[Bali Trip] Air Suci di Garuda Wisnu Kencana

[Bali Trip] Air Suci di Garuda Wisnu Kencana

Apa sih yang dicari dari sebuah perjalanan? Tujuan melakukan sebuah perjalanan sebenarnya tidak hanya tentang betapa puasnya dan relaksnya kita setelah melakukan perjalanan, tapi juga memberi makna secara pribadi dari aktivitas yang kita lakukan.

Buat saya perjalanan itu memperkaya diri secara pribadi. Mulai dari belajar mengenali banyak karakter orang, membuka kesempatan belajar, mengenal dan menemukan kebudayaan baru, serta yang utama adalah mengetahui sejauh mana ketahanan diri.

Di hari kedua trip ke Bali kemarin, setelah dari Pandawa Beach, kami mengunjungi tempat wisata Garuda Wisnu Kencana Culture Park atau lebih sering disebut GWK Bali. GWK Bali adalah kompleks taman budaya dengan luas lebih kurang 60 ha, dengan objek utamanya yang paling menarik adalah patung Garuda dan Wisnu dengan tinggi 20 meter. Dibangun pada tahun 1997 dan beroperasi pada 2003, taman budaya GWK Bali ini menjadi salah satu tempat wisata yang wajib dikunjungi buat yang baru pertama kali ke Bali.

Tentang patung Garuda Wisnu sendiri, patung yang dipahat dan diukir oleh seniman Bali terkenal, I Nyoman Nuarta ini rencana awalnya akan dibangun dengan tinggi 126 meter dan lebar 60 meter. Tapi sampai sekarang pembangunannya memang belum selesai sehingga patungnya pun belum ‘sempurna’. Dari hasil browsing saya mengenai “kenapa patung GWK Bali belum selesai?” salah satu isunya mengatakan bahwa pembangunan patung ini tidak selesai karena ada kesalahan arah pembangunan, sehingga tidak sesuai dengan kepercayaan Hindu. Jadi, menurut salah satu tokoh spiritual Bali, bila yang dibangun adalah patung Dewa Wisnu, maka seharusnya patung menghadap ke Utara. Sementara patung yang sekarang ini menghadap ke Selatan, artinya ini lebih cocok menjadi patung Dewa Brahma. Itu sebabnya pembangunan tidak dilanjutkan, karena kalau mau dilanjutkan, tempat wisata ini tidak boleh keliru. Begitulah katanya. Tapi terlepas dari isu di atas, patung GWK ini memang sangat mempesona!

Kami tiba di GWK siang hari dan suasana cukup ramai. Berhenti di dekat areal parkir lalu antri untuk beli tiket dulu. Di Bali ini semua tiket masuk tempat wisata selalu dibedakan antara tiket turis domestik dengan tiket turis asing, kemudian juga dibedakan untuk dewasa dan anak. HTM GWK Bali untuk dewasa Rp70rb, anak Rp60rb.

Setelah membeli tiket, kami masuk ke dalam areal taman budaya, berjalan kurang lebih lima menit lah ke arah atas, tempat kedua patung berada. GWK Bali ini lengkap, lho. Di dalamnya banyak acara juga, tari-tarian yang bisa dinikmati. Pilihan restoran juga ada, terus juga ada Sarinah (kok bisa ya ada Sarinah di dalam GWK?) yang menjual banyak souvenir bagus.

(Dan kami mampir dulu ke Sarinah, demi ngadem, dan sekalian beli souvenir-souvenir kecil)

Memasuki areal suci yaitu tempat di mana kita akan menemukan patung Garuda Wisnu, semua pengunjung wajib mengenakan pakaian yang sopan. Bila memakai celana pendek maka harus ditutup dengan sarung. Kemudian juga mengenakan selendang di pinggang. Wanita yang sedang berhalangan juga dilarang masuk ke areal suci.

GWK Bali_TSF0591

GWK Bali_TSF0597

Pertama kali melihat patung Dewa Wisnu, Vay langsung berkomentar, “Kok tangannya gak ada, Mi?” Dan saya jawab memang patungnya belum selesai dibangun.

GWK Bali_TSF0601

Sebelum pindah ke patung berikutnya, saya melihat ada tempat sembahyang kecil di samping kanan patung Dewa Wisnu. Ditunggui oleh seorang bapak tua berbaju putih, saya menduganya adalah pendeta Hindu (CMIIW). Oleh guide yang berjaga di sekitar lokasi patung, pengunjung yang lewat ditawarkan untuk mampir dan mencoba merasakan air suci di situ. Saya pun tertarik untuk mampir. Oleh si bapak tua, saya diminta bersimpuh dan merapatkan kedua tangan untuk menerima air yang diambilnya dengan gayung dari lobang kecil di sebelahnya. Kemudian katanya basuhkan air itu ke wajah. Setelah membasuh dua (atau tiga?) kali, beliau menggumam dan mengambil sejumput beras dari mangkok dan mengusapnya di dahi dan dekat tulang selangka. Bertanya asal saya dari mana, lalu sama siapa ke Bali. Dan kemudian wajah keriputnya tertawa. Inilah yang saya sebut di atas tadi, perjalanan yang memberi siraman rohani secara tidak langsung melalui interaksi nyata dengan orang lain. Banyak kejadian yang mengingatkan kita agar tidak lupa untuk selalu bersyukur.

GWK Bali_TSF0604

(Jadi bila ada pembaca yang datang berkunjung ke GWK Bali, sempatkanlah mampir ke tempat sembahyang ini. Kemudian — bukan sok ngajari ya — bila ingin memberi, berilah sebagaimana kita biasa memberi untuk diri kita.)

Setelah itu kita masih pindah dan foto-foto lagi, dan makan siang di food court yang tersedia.

Eniwei, layaknya tempat wisata, di sini kita bisa mengambil foto kita yang sudah dicetak di pintu keluar. Tentunya harus membayar. Foto yang sebenarnya di-digital imaging dengan latar belakang patung Garuda Wisnu, yang menurut saya sebenarnya itu tidak asli ya. Tapi apa daya, Dek Vay paling hobi mengoleksi foto cetak. Jadilah dua lembar foto dengan sampul kulit seharga Rp250rb itu diambil.

Gadis Bali boru Pardede :)
Gadis Bali boru Pardede 🙂

(Koyak lagi dompet mami)

-ZD-

6 Comments

  1. Dulu ke sini gak perlu pake selendang kuning masih mbak. ah, pengen ke bali lagi jadinya ?

  2. Mengetahui sejauh mana ketahanan diri, itulah makna dari sebuah perjalanan yang sering saya lakukan. Dan seberapa saya mampu bersyukur.
    Patung Dewa Wisnunya gede juga ternyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *