Kamu Harus Baca Ini Sebelum Pergi ke Curug Awang Geopark Ciletuh
Curug Awang

Kamu Harus Baca Ini Sebelum Pergi ke Curug Awang Geopark Ciletuh

Curug Awang Geopark Ciletuh
Curug Awang Geopark Ciletuh

Musim hujan begini saya teringat ketika beberapa waktu yang lalu — yang sebenarnya sudah lama banget — jalan ke Sukabumi, tepatnya ke Ciletuh, bareng komunitas fotografi mantan kantor lama.

Sebenarnya saya tidak terlalu suka foto-foto ke curug. Tahu dong kenapa. Turun naiknya malas! Hahaha…. Tapi kemarin ini saya mau karena saya juga ingin lihat curug atau air terjun dengan air coklat. Kalau di Simalungun, airnya bening dan biru indah, begitu juga air terjun yang di Sumba, tapi kalau curug di daerah Jawa rata-rata memang airnya berwarna coklat.

Curug pertama yang kami kunjungi adalah Curug Awang, yang berada di kawasan Geopark Ciletuh di Sukabumi. Informasinya, curug ini adalah air terjun pertama yang berada di aliran Sungai Ciletuh, dan dalam posisi tertinggi, sehingga dinamakan Awang, yang artinya “angkasa”. Selain curug kakak-an ini, ada dua curug lain yang juga ada di aliran sungai yang sama.

Saat mobil elf kami tiba di lokasi, saya kok mulai ogah-ogahan turun ya. LOL. Soalnya tidak ada portir, dan saya mulai kelelahan memikul tas kamera di sebelah kiri lalu tripod berat di lengan kanan. Beginilah, badan kecil tapi gembolan banyak. Bayangan saya kan ini mau motret di curug yang mungkin saja debit airnya sedang tinggi, jadi harus bawa tripod yang kokoh. (ternyata saya salah, karena kemarin itu debit air kecil banget)

Curug Awang kalau dilihat dari kejauhan sangat indah, karena lebar tebingnya dan debit air yang besar membuatnya terlihat eksotis di tengah hamparan hijau sawah dan pohon. Setelah membekali diri dengan boto minum, kami turun beriringan ke bawah. Secara jarak tempuh, sebenarnya ini jauh lebih pendek bila dibandingkan saat saya ke Air Terjun Waimarang di Sumba. Akan tetapi karena curug ini terletak di tengah areal persawahan, maka ada beberapa pijakan yang bisa dibilang cukup curam dan harus hati-hati saat melangkah.

Di kejauhan, tebing tegak dengan ketinggian kurang lebih 40 meter terpampang. Di tebing itulah air terjun tumpah menerjang batu-batu di bawahnya. Curug Awang ini memang unik dan besar, dan pengunjung juga suka berdiri di bagian atas tebing agar bisa berfoto dengan latar lebih dramatis. Saat itu, rombongan kami memang cari posisi-posisi sendiri. Saya dan sebagian memilih turun ke sungai untuk mencari motion, tapi ada yang naik ke atas tebing karena mau memotret dengan latar alam yang sangat luas. Saat kemarin ke curug ini, belum musim penghujan sehingga debit air sangat sedikit, sehingga memang masih relatif aman bila ingin menikmati pemandangan dari tebing.

Agak susah sih mencari jalan yang benar untuk turun, karena kami tidak didampingi oleh local guide. Di sebuah batu besar, kami berenam turun. Saya langsung melipir ke batu besar lain di sisi kiri karena di situ permukaan cukup rata untuk meletakkan barang-barang dan tripod. Nov, seorang teman mendekat, bermaksud ikut nemplok di tempat saya itu. Eh tak dinyana kakinya terperosok ke lumpur sungai. Diketawain dong pastinya. LOL. Bersungut-sungut dia bergerak ke arah sungai untuk mencuci kaki dan sandalnya. Lalu pas balik lagi, eh kejeblos lagi di tempat yang sama. LOL. Asli siang hari itu banyak kejadian yang bikin kami ketawa-ketawa, ya karena happy bisa hunting bareng-bareng juga.

Rombongan Kang Poto
Rombongan Kang Poto

Tak lama, ketika kami berkumpul di sisi kanan air terjun, dekat dengan tebing, dan ada deretan pohon bambu, barulah dapat kabar kejadian teman yang tadi foto-foto di tebing. Ternyata karena kurang hati-hati, tripodnya jatuh ke bawah. Jatuhnya juga gak terlihat jatuh ke mana, pokoknya jatuh ke bawah udah hilang aja dari pandangan. Plus tutup lensa juga jatuh. Waaahhh gimana coba, bagaimana mau diambil yaaa…. Kami yang tadi di bawah malah gak ngeh ada yang jatuh.

Teman kami yang selalu kami jadikan model berfoto dengan latar Curug Awang
Teman kami yang selalu kami jadikan model berfoto dengan latar Curug Awang

Nah, begitu kami keluar dari Curug Awang, barulah beberapa teman buka suara. Karin, yang tadi jadi model untuk difotoin di tebing katanya tiba-tiba melihat penampakan yang serem, katanya mukanya aneh banget, putih pucat seperti tidak ada kulit. Mungkin kalau saya bayangkan, mirip monster yang di film The Descent. Berbagai spekulasi pun muncul, bahwa tripod dan cap lensa itu jatuh karena ulah yang punya tempat. Penampakan Si Pucat itu ada di tebing dan juga di dekat pohon bambu tempat kami memotret model ala-ala. (Kalau lihat foto saya di atas, terlihat ujung daun bambunya kan? Nah, di situ.)

Leo teman kami satu lagi (yang juga bisa melihat-lihat gitu) juga cerita kalau memang di sana banyak “warga lokal”nya. Dan tempat kami tadi turun, di batu besar itu, ada yang berjaga di situ. “Nini-nini”. Waaahh… kami langsung colek Van, pasti kejadian kejeblos dua kali tadi itu karena dia digodain. Dan memang benar! Kata Leo, Van itu kejeblos karena kakinya dipegangin sama nini-nini itu. Dia sendiri ribet ngelihat banyak “warlok” yang ngerjain beberapa teman (dan heran karena tidak ada yang warlok yang mencoba mendekati saya.. Alhamdulillah). Lalu Den, teman saya yang kemarin ikutan pas kita “dikuntit” di Sumba, juga bilang ada “kakek-kakek” dekat tebing. Jadi waktu dia turun, udah permisi dulu bilang kalau kita cuma mau moto, eh tapi kayaknya tetep ya beberapa teman digodain. Duh alhamdulillah saya tidak sensitif seperti teman-teman itu ya, bayangkan betapa lelahnya mereka harus melihat penampakan terus.

(Baca postingan tentang “Warlok” di Sumba di sini)

Tapi memang wajar tempat-tempat seperti ini banyak “warlok”, namanya pun hutan-hutan. Yang penting jangan lupa bilang permisi dulu dan juga gak macam-macam. Kalau kata Leo dan Karin, yang serem yang di tebing dan dekat pohon bambu. Kalau yang di batu besar biasa aja, gak gangguin. (Fiuh)

Terlepas dari kisah mistis itu, Curug Awang ini cocok jadi tempat wisata bersama teman. Lokasinya mudah diakses dengan kendaraan, baik mobil maupun motor. Tempat parkir cukup luas, warung ada, meskipun kecil. Toilet yang gak jelas. Ada hanya satu toilet bilik dekat pematang sawah, tanpa pintu tentu saja. Hanya ada papan.

Kalau disuruh balik lagi ke sini, saya mau saja asal pas debit tinggi dan pakai portir. Hehe..

-ZD- 

6 Comments

  1. hahahah cerita warloknya kalk dibaca gini seru sih. tp kalo ngalamin sendiri ga pengeeen hihihi.. aku bersyukur ga bisa melihat yg begitu. Kayaknya Tuhan tau aku ga bakal kuat hahaha.. kebayang ribetnya ya mba, bawa peralatan kamera, blm lg tripod :D. aku baru tau loh kalo tripod yg beneran bagus itu beraaaat hahahah.. kmrn di jepang aku ke toko kamera, nemenin adek. dan ada tripod yg udh kliatan bgt kokoh. aku coba angkat huahahahaha, menyerah ajalah. g mungkin akh jalan2 bawa beginian. blm lg liat hrga, kyknya kalo utk kameraku mah, mahalan itu tripod belasan kali :p.

    • Zizy

      Hahahaa…. warlok emg seru diceritakan tp takutttt klo dialamin ya.
      Iya, untuk ombak2 gahar memang harus pakai tripod yang kuat. Skrg sudah banyak tripod merek China yang meski juga mahal tp masih terjangkaulah.

  2. widihhh ngeri yah kalau tukang poto ngetrip bareng, senjata-senjata pamungkasnya bertebaran bikin ngiler.

    iya kenapa ya kalau ke curug pasti harus naik turun. dulu waktu masih abege mah enteng-enteng saja, tapi sekarang, nafas sudah mulai berat, pengennya ke objek yang pake kendaraan udah langsung nyampe gitu, haha. salam kenal ya mba.

    • Zizy

      Iya. Dulu sih rasanya aman jalan sejauh apa pun. Sekarang naik turun dikit ngos2an… 🙂

    • Zizy

      Iya indah Kak Monda. Cuma ya agak capek turunnya heheh..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *