Senja di Pantai Walakiri, Sumba Timur

Jalan-jalan ke Sumba beberapa waktu lalu memang menyisakan pengalaman yang sangat mengesankan. Selain tempatnya yang keindahannya jelas tak mudah dilukiskan dengan kata-kata, juga karena udaranya yang kalau panas jadi panas luar biasa, dan kalau dingin jadi dingin menusuk dengan ambience daerah timurnya membuat saya bisa dibilang yeaahhhh agak-agak terobatilah rindunya sama Biak.

Satu tempat lagi yang menjadi tempat wajib kunjung oleh tiap pelancong adalah Pantai Walakiri. Kalau rajin lihat di Instagram, foto yang menampilkan keindahan pantai ini adalah ketika sunset tiba.

Saat kemarin ke Pantai Walakiri itu kami agak terlambat tiba di lokasi, dan ternyata air sedang pasang sehingga deretan pohon bakau di sana sedikit terendam. Ketua team rombongan pun turun duluan melihat situasi apakah memungkinkan untuk kami menyeberang ke sana.

Baca juga: Pantai Yang Sunyi Tapi Memabukkan, Watu Parunu Sumba

Saat sedang mengambil perlengkapan perang di bagasi, kepala geng driver yang membuka pintu bagasi bertanya, “Mbak. Mbak ini asli mana?” Saya tertawa, paham maksudnya. Setelah saya jawab pertanyaannya, baru dia bilang, “Pantaaas. Saya sudah curiga, ini ada muka-muka timur sa lihat.” Hehe…. Sepertinya baru kali ini dia dapat rombongan tukang foto dari Jakarta yang ada orang timurnya. Tapi ya, sebenarnya sejak dari turun dari pesawat, saya sudah merasa banyak mata memandang ke saya. Pandangan penuh rasa ingin tahu, ini kaka orang timur ka bukan? Eniwei, oot dikit. Berkat wajah lokal ini, saya dapat beberapa kebaikan selama di Sumba. Pertama, sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, dikasih kain tenun spesial dengan harga khusus. Kedua, ditawarin nyong untuk jadi portir saat turun ke air terjun. Ketiga, saat mau pulang ke Jakarta. Saat itu kita lagi antri untuk check in dan timbang bagasi. Teman-teman di depan saya yang kelebihan berat bagasi dikasih kertas untuk bayar di kantor, mulai dari 2,5 kg sampai ada yang 10kg. Giliran saya maju dan menimbang, kelebihan 3 kg. Tapi petugas senyum saja dan bilang, “Pas.” Aahh….. Rezeki sih gak ke mana.

Kembali ke Pantai Walakiri. Sementara yang lain sudah langsung menyeberang ke sana, saya mulai pening takut ketinggalan gara-gara kesulitan memasang plate tripod. Sehari sebelumnya, saat masih di Bali, waktu memandikan tripod di kamar mandi, tripod jatuh dan ternyata besi pengunci plate patah. Ampun banget dah, ketahuannya ya pas di Walakiri. Pasangnya itu harus dicongkel dulu besinya. Untung ada seorang teman master landscape yang bersedia bantuin dan menenangkan saya yang mulai panik karena takut ditinggal sunset. Hahah…. Fiuh dan akhirnya beres juga.

Jadi meskipun sedikit pasang, kami memang akhirnya nekat menyeberang ke deretan bakau. Apalah artinya air sebetis, begitulah kira-kira, demi dapat foto langit cetar. Yang kemudian diikuti juga oleh para pengunjung lain, yang tadinya gak mau ke tengah karena takut ‘basah’, akhirnya pada ikutan. Tapi karena yang datang rata-rata mau berfoto selfie, rombongan fotografer mulai gelisah. Bapak Korea yang kemarin saya ceritakan di postingan sebelumnya dengan cuek teriak ngusir yang foto-foto selfie, karena bikin bocor, hahaha….! Pak sabar Paaakkk….

Ya namanya juga pantai bersama. Akhirnya biar gak rebutan spot, kita maju dan maju terus ke depan. Simpelnya kita cari pohon bakau yang gak digelayutin. Dan syukurlah langit merahnya lama sekali, sehingga kami betah berlama-lama di tengah sana. Sampai jam 7 malam baru bergerak kembali ke tepi pantai ketika gelap sudah benar-benar turun.

Pantai Walakiri sendiri adalah salah satu pantai indah di Sumba Timur dengan ciri khas pantai di Sumba yang cenderung tenang dan landai dengan hamparan pasir putihnya. Dari pusat kota Waingapu jaraknya sekitar 24 Km, kalau ditempuh dengan mobil kurang lebih 30 menit. Pantai ini sungguh unik dan kata saya di atas tadi menjadi “must visit place” untuk setiap pelancong. Saat matahari terbenam dan air sedang surut, deretan pohon mangrove kerdil yang meliuk-liuk sungguh memanjakan mata. Beda. Unik. Mistis.

Menikmati pantai memang harus maksimal. Malam itu kami makan ikan bakar dengan sambal kecap, mengobrol dengan teman-teman baru, macam-macamlah mulai dari latar belakang profesi, keluarga, dan tentu saja tempat-tempat mana lagi yang wajib dikunjungi. Sebenarnya sih saya masih lapar ya bo’, soalnya kan gak makan nasi, tapi gak ada lauk lain, gak ada tahu atau tempe pendamping gitu. Mau nambah ikan lagi rasanya gak enak karena masih ada geng driver menunggu kita selesai makan. Dan kemudian salah satu driver bilang kalau orang Sumba memang tidak terlalu pintar masak. Masak makanan untuk rombongan pun ya cuma begini saja, ikan bakar. Tidak ada pilihan makanan lain. Tapi saya lumayan terhiburlah karena di warung ada biskuit coklat yang bisa dinikmati dengan kopi tubruk. Satu lagi, pakai toilet di sini bayarnya mahal, Rp5000 sekali pakai. Namun alasannya masuk akal, karena air bersih juga susah.

Baca juga: Air Terjun Waimarang Sumba Timur, Seperti Punya Kolam Pribadi Aja

Makan sudah, ngopi sudah, ganti batre sudah. Sehabis makan langsung menyeberang lagi ke tempat pohon bakau tadi. Kali ini air laut sudah benar-benar surut, dan binatang-binatang melata mirip teripang ada di bawah kaki kami. Katanya kalau diinjek juga gpp nanti dia akan menciut sendiri, tapi kan kasihan juga. Untunglah sudah pakai ‘sepatu air’ jadi mau melangkah gak takut-takut.

Malam-malam gelap gulita di Pantai Walakiri tujuannya mau mengambil foto milkyway. Kalau lagi banyak bintang bakal bagus banget. Kemarin menurut saya kurang rame, kurang penuh. Dan waktunya juga masih nanggung. Tapi yeaaa, pada dasarnya siapa pun yang pergi ke sini untuk memotret, pasti akan bilang gak puas. Ya karena kalau ada yang indah kan maunya dijepret terus ya.

Jangankan Pantai Walakiri, sepanjang jalan lihat savana coklat kering saja, keluar ucapan-ucapan, “Waaahh…. Indahnya…” “Wuihhh bagus banget…” “Ya ampun kok bagus semua ya di sini.” Dan saya bilang, “Heeyyy…. Ini Pak Yan pasti mikir, ini orang Jakarta kampungan sekali, lihat rumput saja… bilang indah.” LOL. Pak Yan senyum-senyum dengarnya.

Tapi memang begitulah. Kalau orang daerah ke Jakarta, lihat gedung-gedung menjulang dan mall yang mewah langsung waaaaahhhh…… tapi seminggu kemudian mulai stress dengan macetnya Jakarta. Sementara orang Jakarta kalau liburan ke daerah bilangnya indah betul, rasanya pengen lama-lama liburan. Tapi setelah satu dua minggu mulai bosan karena gak tahu lagi mau ngapain. LOL.

Ah, tapi saya pengen traveling ke Sumba lagi. Pengen liburan lagi, pengen moto lagi.

-ZD-

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

8 thoughts on “Senja di Pantai Walakiri, Sumba Timur

  1. Pingback: 6 Tempat Wisata Ini Cocok Jadi Pilihan untuk Refreshing Setelah Pandemi COVID-19 | Life & Travel Journal Blogger Indonesia

  2. Pingback: Pantai Watu Parunu Sumba | Life & Travel Journal Blogger Indonesia

  3. Pingback: Indahnya Danau Toba dari Bukit Holbung Samosir | Mom Travel & Photography Blog - Zizy Damanik

  4. ya ampun mbak, fotonya keren-keren banget, jadi pengen menikmati langsung sunset di Pantai Walakiri.. belum pernah traveling ke Sumba, ternyata eksotik ya di sana..

  5. Pingback: Referensi Hotel di Sumba | Lifestyle Blogger - Zizy Damanik

  6. Evi

    Cantik-cantik fotonya Mbak Zy. Dirimu beruntung pas ke sini dapat langit indah begini. Waktu aku langit mendung dan airnya juga sudah pasang. Manyun aja deh selama di sana..

    Mengenai muka lokal ternyata banyak membawa keberuntungan ya..

  7. Mbak Pinter banget ambil spot fotonya, pohon bakaunya kelihatan bercerita, Ada rasa sendu dan bergidik melihat beberapa foto bakau dengan langit yang bergulung aneka warna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *