Ok. Saya memang belum cerita lebih detail mengenai perjalanan terakhir ke Nusa Penida. Itu adalah trip traveling yang menyenangkan, seperti yang sudah saya tuliskan di postingan Nusa Penida ini.
Dari beberapa tempat yang kami kunjungi, kawasan Pantai Atuh sekitarnya adalah yang paling berkesan buat saya. So, mari kita mulai.
Bepergian dengan tujuan mengambil foto sunrise artinya adalah harus bangun pagi buta. Dan saya tak pernah bisa terbiasa, tiba di hotel jam 10 malam, ngecharge batre ini batre itu lalu lanjut merapikan perlengkapan perang.
Hari sebelumnya, kami semua tiba di hotel jam 11 malam. Saya memutuskan untuk mandi sebersih mungkin, lalu mengganti pakaian dengan t-shirt yang nyaman, yang akan langsung dipakai pergi keesokan paginya. Pagi buta tepatnya.
Jam 4 pagi, alarm berbunyi, saya terbangun dan menemukan Moy teman sekamar saya sudah siap-siap. Untunglah semua sudah saya siapkan malam harinya, jadi setelah bersih-bersih untuk menghilangkan kantuk, memakai sunblock dan bedak, meraih topi dan jaket, saya langsung meraih backpack kamera. OMG, aku masih ngantuk!
Indahnya Rumah Pohon Batu Molenteng
Dan perjuangan pagi itu pun dimulai.
Saya tak ingat tepatnya jam berapa kami tiba di Banjar Pelilit, Desa Tanglad. Mungkin sekitar jam lima pagi, yang pasti jangan harapkan ada penerangan apa pun. Itu adalah daerah ter-spooky bagi yang suka dengan hal-hal mistis.
Kami ingin mencapai Rumah Pohon Molenteng, dan dengan minimnya cahaya, mendadak rasa ciut muncul di dalam diri sebagian besar dari kami. Tidak ada guide yang menemani kami turun, yang ada hanya para driver yang cuma drop sampai tempat parkir lalu main tunjuk ke arah tempat turun.
(Inilah yang paling saya tak suka kalau menyewa driver hanya jadi driver)
(Sebagai penduduk lokal, seharusnya mereka tuh nemenin dulu gitu, at least sampai kita mendapatkan rute yang benarlah)
(I know, saya memang bawel. Tapi kalau saya yang in charge, pasti udah saya notice mereka dari awal: hei, kita ini awam lho sama lokasi. Jadi kelen ikutlah…)
Gak mudah tentunya untuk menemukan jalan turun yang benar. Tapi kalau tidak turun, yang didapat cuma pemandangan matahari terbit dari jauh saja. Rasanya kurang maksimal dong ya, masa udah jauh-jauh ke sini tapi tidak turun.
Ketika pendaran matahari mulai muncul sedikit, akhirnya sebagian dari kami memutuskan untuk nekat turun. Itu pun setelah Mas Bud, ketua rombongan, melihat kalau sudah ada orang di spot Rumah Pohon, nun di kejauhan.
“Tidak terlalu jauh kok, itu di sana rumah pohonnya.” Begitu kata Mas Bud.
(Ennggg… baiklah, ketika ada yang berkata seperti itu, maka itu artinya jauh)
Sementara cowok-cowok sudah mulai turun, saya pun buru-buru mengencangkan tripod. Biar begitu sampai di lokasi tinggal didudukin, gak usah setel-setel lagi.
Saya lihat Mbak Wen, Put dan Moy belum ikutan turun, mungkin karena masih gelap jadi masih ragu.
Kemudian tibalah saya di spot pertama, mengikuti Mas Bud dan Sigit. Spot pertama itu adalah sebuah ujung tebing yang kelihatan cukup curam, sempit pula. Hanya bisa berdiri satu orang saja di situ, dan tentu saja jangan terlalu ke tepi.
Saya ya sabar-sabarlah menunggu sampai Sigit selesai, baru kemudian mulai memasang tripod saya dengan hati-hati. Mas Bud dan Sigit pamit meninggalkan saya, mereka mau ke Rumah Pohon, kejar-kejaran dengan matahari.
Dan, ya! Siapa yang sanggup menolak pemandangan indah seperti ini? Pemandangan Pantai Atuh dari atas, perpaduan cahaya keemasan matahari dengan air laut berwarna turcois memabukkan.
Saya pikir saya terbius cukup lama dengan indahnya pemandangan itu sampai kemudian saya dengar suara-suara yang memanggil dari kejauhan.
“Kak Zy!”
“Kak Zy!”
Saya tahu, itu suara Den. Tapi saya cuek. Bentarlah, tukas saya dalam hati. Den dan yang lainnya sudah di Rumah Pohon. Saya kurang yakin apakah saat itu dia memanggil saya untuk mengingatkan saya agar hati-hati (karena saat itu saya hanya sendirian di sana), atau menyuruh saya buruan karena pemandangan di Rumah Pohon adalah iconic yang tak boleh saya lewatkan.
“Kak Zy!”
Oke okeeee…. Saya pun bergerak.
Dan ketika saya sudah hampir sampai di Rumah Pohon dan saya menoleh ke spot pertama tadi, WAH! Ternyata tadi, saya, Mas Bud dan Sigit memotret dari pinggir tebing! Dan ternyata memang benar, tadi itu Den juga memanggil saya termasuk untuk mengingatkan: jangan sendirian di sana!
Masalahnya saat kita berada di atas, kita gak akan tahu bagaimana kondisi bagian bawah tebing. Kan tidak terlihat apakah kokoh, apakah ada lekukan, apakah tipis, dll.
Memotret di Rumah Pohon tidak begitu mudah, karena kontur tanahnya miring dan berpasir. Jadi tetap harus bergantian, dan mesti mengatur panjang kaki tripod lagi. Dan ini dia, sepasang wisatawan pun menjadi model kita di Rumah Pohon.
(Dan saya baru sadar kalau ada Puput in frame di sudut)
(Tak apalah, malas nge-crop)
Perjalanan ke Diamond Beach
Perjuangan berikutnya adalah, berjalan kaki ke arah Diamond Beach. Sebenarnya saya sudah sangat sangat sangat lelah, tapi teman-teman menyemangati, ayooo nanggung, jalan cuma dikit.
Mereka juga termakan bujuk rayu driver yang bilang kalau jalannya cuma sebentar. Saya mikir, ini driver cuma malas pindah parkir saja, makanya kami disuruh jalan. Tapi kali ini, salah satu dari kami cukup cerdas untuk ngerjain driver. Minta mereka ikut nunjukin jalan setapak yang mereka maksud. Dan mereka akhirnya ikutan! Yes! Ya memang harus kan?
Nih, lihat foto ini. Lihat rumah kecil di ujung sana? Nah itulah ujung spot untuk mengambil foto Diamond Beach. Omaigaattttt….. ketika melihat rumah itu, saya langsung berharap ada pintu Doraemon yang bisa menolong saya langsung sampai di sana.
(Siapa tadi yang bilang dekat? Mana orangnya?)
Well, saya memang pernah menulis tentang hal ini, bahwa sebaiknya pastikan yang dibawa cukup ringkes bila bepergian untuk mengambil foto perjalanan.
Baca ini: 6 Tips Simpel Travel Photography
Tapi kemarin saya malah gak ringkes haha… Saya memang hanya bawa satu lensa, tapi entah kenapa saya pikir kalau saya akan butuh tripod, so tripod tidak saya tinggalkan di mobil. Malah saya bawa berjalan kaki sampai Diamond Beach, dan ternyata memang tak butuh tripod. LOL.
Dan saya akui, lelahnya saya memang karena saya sedang masuk hari pertama period. Perut gak bisa diajak kompromi. Setelah bertahun-tahun operasi, kemarin itu mulai terasa nyeri lagi sedikit. (Ah jadi deg-degan apakah adenomyosisnya tumbuh lagi).
Untunglah ada Puput yang motoin, ada barbuk jalan kaki melintasi lahan gersang dengan gembolan heboh demi menuju Diamond Beach. Hahah…
Dan tahukah kalian, kalau ternyata Diamond Beach itu memang luar biasa indah?
Pantai-pantai di Nusa Penida memang bukan pantai biasa, ada terlalu banyak kemurnian dan keindahan yang tak bisa habis disesap.
Mungkin foto Diamond Beach cukup menampakkan keindahan dan kegemilangannya, tapi apa yang dilihat langsung oleh mata, yang dirasakan langsung oleh tangan dan kaki, bau udara yang dihirup langsung oleh hidung, suara ombak dan angin yang didengar langsung oleh telinga, dan kesucian tempat ini yang dirasakan langsung di hati, itu tak tergantikan, Teman!
-ZD-
Pingback: Bawa Starter Pack Traveling Ini Kalau Mau Liburan di Era New Normal | | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Tips Sebelum Traveling ke Nusa Penida | Mom Travel & Photography Blog - Zizy Damanik
Wah hasil fotonya bagus dan keren. Ditambah spot fotonya sangat bagus. Pulau Nusa Penida memang menjadi destinasi favorit saat ini. Semoga ramai yang berkunjung ke Nusa Penida. Masih banyak destinasi yang lain mbk, selain yang ada pada postingan mbk.
Semoga menyenangkan selama Liburan Nusa Penida ya
Terima kasih sudah mampir.
Semoga nanti bisa ke Nusa Penida lagi.
wah, udah gelap, di atas pinggir tebing pula ya mbak. Tapi beneran indah ya mbak Zy pemandangannya. Setimpal banget deh dapatnya
sebanding ama foto2 yg didapat ya mba :D. capeknya hrs bangun pagi, medan yg ternyata serem, tp klo udh hobi, seperti apapun pasti kita jalanin :D. apalagi hasil fotonya bagus bangettt.
Beneerrr…. perjuangan bangeeet…
Pingback: Cara Naik Kereta Bandara ke Soekarno Hatta | Mom Travel & Photography Blog - Zizy Damanik