Bukit Holbung Samosir

Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati – Bukit Holbung Samosir

“Nanti kalau mau menyeberang ke Tomok, jangan lupa bilang, ‘Permisi ya Opung’.” Begitu kata mami ke saya. Saya mengiyakan lalu pamit dengan mencium tangan dan pipi beliau.

Minggu lalu saya baru kembali dari Medan. Mengunjungi orang tua, dan kemudian lanjut photo trip keliling Danau Toba. Dari Jumat sampai Minggu pagi, kami hampir bisa dikatakan mengelilingi Danau Toba untuk mengambil gambar saat matahari terbenam dan terbit. Pasti pernah dengar kan kalimat atau lirik: “Baju merah jangan sampai lolos.”

Kalau buat para landscaper, “Langit merah jangan sampai lolos.”

Saya melirik ke jam tangan dan mendapati sudah pukul setengah enam sore. Sejak dari Tigapanah, Karo, hujan sudah turun deras membasahi tanah Sumatera. Tapi kemudian, akhirnya hujan berhenti, hanya menyisakan sedikit mendung saja.

Sore itu, di Samosir, jadi momen yang melemparkan saya ke kenangan masa kecil. Deretan rumah sederhana dengan suasana kampung, sore yang mendung dan syahdu, anak-anak kecil dan orang tua duduk di teras depan rumah. Saya merindukan semua itu. Merindukan apa yang kita sebut dengan keluarga, kekerabatan, kepolosan, kesederhanaan. Teringat indahnya masa kecil dulu, berteman dan bermain dengan semua kesederhanaan sekaligus kemewahan yang disediakan oleh alam. Saat malam hari tiba dan kegiatan bernyanyi bersama Papi yang main gitar adalah kebahagiaan seorang anak kecil. 🙂

(Dan ku memang merindukan masa-masa itu)

Buat pemalas seperti saya, pengennya itu nge-landscape ke pantai yang begitu keluar dari mobil langsung sampai. Tapi tidak demikian kalau mau ke Bukit Holbung Samosir. Untuk sampai ke atas bukit, harus menaiki anak tangga.

(Sedikit sih sebenarnya, tapi ya namanya juga aku pemalas)

(Kali ini saya gak mau mengeluh soal backpack kamera yang berat ;p)

(Mengeluh terus, tapi tetep aja bawa tas berat. LOL)

Sebagian peserta lari ke bukit satu lagi. Saya ragu. Kata botou Erick Saragih gak usah ke sana, spot kami berdiri sudah paling pas. “Gak usah Kak, di sini aja dapat kok semua.”

Bukit di daerah Pangururan yang konon sudah berusia lebih dari 200 tahun ini sedang naik daun sebagai tempat wisata. Bentuk bukitnya yang bertumpuk-tumpuk kalau dilihat dari jauh sangat indah, kemudian sensasi bagi yang berkemah di atas bukit untuk menikmati sunset pasti beda rasanya. Saya lihat nun di sana sudah ada kemah yang berdiri.

Eh, tapi sore itu matahari tidak keluar. Awan sisa hujan masih enggan bergerak. Lalu botou Saragih berseloroh pada dua peserta lainnya. “Makanya kalian jangan pakai jambul juga. Bingung mataharinya kalau banyak yang pake jambul.”

“Ini bukan jambul. Ini kuncung!” Ada yang ngeles. Om Hap. Om Stenly si pria Manado di sebelahnya ngekek aja.

Tak apalah ya meski tak ada matahari, nikmati saja yang bisa dinikmati, karena yang namanya Danau Toba dilihat dari manapun tetap indah. Karena saya melihatnya dari mata, dan hati.

Danau Toba Bukit Holbung Samosir

Bukit ini mengingatkan saya pada bukit di Sumba, namun dengan kontur yang berbeda. Bukit Holbung terdiri dari bukit-bukit kecil yang bersusun, membuatnya terlihat unik. Dan tentu saja yang membedakannya dengan Sumba adalah, cuaca di bukit ini jauh lebih dingin.

Saya menoleh pada Bunda yang terlihat kedinginan, “Aku gak nyangka akan sedingin ini, jadi gak prepare bawa jaket yang bener.” I wish I can help. Di koper saya sih ada satu baju hangat cadangan, tapi tidak akan cukup buat Bunda.

Bukit Holbung Samosir

Bukit Holbung Samosir

Kelar memotret awan mendung, kami melanjutkan perjalanan. Rencananya akan makan malam di Pulau Samosir. Mungkin banyak yang tidak tahu kalau Pulau Samosir itu sebenarnya agak-agak nyambung sama Sumatera. Kalau dilihat dari peta, kita kan lihat seakan Pulau Samosir itu terpisah jauh dari Pulau Sumatera, padahal sebenarnya hanya berjarak sepenggal jembatan kecil. Dan baru kemarin itu saya akhirnya betulan menyeberangi sepotong jembatan itu. Bukannya gak mau sering-sering ya. Jauh bo’ dari Medan.

Yeah maklumlah. Tidak semua orang di Sumatera Utara pun pernah mengelilingi Danau Toba. But yang bisa saya pastikan adalah papi saya yang sudah mengelilingi semua Danau Toba ketika beliau masih bertugas di Simalungun. Papi pernah cerita ke saya, di mana bagian terdalam Danau Toba saat beliau berkeliling Danau Toba bersama team. Dan saya selalu bergidik ngeri kalau teringat itu.

Kembali kami melewati daerah pedesaan yang tadi dilalui saat datang. Suasana gelap, karena penerangan jalan memang tidak ada. Saat melewati masjid yang tadi sudah kami lewati saat pergi ke Holbung, botou Saragih nyeletuk ke kami semua, “Kami waktu itu sama Bang Novan mau sholat di sini, gak jadi! Gak ada siapa-siapa. Gelap banget.”

“Ada itu yang sholat. Cuma gak kelihatan aja.” LOL. Ehm bener kan? Pasti ada orangnya cuma kita gak bisa lihat aja hahaha…. Warlok, warlok. Saya langsung mikir, coba di sini ada teman-teman sesama pecinta horor, udah deh keluar semua stok cerita.

“Nah, ini ya jembatannya. Sekarang kita sudah masuk Pulau Samosir.” Begitu kata pak supir ketika Hi-Ace yang kami tumpangi sudah sampai di jembatan kecil pemisah pulau Sumatera dan pulau Samosir.

Eniwei, tidak mudah untuk menemukan rumah makan halal di Samosir, jadi ketika menemukan warung pecel lele yang cukup ramai padahal sudah malam hari, rasanya bahagia.

(Ya kelen tahulah, macam mana kehidupan di daerah. Makanya tiap kali harus visit Siantar, saya udah mo “mati kebosanan” kalo udah masuk jam 7 malam)

Yang saya makan seperti biasalah, pecel ayam tahu tempe, plus segelas jus kuini – yang datang terlambat – sementara saya sudah mo kecekek karena kepedesan – terus mas-masnya bilang, “Tadi udah jadi Bu, tapi diambil Ibu yang di sana. Dia gak mesan tadi (tapi diambil).”

(Ish kok ngadu gitu Bang? LOL)

Menginap di Mana Kalau ke Samosir

Malam itu kami menginap di Saulina Resort, yang berada berdampingan langsung dengan Danau Toba. Sebuah resort biasa, but katanya memang itu pilihan terbaik di sana, yang artinya kalau buat kami para landscaper, lokasinya pas. Tidak terlalu jauh dari spot untuk mengambil foto.

Suara musik dan orang bernyanyi terdengar dari dalam mobil. Memang kayak gitulah orang Batak (sama sih kek Ambon), tak pernah sepi dari bernyanyi.

(Tahan Zy… tahannn..! Jangan ikutan nyanyi)

Saya sekamar dengan Mbak Hes yang baru saya kenal hari itu, sama seperti peserta trip lainnya. Yang saya kenal dan aware hanya Botou idola Erick Saragih dan Bang Novian, master-master landscape.

erick saragih dan novian

Dan, seperti yang sudah pernah saya share sebelum-sebelumnya, bila bepergian untuk photo trip landscape begini, yang saya lakukan adalah mandi malam hari, menggunakan t-shirt yang nyaman untuk tidur tapi juga proper untuk dipakai pergi. Istilahnya lompat langsung berangkat juga bisa. Sejak kami grup Isat ketinggalan rombongan pas di Sumba (gara-gara saya dan Puput telat bangun, dan terus nungguin Deni yang juga telat bangun! Hahaha entah apa ini kok bisa satu grup tepar barengan), maka mindset diubah. Harus kayak tentara, siap tempur kapan aja.

Lalu di resort ini ada air panas gak? Gak ada! Mati! Lalu bagaimana? Maka malam itu saya pun mandi pakai air dingin, dong. Mandi air dingin di Jakarta aja kadang kedinginan, apalagi mandi air dingin di Samosir, di tepi Danau Toba. Orang gelaaa….! LOL. Ya gimana. Ga betah gitu naik ke kasur tapi gak mandi.

Kelar mandi, tidur. Bersiap untuk bangun jam 4 pagi esoknya. Dan saya tak ingat mimpi apa. Blek. Lelah.


Baca juga:
1. Air Terjun Waimarang Sumba Timur, Seperti Punya Kolam Pribadi Aja
2. Senja di Pantai Walakiri, Sumba Timur
3. Eksotisnya Bukit Wairinding di Sumba Timur

-ZD-

10 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *