.
Sejak aku kecil, Tante Cie sudah ikut keluarga kami. Dia kakak nomor dua dari mamiku. Karena suaminya tidak punya pekerjaan tetap, papiku mengizinkan ipar dan suami iparnya tinggal di salah satu kamar di rumah kami di Biak. Kadang kalau sedang ada pekerjaan, misalnya jadi mandor, maka suami Tante Cie, Om Bob, suka membelikan aku dan abangku buah matoa. Tapi kalau sedang menganggur, tugasnya adalah mengantar jemput aku dan abangku sekolah. Sementara Tante Cie di rumah tugasnya memasak untuk kami semua, karena papi dan mamiku bekerja. Selain tugas memasak, tentu saja mengurus kami keponakan-keponakannya yang masih kecil. Dari aku TK, tanteku sudah memakaikan aku kaos kaki dan sepatu, gorengin kami telor mata sapi, dia juga yang memandikan aku atau abangku kalau kami berdua harus mandi duduk di kursi panjang karena salah satu kaki kami luka. Dan sekarang Tante Cie masih juga dengan sayang memandikan cucunya, anak abangku.
Ketika kami sekeluarga pindah ke Medan saat aku baru naik kelas 6 SD, Mami ingin kakaknya ikut bersama kami. Mami tahu, suami kakaknya itu tidak akan bisa mengurus Tante Cie dengan baik, dan akan lebih baik bila Tante Cie ikut dengan kami. Entahlah, aku tak tahulah bagaimana urusan orang dewasa saat itu, tapi Om Bob tidak ikut dengan kami.
Dia stay di Biak, dan kami pun berangkat naik Hercules ke Jakarta. Dulu waktu baru-baru pindah aku suka bertanya, bagaimana perasaannya pisah dengan suaminya. Tante Cie menjawab, ah kas tinggal situ, tra ada kerja bagitu.
Tante Cie orang yang sangat sederhana. Dia baik hati, penyayang, tapi juga sedikit rendah diri. Mungkin karena dia merasa jadi orang yang selalu menumpang sehingga masih ada rasa minder pada dirinya. Aku berusaha keras memahami perasaannya, dan dengan semakin bertambahnya usiaku, aku semakin paham membaca perasaan tanteku itu.
Tanteku bisa dikatakan sudah jadi janda, tidak punya anak, tidak punya penghasilan tetap, dan keahlian yang dia punya adalah keahlian standar wanita jaman dulu, yaitu memasak dan menjahit. Waktu aku kecil, mamiku sering beli kain dan Tante Cie akan membuatkan aku baju dari kain itu. Aku sendiri belajar jahit-menjahit serta pakai mesin jahit dari tanteku. Dengan segala keterbatasannya, dia juga jadi gampang sensitif dan tersinggung. Aku belum pernah melihatnya menangis, tapi aku tahu bila saatnya dia sedang sedih atau lagi merajuk.
Tante Cie suka sebel kalau kakak tertuanya datang dari Sorong, karena dia menduga mamiku akan mentraktir kakaknya habis-habisan. Aku kadang suka menggodanya. “Tanta Cie, mami ada kasih Tanta Nona uang ka tida?” Dan Tante Cie langsung melapor. “Sa liat mami kasih uang banya.. ini,” dia membuat jarak antara kedua telapak tangannya. Setebal batu bata! Busettt! Ganti aku yang terkejut, hahaha…!
Sebenarnya Tante Cie cemburu bukan tanpa alasan, menurutnya kakaknya itu kan pensiunan guru, su pu uang sendiri mo, masa minta-minta, biking malu saja… begitu omelannya. Karena Tante Cie sendiri, tidak pernah minta ini itu pada mamiku. Dia malu hati. Kalau dikasih saja, tapi kalau minta-minta begitu sih nggak.
Tahun berlalu. Tante Cie semakin sepuh dan dia butuh perhatian. Karena itu setiap bertemu aku menyempatkan diri ngobrol dan mendengarkan cerita-ceritanya, yang mungkin sangat remeh-temeh. Seperti saat dia ketemu tukang jualan di pasar yang juga sama-sama orang Ambon. Atau tentang ukuran telur ayam yang dibelinya, dan lain-lain. Tante Cie senang sekali bila aku memuji masakannya, menyetujui pendapat atau menyukai pilihannya. Walau seringkali aku harus menegurnya karena menurutku pilihannya itu membuatku malu. Seperti pergi ke pasar dan beli tas-tas murah harga 20 ribu. Atau beli selop keras harga lima ribu, atau beli lipstik china harga lima ribu, lalu habis itu ditunjukkannya padaku. Tante Cie bangga bila bisa membeli barang semurah mungkin, padahal mamiku sudah membelikannya tas yang bagus, juga selop rata yang nyaman.
Kalau sudah begitu aku suka marah. “Tanta Cie, jang beli yang tralaku. Kalo talalu murah berarti tralaku itu. Nanti orang bilang, sa deng mami tra urus Tanta Cie. Buang itu eee… jang pake lagi. Nanti katong pi cari yang bagus.”
Dan kami pun pergi ke Thamrin Plaza, aku belikan tanteku lipstik Guerlain seharga tiga ratus ribu. Saat kuberikan padanya, aku ingatkan lagi. “Pake ya, jang simpan-simpan. Kalo habis nanti katong beli lagi.” Dan gigi putih itu pun keluar, senang. Kemudian dia akan memamerkan lipstik itu kemana-mana sebagai pemberian dariku.
Aku juga mengancamnya, kalau sampai dia masih pergi beli barang-barang murahan di pasar, aku gak akan kasih uang lagi, hehehe…
Aku belikan juga Tante Cie dompet bagus untuk padanan dengan tasnya. Eh dompet dariku malah disimpan, katanya sayang kalau dipakai. Buat ke gereja saja… begitu alasannya.
Tante Cie bukan hanya sederhana, tapi juga lugu. Kadang aku menjadi sedikit protektif padanya. Misalnya sama asisten di rumah, aku ingatkan selalu untuk berlaku sopan pada Tante Cie. Karena Tante Cie terlalu baik, kadang kalau pembantu bercanda kelewatan, tanteku jadi sensitif, tapi tidak enak marah, akhirnya dipendam-pendam.
Dengan kurangnya pendengarannya, dia juga susah diajak bicara lewat telepon, bahkan sekarang dipanggil juga sering tidak dengar, jadi aku suka khawatir kalau dia tidur di kamar dan dikunci. Kalau Tante Cie sedang main ke rumahku di Jakarta, selalu aku ingatkan, pintu kamar tidak usah dikunci.
Dan kalau kami pergi bersama ke mall atau ke toko apa gitu misalnya, aku pastikan aku selalu mendampinginya saat berbicara. Tante Cie hanya bisa berbicara dengan dialek Irian saja, sehingga tidak semua orang bisa mengerti perkataannya. Dan aku selalu ada disampingnya, berjaga-jaga kalau ada orang yang coba-coba memandangnya sebelah mata maka akan kubalbal bolak-balik si b*d*t itu.
Bayangkan saja, begitu kami keluar dari toko, tanteku dengan ramah mengucapkan permisi pada pemilik atau penjaga toko, padahal kan tidak semua penjaga toko ramah, kadang ada yang jutek. Kalau dulu aku suka merepet. “Tra usah permisi, biar saja… dong juga tra pusing mo…” Tapi sekarang aku biarkan saja. Aku malah tersenyum dan membukakan pintu toko untuk tanteku, dan aku bisa lihat senyum senang yang tulus dari pelayan-pelayan toko itu. Ohhh ternyata mereka juga senang. Ahhh aku saja ternyata yang terlalu sensi. 🙂
Biarpun demikian, Tante Cie sebenarnya punya selera cukup bagus. Kalau kami pergi ke mall, dan aku bilang mau membelikannya baju, maka tanteku pasti cari baju yang modelnya bagus & bahannya enak dipakai dan juga sudah dia intip harganya, alias cukup mahal, hahaha….
Tante Cie juga sedikit pelit. Ia akan menyimpan uang miliknya seperti menyimpan pundi-pundi emas. Soalnya dulu waktu abangku masih lajang, biasalah suka kehabisan uang, dia suka pinjam ke Tante Cie tapi jarang dikembalikan, jadi tanteku kebiasaan bilang tidak ada duit kalau ditanya. LOL.
Tante Cie suka membelanjakan uangnya itu dengan beli jajan-jajanan kecil untuk cucu-cucunya, anak-anak abangku yang memang tinggal di kota yang sama dengan orang tua kami. Kemarin waktu di Prapat, aku lihat tanteku membelikan permen untuk keponakanku. Ponakanku bolak-balik datang minta tambah. Aku kaget melihatnya dan kutanya pada kakak iparku, kok anak-anak dikasih permen. Kakak iparku curhat, katanya dia sebenarnya ingin menegur Tante Cie, tapi segan, takut Tante Cie tersinggung. Aku akhirnya bilang pada Tante Cie, “Tanta Cie, jang kasih gula-gula buat anak-anak eeee… tra bagus buat gigi. Nanti dong pu gigi busuk.” Aku bilang kalau mau kasih jajanan, yang lain saja. Tapi jangan permen.
Biarpun demikian, aku menyayangi Tante Cie sama seperti aku menyayangi mamiku. Dan aku tahu dia menyayangi aku dan abangku juga seperti anaknya. Dia sangat sayang padaku. Katanya hanya aku yang suka memberinya uang, sementara abangku pelit.
Tante Cie tak suka bila ada orang lain yang ikut-ikutan sok manja padanya. Misalnya waktu ada sepupuku datang dari Sorong lalu sok bossy minta dibikinkan telur dadar oleh Tante Cie, tanteku dengan jengkel bilang, “Itu ada telur deng minya… goreng sendiri..!” HAHAHAHAA.
Padahal kalau aku dan abangku yang minta digorengkan, tanteku dengan senang hati memenuhinya. Buat Tante Cie, anaknya adalah aku dan abangku, keponakan-keponakan lain jangan harap.
Kemarin saat aku pamit pulang ke Jakarta, aku cium pipinya dengan sayang. Aku sudah mencium pipi mamiku di Siantar saat pamit turun ke Medan. Dan karena Tante Cie adalah mami keduaku, tentu saja dia juga mengharapkan peluk dan cium sayang dariku. Tentu saja. Dari siapa lagi? Ah. Betapa aku bersyukur karena punya dua orang ibu sekaligus. 🙂
Semoga Tante Cie tenang di atas ya mbak.
Amin. Makasih Irni.