Benar kalau dikatakan bahwa menjadi orang tua itu berarti belajar seumur hidup. Di tiap fase perkembangan anak, di situ ada dinamika parenting. Saya sampai setua ini tetap suka kepikir, kenapa ya ibu saya masih suka khawatir dengan anak-anaknya yang sudah tua ini? Tapi ternyata memang begitulah adanya, karena parenting sudah pasti seumur hidup, mau berapapun usia anak kita.
Nah bicara soal tantangan parenting, salah satunya adalah ketika anak-anak kita memasuki usia remaja. Saya jujur deg-degan terus nih dalam mendampingi anak saya ini, seperti selalu ada kekhawatiran bahwa saya mungkin tak cukup siap untuk selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Kemarin-kemarin saya banyak browsing tentang masalah umum yang dialami oleh remaja, dan saya ingin menulisnya lebih lanjut di blog ini. Kenapa? Karena saya punya anak remaja, dan saya setuju dengan kata JBCN School bahwa para remaja yang berada di usia 13-19 tahun memang berada di masa-masa galau sebab ini adalah masa pertumbuhan yang paling canggung di dalam hidup mereka.
Khususnya karena sekarang sudah era digital, maka beberapa masalah tidak jauh juga dari urusan dunia online ya, Bu-ibu. Masalahnya anak-anak kita ini kan sekarang berkomunikasi lebih intens dengan media sosial, sehingga ini pastinya mempengaruhi cara mereka berpikir dan berperilaku. Okelah kita mulai ya.
1. Depresi dan kecemasan
Mungkin kita pernah bilang ke anak remaja kita, masih remaja itu harus senang-senang, jangan stress. Padahal faktanya memang remaja sangat mungkin mengalami depresi dan kecemasan sebelum mencapai usia dewasa. Bahkan menurut The National Institute of Mental Health, pada tahun 2017 diperkirakan ada 13% remaja di Amerika Serikat memiliki setidaknya satu episode depresi berat. Dan lebih banyak dialami oleh anak perempuan/
Beberapa peneliti menyalahkan teknologi sebagai salah satu penyebab. Remaja menghabiskan terlalu banyak waktu dengan perangkat elektronik sehingga kurang berinteraksi tatap muka dengan temannya. Padahal bertemu teman, tertawa dan berolahraga sangat membantu menangkal depresi. Yah mungkin sekarang masih agak repot ya untuk tatap muka karena masih pandemi, semoga bisa segera. Kemudian depresi juga bisa disebabkan karena remaja mengalami FOMO (fear of missing out), alias takut ketinggalan apapun, sehingga mudah merasa kesepian.
Gangguan depresi dapat diobati, karena itu kita sebagai orang tua memang harus jeli membaca situasi, apakah ada perubahan pada anak kita, entah perubahan pola tidur, atau prestasinya yang mendadak menurun.
2. Bullying / Penindasan
Menurut Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, sekitar 41,1 persen murid di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan.
Dan sekarang dengan munculnya media sosial yang menjadi kanal favorit anak remaja, kegiatan intimidasi pun pindah ke media sosial. Faktanya, cyberbullying telah menggantikan bullying sebagai jenis pelecehan yang umum dialami remaja. Bahkan, ketakutan utama yang menghantui remaja adalah cyberbullying. Anak saya sih memang belum pernah cerita apakah dia pernah atau sedang dibully, namun saya lihat dia sangat menjaga etikanya di media sosial, agar tidak salah melangkah dan tidak berujung dihakimi orang lain.
Perlu juga disampaikan pada anak, bahwa minta tolong sama orang dewasa itu bukan berarti lemah, kok. Anak remaja memang suka menyimpan sendiri masalah, maklumlah kan sudah mulai galau dan merasa sudah “agak dewasa”.
Menjadi proaktif adalah kunci bagaimana kita membantu anak kita menghadapi si tukang bully. Sering-seringlah mengajak anak berdiskusi, misalnya bila sedang menyaksikan berita tentang bullying, lalu coba gali pendapatnya bagaimana bila dia sendiri menjadi target. Ini sebenarnya sekaligus menggali info, apa jangan-jangan anak kita sendiri malah seorang penindas. Mungkin gak? Mungkin banget.
3. Masalah Gizi
Dikutip dari artikel FK UI, remaja Indonesia secara umum dihadapkan pada tiga masalah gizi, yaitu kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro dan anemia khususnya pada remaja putri. Faktor-faktor yang berkontribusi pada urusan gizi remaja ini selain karena kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji (yang sekarang semakin banyak macamnya ye kan), pilihan makanan yang kurang beragam, juga karena kurang melakukan aktivitas fisik. Apalagi sekarang mereka harus sekolah dari rumah, jadi selalu ada alasan untuk tidak ikut pelajaran olahraga. Sama seperti anak saya, setiap ada tugas pelajaran olahraga, contoh harus lari sprint beberapa ratus meter, itu hanya akan dikerjakan kalau saya suruh.
Lalu karena ada masalah dengan body image, maka remaja pun tanpa sadar mengikuti diet atau pola makan yang tidak tepat, kebalikan dari sebagian lagi remaja yang obesitas.
