catatan mudik ke medan

10 Catatan Kecil dari Perjalanan Mudik ke Medan

Saya ingin menulis beberapa highlight dari hasil pulang kampung alias mudik ke Medan bulan lalu. Mudik kan dilarang? Benar. Jadi saya baru bergerak ke Medan sehari setelah pelarangan mudik selesai.

Sengaja catatan receh ini ditulis di blog ini, biar gak lupa. Kita mulai ya.

catatan mudik ke medan

#1. Ada anak kecil yang seru banget di pesawat menuju Medan

Jadi ceritanya dalam perjalanan kami terbang ke Medan, di belakang kami duduk dua anak-anak dengan ayahnya. Awalnya hanya ayahnya saja di belakang, namun kemudian pramugari meminta tolong pada seorang bapak yang berangkat seorang diri, apakah mau bertukar tempat, karena ada keluarga yang duduknya pisah-pisah. Jadilah si bapak duduk bertiga dengan dua anaknya, perempuan dan laki-laki.

Yang seru banget itu anak yang laki. Kelihatan betul kalau dia menikmati terbang naik pesawat. Jadi, saat pesawat akan take off, anak kecil itu dengan semangatnya membuat suara-suara layaknya seorang komentator.

Dia bilang begini, “Oke okee…. terbangg..! Terbang… terbannggg…!” Lalu ketika moncong pesawat menaik, dia sampai menjerit tertahan… “Aaaa……” dan kemudian di-hush pelan sama bapaknya. Hahahaa…

Saya sampai senyum-senyum sendiri. Tahu dong betapa penumpang bisa sangat stress ketika pesawat akan take off? Anak kecil itu berhasil membuat mood orang lain jadi lebih baik.

#2. Becakap Bahasa Medan juga akhirnya

Tiba di Bandara Kualanamu, kami langsung bergegas membeli tiket kereta bandara. Harganya Rp50RB per-orang. Dan karena masih ada waktu, saya meninggalkan Vay, pergi sebentar mencari minuman. Ketemulah kedai kopi kekinian di sisi sebelah kiri pintu keluar bandara. Saya lihat mas barista cuma ada satu, dan ada 3 cup yang kosong menunggu dikerjakan.

“Lama gak ya Mas nunggunya?” Biasalah saya, suka gak sabar.

“Bentar ajanya Kak.” jawab mas barista.

“Pegawainya cuma satu  orang?” Again, mulai gak sabar, takut kelewatan jadwal kereta berangkat.

“Ada kawannya Kak, lagi ke toilet dia bentar.”

Lalu setelah saya membayar, si mas kasir barista beranjak ke arah mesin kopi.

“O. Siapa Mas yang mau buat? Masnya juga ya?” Inilah kan, bawel kali memang mamak Vaya ini.

“Ya kita-kita juga Kak yang buat.” jawabnya dengan logat Medan yang kental. Saya senyum.

“Udah lama lho gak dengar orang cakap Medan. Cobalah cakap lagi, Bang.” LOL.

#3. Susah sekali dapat toilet bersih di Medan

Selalu deg-degan kalau sudah harus ke toilet. Suka gak habis pikir kenapa urusan toilet tidak pernah dianggap serius. Pertama, saat kami selesai jalan dari The Hill Sibolangit, lalu mampir untuk makan siang restoran area Hillpark, toilet di Restoran Garuda itu busuknya minta ampun. Sepertinya dari pertama didirikan tidak pernah ada peremajaan. Kotor, sudah pasti.

Berikutnya pas pulang dari Sibolangit, kami mampir ke Manhattan Times Square, salah satu mall baru dan besar di Medan karena anak-anak pengen ice cream. Masuk ke toilet di lantai paling bawah (lantai makanan) ampun deh itu kloset duduk dan bilik toilet pada becek semua, bahkan tisu di wastafel pun tidak ada. Petugas? Ya gak ada. “Disgusting.” Saya mendengar suara Vay. Biasanya kan kalau di KoKas ada petugas yang bersihkan, katanya. “Dek, itu KoKas. Beda.”

toilet kotor di medan

Tapi urusan toilet gak bersih ini memang lebih sering saya temukan kalau saya pulang ke Medan. Itu sebabnya di tas selalu full tisu kering, tisu basah, dkk-nya.

Eh tapi ketika kemarin di Medan saya sempatkan mampir ke Deli Park Podomoro, begitu masuk mallnya, saya langsung yakin ini pasti toiletnya bagus. Itu adalah mall baru dengan standar mall besar seperti di Jakarta, jadi saya sudah yakin managementnya lebih bisa dipercaya. Dan benar, masuk ke toilet itu harum, kering, bersih, tisu juga tersedia.

#4. Wuling Almaz is good, tapi tidak cocok untuk dipakai ke luar kota

Mobil SUV 7 seater ini saya coba ketika akan ke Sibolangit. Ibu-ibu dan anak-anak tancap gas dengan mobil punya tulangnya Vay. Sebagai mobil keluaran China, mobil ini canggih dan sangat memanjakan pengendara dengan banyak fitur modern. Sebut saja, Wuling Almaz ini memiliki fitur asisten yang bisa menerima perintah suara, seperti meminta menurunkan kaca jendela, dll. Namun pastikan memberi perintah dalam struktur bahasa yang benar.

Contoh:

“Halo Wuling!”

“Halooo…”

“Kecilkan AC.” Ini salah, dia tidak paham.

“Turunkan suhu AC.” Ini dia paham. Dan akan dijawab dengan, “Oke, menurunkan suhu AC satu level.”

“Putar Delta FM.” Gak ngerti dia.

“Cari channel radio seratus lima koma delapan.”

“Oke…”

Lalu, dari luar mobil ini memang besar, tapi untuk bagian seat baris tiga ternyata sempit. Orang dewasa bisa patah-patah kakinya kalau duduk di belakang.

Namun, kekurangan utama yang saya rasakan saat menyetir Wuling Almaz ini, akselerasinya agak lambat ketika dibutuhkan untuk perjalanan luar kota seperti jalur Medan Berastagi. Saya mengalami sedikit kesulitan beberapa kali saat hendak memotong truk di depan, pedal gas sudah diinjak, tapi mesin mobilnya “masih mikir” dulu antara mau ngegas apa gak nih. Hasil review pribadi terhadap Wuling Almaz ini, goodlah untuk dipakai di dalam kota, namun kurang cocok untuk perjalanan darat jarak jauh yang penuh dengan truk dan bus. Selain itu Almaz ini juga bensinnya cukup boros, seperti minum air kalau kehausan.

Baca juga: Tips Traveling Pakai Mobil Tengah Pandemi COVID-19

Eniwei, jangan lupa lindungi mobil dengan asuransi kendaraan bermotor yang tepat dan sesuai.

review wuling almaz

#5. Si Tua Camry tetap Terbaik

Di hari terakhir sebelum kembali ke Jakarta, saya pinjam mobil opungnya Vay untuk pergi jalan sebentar sekaligus tes antigen. Mobil lama, Camry. Biasanya mobil itu hanya dikemudikan oleh supir kami, karena tidak ada yang mau repot bawa mobil besar, manual pula. Kalau saya pulang ke Medan dan tidak ada mobil lain yang bisa dipakai, maka mobil itulah yang dipakai, termasuk bila harus menyetir ke Siantar. Ipar saya tidak bisa menyetir manual, dan jelas tidak berani kalau disuruh bawa mobil itu. Bawa Wuling saja dia masih ragu.

Balik dari jalan-jalan, papi saya tanya, “Masih bisa Sy bawanya?” “Bah! Bisalah, masa gak bisa.” Hahaha… Mungkin si papi mikir, saya udah kelamaan pakai mobil matic mungkin lupa cara bawa mobil manual. Tapi gak pernah lupa sih, belum pernah ada kejadian kaki salah injak pedal. Kan jaman dulu juga mobilnya manual semua.

Dan, yeah. Begitu menyetir Camry, rasanya beda. Rasanya seperti nyetir betulan! Saya katakan pada papi saya, mobil dia tetap yang terbaik dari semua mobil kami anak-anaknya. Asli enak banget nyetirnya.

#6. Numpang hotspot di rumah Medan, pakai paket unlimited Telkomsel. 

Penting ini. Di Jakarta, pakai Indihome di rumah saja sering ngelag, padahal mostly Vay yang pakai untuk belajar. Saat di Medan kemarin, karena saya gagal beli paket data untuk nomor Simpati Vay, akhirnya menumpang hotspot yang ada di rumah. Kirain gak kuat lho. Ternyata kuat dan tetap stabil lho dipakai beramai-ramai oleh semua orang di rumah itu.

#7. Main ke TB Gramedia lama di Gajah Mada.

Kenangan banget sih TB Gramedia yang lama ini. Dulu saya sering ke situ sendirian cari buku untuk dibaca di Dunkin Donuts, eh sekarang udah datang bareng Vay yang juga pengen cari novel. Meskipun kita sudah sering juga beli buku online Gramedia, tetap lebih enak pegang buku.

