Media sosial memang sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita sehari-hari, termasuk juga remaja. Dikutip dari report GlobalWebIndex, pengguna internet global di setiap generasi mengungkapkan alasan utama mereka menggunakan media sosial adalah: yang terbanyak itu untuk menghabiskan waktu, kemudian mencari konten yang lucu dan menghibur, tetap up-to-date dengan berita dan info tren, tetap bisa melihat apa yang teman sedang lakukan, dan juga untuk berbagi foto. Kemudian usia terbesar pengakses media sosial adalah remaja.
Apa yang dilakukan remaja saat bersosial media itu seperti kalau kita membuka keran air terus lupa ditutup. Byur semua airnya keluar gak berhenti. Mereka ngetweet, shooting, captured, posting, kirim pesan, dan banyak lagi. Faktanya, begitu remaja sudah diberikan smartphone, yang mereka lakukan adalah hanya berpusat pada smartphone. Dan itu berarti, mengecek Instagram, Snapchat, atau TikTok terus-terusan seakan ada yang salah dengan ponsel itu kalau tidak memberikan apa yang mereka mau. Mungkin puluhan (atau ratusan?) kali membuka setiap media sosial yang ada di ponsel mereka. Saat kita melihat remaja kita sudah seperti itu, maka kemungkinan besar dia sudah kecanduan media sosial.
Apa Itu FOMO Syndrome
Ada banyak remaja yang merasa pengalaman mereka berinteraksi online dengan teman-temannya adalah pengalaman positif, tapi tidak sedikit yang juga merasa stress. Rasa cemas yang terkait khusus dengan media sosial ini disebut FOMO, alias “fear of missing out” atau kata lainnya, “takut ketinggalan berita” “takut ketinggalan momen”. Istilah FOMO ini pertama kali muncul tahun 1996 yang kemudian istilah ini makin populer ketika media sosial juga semakin meningkat penggunaannya.
Ada banyak bentuk dari FOMO ini. Kadang-kadang tentang rasa khawatir bahwa teman akan marah kalau kita tidak segera membalas pesan, lalu merasa terlupakan dan tersisih bila melihat teman-teman kita sedang berkumpul di satu acara yang kita tidak ada di sana. Namun yang lebih umum adalah perasaan takut ketinggalan akan hal-hal menarik yang terjadi di dunia online.
(Beberapa ciri FOMO yang saya sebutkan di atas, saya melihat kecenderungan untuk itu ada pada anak saya, contohnya dia merasa takut ketinggalan membuat video edit untuk salah satu tokoh Harry Potter karena hari ini adalah hari ulang tahunnya, lalu lain waktu merasa gelisah karena screen time sudah habis tapi dia belum mengantuk dan masih ingin ngobrol dengan temannya.)
King University menuliskan bahwa FOMO ini adalah perasaan atau persepsi bahwa hidup orang lain lebih menyenangkan dibandingkan hidup kita.
Ketika beberapa tahun lalu saya masih bekerja di telco dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi di media sosial korporat, saat itu yang menjadi alasan kenapa kami kemudian membuat command center adalah karena kita semua tahu bahwa media sosial tidak pernah tidur. Sifatnya adalah 24/7, karena itulah penting buat brand bisa merekam semua percakapan yang menyangkut brand. So, tak masalah buat brand menjadi FOMO, malah justru harus FOMO!
Tapi sifat 24/7 media sosial ini membuat anak-anak kita merasa perlu dan penting lho harus memeriksa dan menanggapi kiriman atau pesan teman secara real time. Kalau sampai ter-skip langsung uring-uringan. Dan pastinya para orang tua bisa membayangkan apa yang akan terjadi, FOMO syndrome ini dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk, kecemasan berlebih, dan bahkan depresi.
Bagaimana orang tua membantu anak yang menunjukkan sindrom FOMO?
Faktanya sindrom FOMO tak melulu hanya dialami remaja tapi juga bisa dialami oleh mereka yang sudah jauh lebih tua, tapi di artikel ini kami khusus membahas tentang bagaimana cara orang tua mengatasi kecanduan media sosial pada anak sudah melihat ciri-ciri FOMO pada anaknya. Namun bukan tak mungkin orang dewasa juga menggunakan tips berikut ini untuk dirinya sendiri.
Mendengarkan Anak
Memang mudah buat orang tua mengabaikan FOMO dan mengatakan bahwa media sosial yang bikin stres ini penuh dengan kepalsuan, namun buat banyak pra-remaja dan remaja, social media adalah kehidupan sosial. Semakin orang tua menunjukkan bahwa orang tua peduli dengan perasaan mereka, maka remaja kita juga akan semakin terbuka.
Don’t judge
Saya merasa Snapchat lucu tapi juga lebay, seperti bagaimana filternya bisa membuat wajah saya jadi semulus bintang Korea dengan kulit putih dan bibir sedikit oranye. Benar gak sih? Tetap buat remaja dan dan pra-remaja kita, aplikasi ini bagian dari bagaimana mereka tetap berhubungan dengan teman-temannya. Jadi alih-alih menilainya, saya membiarkan saja saat anak saya mencoba filter aneh-aneh di muka saya, dan kemudian kami tertawa bareng. Pesan saya cuma satu, jangan sampai foto maminya terupload di media sosial! 😀
Memperbanyak kegiatan offline buat remaja kita
Kegiatan offline atau sebuah kegiatan yang nyata di depan mata adalah salah satu metode yang sebenarnya bisa menjadi pertahanan paling kuat anak terhadap FOMO. Berikan pemahaman pada remaja kita bahwa dirinya unik, dan punya banyak kelebihan yang patut dia syukuri. Ajaklah anak berpartisipasi dalam olahraga, drama musikal, atau berkontribusi sebagai volunteer di sebuah kegiatan, pasti akan sangat membantu mereka mengatasi kecemasan media sosial yang dirasakan.
Tetaplah Membuat Batasan
Setelah orang tua sudah menjadi teman, sudah bisa terlibat dengan apa yang remaja kita lakukan, sudah mengetahui di mana duduk masalahnya, maka saatnya lanjut ke langkah berikut tentang membuat beberapa batasan dasar tentang kapan saja dan di mana saja ponsel dan laptop boleh diakses. Sebagai langkah awal bisa memulainya dengan mengajak anak mematikan ponsel satu jam sebelum waktu tidur, lalu ponsel disimpan oleh orang tua. Ini untuk menghindari godaan dirinya akan membuka ponsel untuk membaca pesan di WhatsApp atau Instagram. Dan untuk hal ini pun orang tua sebaiknya memberi contoh juga pada anak, dengan tidak membuka ponsel menjelang tidur.
Bisa juga menyarankan pada anak agar memberikan info pada teman-temannya kalau dia tidak available di jam-jam tertentu, agar teman-temannya juga tidak mengejar jawaban dari anak kita. Cara ini cukup berhasil pada anak saya. Selama jam sekolah dari rumah dia tidak bisa mengakses media sosial, dan karena dia sudah menginformasikan itu pada temannya, temannya paham dan mereka mulai melanjutkan texting setelah jam sekolah usai. Bagus buat mereka, akhirnya bisa sama-sama fokus di jam sekolah.
–> Bacalah artikel panduan manajemen screen time untuk mendapatkan referensi.
Ajak Anak Fokus Pada Sisi Kreatif
Jangankan anak-anak, orang dewasa saja bisa kewalahan kalau harus mengikuti semua yang ada di media sosial. Karena itu kenapa tidak mengajak anak untuk fokus pada sisi positif dari aplikasi favoritnya. Misalnya ikutan kompetisi foto atau vlog di Instagram, biar anak diasah sisi kreatifnya.
Mengajak Anak Berpikir
Begitu anak beranjak remaja dan terus bertumbuh, orang tua tak mungkin bisa terus-terusan hadir untuk menyelesaikan masalah yang anak hadapi. Namun orang tua dapat membantu anak memikirkan dan mencari tahu apa yang terjadi seandainya dia mencoba membuat perubahan, berhasilkah? Atau tidak? Caranya dengan mengajaknya berpikir atas beberapa pertanyaan terbuka, seperti contoh-contoh simpel ini:
- Menurutmu apa yang terjadi kalau kamu mematikan telepon selama beberapa jam? Lalu kalau dimatikan sehari penuh bagaimana?
- Apa sih pro dan kontra dari aplikasi media sosial yang dipakai sekarang?
- Apa yang bisa mengalihkan perhatianmu supaya tidak tergoda memegang ponsel?
- Apa yang terjadi kalau kamu membalas pesan yang masuk di Instagram ini pada keesokan harinya?
- Apa yang terjadi kalau misalnya kamu saat ini tidak punya ponsel dan laptop, dan hanya bisa meminjam sebentar ponsel orang tuamu untuk menghubungi teman?
- Apa yang terjadi begitu kamu memutuskan untuk unfollow orang yang kamu rasa tidak memberi influence yang positif?
Sindrom FOMO memang tidak bisa serta merta diatasi dengan cepat. Butuh trik tertentu untuk bisa menghadapi remaja yang begitu bangun pagi tangannya langsung lengket dengan ponsel. Namun dengan kesabaran dan pendampingan yang ketat tapi fleksibel, orang tua bisa membantu anak untuk tidak terlalu tergantung dan kecanduan pada media sosial dan belajar mengambil sisi positif untuk pengembangan diri mereka.
Salam,
Pingback: 5 Tips Aman Berinternet untuk Anak Remaja dan Praremaja | Life and Travel Journal
Pingback: 7 Masalah Anak Remaja Yang Sering Terjadi | Life and Travel Journal
Pingback: Jangan Biarkan Berita HOAX Menyebar di Social Media | Life, Parenting & Travel Journal Mommy Blogger
Pingback: Alasan Kenapa Membesarkan Remaja Bisa Sangat Menantang | Life, Parenting & Travel Journal Mommy Blogger
Pingback: 9 Cara Agar Dekat Dengan Anak yang Beranjak Remaja | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Tips Menggunakan Smartphone yang Aman | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: 6 Cara Berbicara dengan Anak Mengenai Keamanan Internet | Life & Travel Journal Blogger Indonesia