Ini pe-er orang tua sih. Sebagian orang tua beranggapan gak masalah anaknya sedikit gemuk karena masih muda, namun akan ada kemungkinan masalah kesehatan di kemudian hari, sebut saja bahaya diabetes. Di sisi lain, ada pula remaja dengan badan kecil karena pemilih dalam urusan makan (yes, seperti anak saya), namun saya bersyukur karena sejauh ini anak saya sehat.
Bila memang diperlukan, orang tua bisa membawa anak remajanya ke dokter untuk berkonsultasi mengenai berat dan massa tubuh yang sesuai dengan usia dan tinggi, dan yang pasti memang kita harus bawel memaksa anak agar mau berolahraga.
4. Masalah Akademik
Kalau masalah ini memang masalah yang lumrah terjadi sih. Saya pun masih ingat saat remaja dulu pernah urusan nilai kacau balau sampai “kena keramas” sama orang tua. Begitu pula dengan remaja jaman now.
Baik yang masih duduk di sekolah menengah pertama sampai menengah atas, merasa ada banyak tekanan untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi bagus. Peran orang tua di sini selain memberikan bimbingan, juga harus siap support setiap kali anak ada masalah.
5. Pengaruh Pertemanan
Salah satu masalah yang dialami remaja adalah susahnya melawan pengaruh dari teman. Sejak ada media sosial, ada tekanan untuk dapat menjadi teman yang menyenangkan, seru, gaul, dan sejenisnya. Pasti pernah kan baca berita tentang sekelompok remaja yang live Instagram sambil membuka baju, ceritanya karena salah satu teman yang mengajak mempengaruhi, lalu yang lain ikutan. Bahaya ini, Mak. Banyak remaja yang memang tidak memahami konsekuensi seumur hidup akibat terpeleset berbagi konten eksplisit dalam kehidupan mereka.
Selain berbagi foto eksplisit, masalah lain yang harus diwaspadai yaitu tentang hubungan seks di kalangan remaja, narkoba, hingga bullying. Karena itu penting buat anak kita diberikan keterampilan atau skil yang positif agar tidak mudah terjerumus dalam pergaulan yang salah. Mereka pun harus diberi pemahaman nih, apa konsekuensinya bila mereka mereka melakukan kesalahan.
Orang tua mesti ngapain ya? Gak pernah ada orang tua yang siap dengan kejujuran yang menyakitkan dari anak, ya gak sih? Tapi orang tua harus punya telinga yang lebar, siap menjadi pendengar tanpa menghakimi atau bereaksi berlebihan. Ya biar anak remaja kita tidak takut untuk datang ke ayah atau ibunya, untuk cerita kalau mereka melakukan kesalahan.
6. Media sosial
By the way, jangankan remaja ya, orang dewasa saja banyak yang dapat masalah karena media sosial. LOL.
Ok. So, Facebook, Instagram, TikTok memang oke bangetlah untuk jadi sarana para remaja saling terhubung, cuma sisi buruknya pun banyak. Inilah yang menjadi kanal tempat remaja terlibat dengan masalah-masalah di atas tadi, seperti terkena atau melakukan cyberbullying, kena FOMO yang berujung pada kecemasan, dst. Ujungnya? Pengaruh ke kesehatan mental.
Meskipun kita orang tua sudah membuat pembatasan screen time pada perangkat, remaja kita masih cenderung terpapar konten tidak sehat, atau orang-orang yang tidak menyenangkan saat mereka bermain media sosial. Yang paling penting adalah sebisa mungkin orang tua tahu apa yang dilakukan anak remajanya saat online. Ikutan belajar jugalah tentang teknologi, cari tahu apa saja aplikasi yang sedang tren di kalangan remaja saat ini.
7. Rasa Hormat
Ini pe-er sih. Lagi-lagi ini karena media sosial, kebanyakan nonton YouTube saya rasa, haha. Remaja menjadikan idolanya sebagai patokan dalam berperilaku, dan bisa dengan cepat beradaptasi dengan apa yang menurutnya normal, tapi di mata kita “Ini anak tahu gak sih kalau begitu tuh gak sopan?”
Mengajarkan rasa hormat pada remaja gak bisa sekejap, ini menurut saya harus dirintis sejak dini dan terus diingatkan sepanjang mereka bertumbuh. Ya kan kalau anak kita kurang hormat, kurang sopan santun, maknya juga yang sakit kepala kan? Haha.
Bagaimana Ya Caranya Ngobrol Sama Remaja Kita?
Ngeberesin urusan dengan remaja kita memang bukan hal yang mudah. Remaja rata-rata tidak suka mendengar petuah panjang lebar, jadi mesti ada pendekatan yang pas untuk ngobrol soal hal yang serius atau mungkin tabu seperti seks.
Kadang mereka suka acuh tak acuh kalau diajak ngobrol, tapi sebenarnya mereka mendengarkan, karena orang tua jelas adalah orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Saya juga menulis tips cara berkomunikasi dengan remaja. Langsung mampir untuk membaca lebih lanjut ya.
Apakah pembaca ada tambahan? Silakan drop di kolom komentar ya!
Pingback: 8 Cara Mendidik Anak Remaja yang Bisa Diterapkan oleh Orang Tua | Life and Travel Journal
Pingback: Alasan Kenapa Membesarkan Remaja Bisa Sangat Menantang | Life and Travel Journal
Pingback: Bagaimana Rasanya Masuk Bioskop Lagi Setelah Satu Tahun Lebih Bioskop Tutup? | Life, Parenting & Travel Journal Mommy Blogger