#8. Saya tidak sempat ketemuan dengan satu orang teman pun di sana

Sedih ini, tapi begitulah kondisinya. Selain karena pandemi, teman dekat saya juga sedang sakit kemarin, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk keluar.

#9. Karena kasus antigen bekas di Kualanamu, saya jadi ekstra hati saat mencari klinik antigen di Medan

Mencari lokasi swab antigen di Medan tidak susah sebenarnya. Di dekat rumah ada klinik yang petugasnya bisa dipanggil ke rumah, tapi ternyata mereka harus minimal 3 orang baru mau home visit, so saya dan Vay gak memenuhi syarat. Kalau datang ke kliniknya, suratnya juga baru dikeluarkan dari klinik pusat sore hari. Lalu, di Lapangan Merdeka Medan juga ada layanan swab antigen drive thru, harganya juga lebih murah. Dan hasil print out akan keluar dalam waktu 3 jam.

Klinik yang saya pilih akhirnya adalah Telkom Medika, walk in di Jl. Timor. Kenapa pilih di sini?

  • Pertama, karena print outnya bisa ditunggu, paling cepat 30 menit sudah jadi kalau orang tidak ramai
  • Kedua, petugasnya informatif dan sangat membantu. Jadi sebelum memulai swab, dia tanya dulu penerbangannya jam berapa. Dan karena penerbangan saya jam 12 siang keesokan harinya, dia menyarankan saya datang lagi agak siang setelah jam 1. Jadi biar hasil print out swan antigen tetap dalam syarat penerbangan yang diatur oleh pemerintah yaitu dalam 1×24 jam.
  • Saya lebih percaya karena dua bulan sebelumnya saat saya ke Medan, saya juga swab di sini, sehingga lebih yakin
  • Mereka selalu menunjukkan alat test swab yang baru dan masih segel, Hasil pengujiannya juga ditunjukkan sebagai bukti, dan bisa difoto, sambil menunggu print out keluar
  • Tempatnya lebih nyaman sih, dan tidak terlalu ramai. Sehingga resiko menunggu lama atau hasil yang tertukar relatif kecil
ujian daring 2021
Vay menunggu antrian swab sambil ujian daring dari mobil

#10. Suka heran sama orang yang mau buru-buru dropin barang dia di tengah-tengah barang orang saat ngantri di mesin x-ray

Bagi saya, menyela antrian barang dan koper termasuk tidak sopan. Kalau tidak teratur, nanti bisa jadi ada barang yang kececer atau hilang, karena kan kita kalau masukin barang semua ikut toh, termasuk tas tangan? Kalau terpaksa mau menyelak, bolehlah, itu pun harus lihat-lihat situasi. Mungkin mengejar boarding time, okelah.

Ada dua kejadian nih. Pertama ketika akan berangkat ke Medan. Saat mau boarding, ada anak muda yang disuruh mundur oleh petugas karena dia belum meletakkan handphonenya di box. Anak muda itu mundur lalu mengeluarkan hapenya, dan meminta petunjuk pada temannya di depan sana. “Tarok sini?” Ehhh dia mau letakkan ponsel dia di dalam box berisi barang-barang pribadi saya yang ada di antrian x-ray.

“Eh… eh… gak boleh disitu. Kok main gabung aja.” Saya menukas. Vay melirik saya, dengan tatapan, “Rasain dia, mamiku galak.”

Lalu saat mau pulang ke Jakarta, juga begitu. Ini masih di pintu masuk pertama bandara. Saya minta Vay meletakkan dulu tas kecilnya, lalu tas tenteng saya, tas kamera dan saya mau minta dia menunggu dulu di sisi dalam, sementara saya bersiap-siap mengeluarkan tenaga samson untuk mengangkat dua koper kami termasuk koper hitam kami yang berat. Seorang perempuan di belakang saya langsung meletakkan kardus-kardusnya dan mendorong ke dalam. Saya menoleh dengan tatapan tajam ke dia.

“Sabar ya Mbak. Satu-satu, biar gak pisah-pisah barangnya.”

Dia mungkin sedikit kaget karena ditegur begitu, dan wajahnya langsung terlihat gak enak hati. “Oh, iya.”

Hmm.

Kalau ditambah-tambah, mungkin masih banyak catatan lainnya, namun semua itu sudah saya tuliskan di hati saja. Sekarang kami sudah di Jakarta lagi, kembali ke kehidupan pandemi yang membosankan (!), dan semoga masih ada umur, masih ada rezeki biar bisa mudik ke Medan lagi, mengunjungi papi dan mami.

-zd-

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *