Pantai Yang Sunyi Tapi Memabukkan, Watu Parunu Sumba

Pada perjalanan terakhir ke Sumba, ada satu cerita menarik yang membuat saya dan teman-teman segrup di mobil jadi punya kenangan.

Jadi ceritanya, memasuki hari kedua di Sumba Timur, plan kami adalah mengejar foto sunrise di satu pantai yang terletak di Desa Lain Janji, Kecamatan Wulla Waijelu. Dari Waingapu jaraknya kurang lebih 150KM. Malam hari, tiba di hotel jam 10, sebelum kami ke kamar masing-masing, Mas Aditya, fotografer yang nge-lead perjalanan rombongan kami mengingatkan lagi bahwa kita semua harus kumpul di lobby jam 2.00. Lalu resepsionis juga sudah dipesan untuk wake up call. Ok. Deal.

Saya pun pasang alarm jam 1 pagi. Mandi dulu sampai bersih banget, termasuk mandikan tripod dan lap-lap kamera dan lensa, biar pagi saat bangun gak harus mandi lagi, tinggal ganti baju dan berangkat.


Baca juga: Senja di Pantai Walakiri, Sumba Timur


Lalu, jam 1 pagi alarm hidup dong. Saya bangun, lalu kembali tidur, karena saya tahu nanti akan ada wake up call jam 1.30. Tapi, ternyata tidak ada wake up call dong! Saya terbangun jam 1.45 saat Put teman sekamar bersuara, “Mbak, udah jam 1.45.”

“Loh, kok gak ada wake up call?” Saya langsung lompat dan terbang ke kamar mandi. Lima menit kemudian telepon kamar pun berbunyi, dan saya angkat. Di sana terdengar suara salah satu bapak-bapak orang Korea rombongan kami.

“Su-dah ba-ngun? Ditunggu yaa…”

Saya dan Put langsung gerabak-gerubuk dong. Jam 2 lewat 10 kami berdua turun ke lobby, dan menemukan Pak Yan driver kami sudah stand by santai di lobby. Ada Aswin, teman lain yang juga menunggu. Yang lain sudah cabut duluan! Karena 1 mobil harus berempat, jadi yang pairing ya harus nunggu. Aswin itu sebenarnya beda mobil dengan kami, tapi karena dia sekamar dengan Den (Den ini semobil saya, Put, dan Wen) dan Den juga telat bangun, jadilah dia nungguin kami. LOL.

Sepuluh menit kemudian baru Den muncul setelah Put bolak-balik nelpon ngingatin. **Ampun ya, ternyata laki-laki bisa jauh lebih lelet dari perempuan. Barulah kami berlima cabut dengan Pak Yan. Saat duduk di mobil baru Pak Yan bilang, perjalanan ini jauh dan butuh 3 jam untuk sampai ke sana. Haa? 3 jam? Kalau kita jalan 2.30 bisa sampai 5.30. Dapat gak nih sunrise-nya.

Pak Yan mengemudi dengan cepat, karena kami sudah tertinggal jauh. Dan di sinilah ceritanya. Untuk mencapai lokasi pantai itu, kami melewati jalan mulus beraspal tapi tanpa lampu penerangan. Jalan yang sepi tanpa mobil lain, plus kanan kiri terlihat hutan gelap saja yang cukup dekat ke jalan.

Tibalah di satu belokan agak tajam, Pak Yan memencet klakson panjang beberapa kali. Hmm. Saya mulai curiga, pasti itu klakson “menyapa”. Den yang duduk di belakang Pak Yan menoleh, dan sedikit berbisik, “Banyak tadi, ya?” “Hm-emh.” Balas saya. Put yang di tengah cuma menarik napas. Aswin yang di depan gak bersuara, saya pikir ah mungkin dia tidur. Soalnya kami bertiga di belakang tak bisa tidur dengan perjalanan berbelok-belok begitu.

Tak lama setelah agak jauh, saya buka suara, “Pak Yan, tadi di sana klakson-klakson. Ada… itu ya?”

“Iya, Bu. Betul. Tadi saya rasa tidak enak.”

Den langsung nimbrung dong. “Iya, banyak banget tadi.” Tahulah ya cerita-cerita spooky seperti ini kan meskipun serem tapi bikin penasaran.

Dan tak lama, Pak Yan tiba-tiba menghentikan mobil. “Sebentar ya. Sa badan rasa merinding ini, ada yang ikut di belakang.” Haaaa…. Ikuuttttttt? Turunlah si bapak, berjalan ke arah belakang mobil, kata Den sih menyalakan rokok. Kami di dalam mobil diam tak berani bersuara dan bergerak. Takut, hahahah…. Ini berhenti di tengah hutan gelap gulita, tak ada apa pun yang bisa dilihat saking gelapnya woiii…

Dua menit kemudian Pak Yan masuk ke mobil dan kami jalan lagi. Melaju. Eh, gak sampai setengah jam, Pak Yan berhenti lagi. “Ckk! Ini dia masih ikut juga. Besar ini…”

Saya melirik Put di sebelah, lagi dzikir. Den juga mulai gosok-gosok kening, kayaknya pusing, soalnya dia merasa-rasain sih. Saya tak mau ah menolah ke mana-mana, daripada ada yang aneh-aneh. Aswin di depan juga diam.

Barulah kemudian kami jalan lagi. Selama sisa perjalanan itu, Pak Yan bilang kalau jalan tengah malam begini ini memang rawan penampakan. Kadang suka muncul kuda putih di tengah jalan (padahal tidak ada kuda putih di sana), lalu ada pula yang lihat cewek-cewek Sumba cantik lagi di tepi jalan. Jadi tadi tuh dia turun membakar rokok untuk si kawan itu, biar gak ngikut lagi. Selama kami di jalan sih tidak ada kuda putih, tapi beberapa kali harus rem mendadak karena ada sapi atau kuda di tengah jalan.

Ketika mobil berbelok masuk ke dalam jalan kecil di tengah hutan, dugaan saya kami sudah hampir sampai. Dan benar saja, ternyata rombongan yang tadi jalan duluan juga baru sampai. Hebat lho driver kami, dua jam kurang sudah bisa kejar rombongan lain. Ketemulah sama Wen, teman satu lagi (oh ya, Put, Den, Wen dan saya sama-sama member klub foto di kantor… kantor lama saya), lalu Wen cerita kalau tadi ada yang kayak ngomel-ngomel gitu karena kami telat, padahal sudah ada wake up call. Saya langsung emosi jiwa. Enak aja ya bilang udah wake up call. Gak ada wake up sama sekali, kok. Saya ini tipe orang yang dengar suara kecil aja bangun, masa suara telepon kamar jerit-jerit gak bangun? Udah gitu ya, ternyata masih gelap gulita juga. Gak mesti buru-buru juga harusnya masih dapat sunrise kok. Alhasil yang masih ngantuk pun tidur lagi di mobil, sisanya mencoba menangkap milky way yang cuma sedikit. Saya enggak ikutan, malas ah ngabisin batre. Hehe… Lebih seru membahas cerita ‘hantu’ yang ngikut mobil kami.

Jam lima lewat baru kami turun ke pantai. Saat itu, minggu ketiga Juli, Sumba (dan juga perairan Bali Lombok) sedang mengalami gelombang tinggi, jadi di beberapa pantai Sumba yang kami datangi, ada yang tidak bisa kami visit ulang karena mendadak air pasangnya cukup tinggi.

Inilah dia Pantai Watu Parunu yang untuk sampai ke sini penuh perjuangan. Pantainya silent, tapi keren banget. Menikmati ombak yang beriak-riak, dan pasir putih yang lembut di kaki, terbayarlah perjuangan tadi.

Di Pantai Watu Parunu ini fenomena alam batu karang berlubang yang menjadi ciri khas pantai ini. Karena untuk melewati pantai ini (kalau air lagi surut) pengunjung harus menundukkan kepala, maka nama pantai ini pun sesuai dengan fenomenanya: Pantai Watu Parunu. Kalau dalam bahasa setempat, Watu berarti batu, dan Parunu berarti berjalan menunduk.

Awan tetap menggayut sejak subuh, tidak mau pindah, sehingga sunrise hanya bisa dinikmati samar-samar. Meski demikian, awan bertumpuk itu membuat suasana jadi lebih dramatis, apalagi ketika matahari makin naik, ada ROL di tengah laut sana. Ombak yang terus memecah ditambah oleh air laut yang lama sekali surutnya (karena memang lagi musim gelombang tinggi) membuat kami tak berani ambil resiko menyeberang ke sisi sebelah melalui bawah batu. Badan basah sih gpp, pakai handuk udah langsung kering. Tapi kalau kamera yang basah, handuknya dipakai untuk lap air mata. Sudah ada kejadian salah satu teman pas di Bali, badan dan tripodnya tidak kuat menahan terjangan ombak, alhasil kamera dan lensa mandi, deh. Koyak dompet sekoyak-koyaknya karena yang kena itu kamera full frame terbaru.

Saat matahari sudah tinggi baru kami beranjak dari sana. Sebelumnya foto keluarga dulu, sekali-sekali sebagai barbuk.

Kalau dilihat benar-benar sih, kelihatannya pantai ini belum termasuk tujuan wisatawan. Selain karena akses ke sini cukup jauh, hampir tidak ada fasilitas apa-apa di sini. Warung, tidak ada. Lalu ada dua bilik yang katanya toilet, tapi tidak ada airnya. Jadi kalau ke sini wajib banget bawa air putih banyak, selain untuk minum juga untuk bersih-bersih. Ya kalau untuk toilet sih harus tahan-tahan ya, seperti kami yang harus jalan kembali ke pemukiman terdekat sekitar setengah jam untuk sarapan pagi sekaligus ke toilet.


Baca juga:

  1. Eksotisnya Bukit Wairinding di Sumba Timur
  2. Air Terjun Waimarang Sumba Timur, Seperti Punya Kolam Pribadi Aja

Jadi, kapan mau ke Sumba?

-ZD-

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

12 thoughts on “Pantai Yang Sunyi Tapi Memabukkan, Watu Parunu Sumba

  1. Pingback: Wisata Pantai Walakiri, Sumba Timur | Life & Travel Journal Blogger Indonesia

  2. Pingback: Bukit Wairinding Sumba Timur | Life & Travel Journal Blogger Indonesia

  3. Pingback: Pantai Watu Parunu, Pantai Yang Membuat Pengunjung Menunduk Hormat - Pinthar.net

  4. Pingback: Pantai Watu Parunu, Pantai Yang Membuat Pengunjung Menunduk Hormat - Pinthar.net

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *