Jalan-jalan Gili Air – Surga Yang Memikat

Jalan-jalan Gili Air – Surga Yang Memikat

Weekend kemarin kami sekeluarga baru pulang trip singkat ke Lombok. Trip yang tidak direncanakan sebenarnya, karena tadinya hanya ayah si Vay yang ada urusan ke Gili Air. Tapi kemudian doi berubah pikiran, maka jadilah kami pergi berlibur di tanggal merah dan tanggal kejepit kemarin.

Day 1  15 May 2014

Ini adalah kali kedua kami pergi bertiga ke Lombok, setelah yang pertama kali di 2009. Kalau ayahnya sudah sering, termasuk ke Gilis (pulau-pulau kecil di seberang Lombok), karena hobi divingnya.

Mengingat hanya akan menghabiskan dua hari setengah dan dua malam saja di Gili Air nanti, kita hanya bawa satu koper kabin untuk pakaian, dan koper Hello Kitty Vay, berisi ember, sekop plastik, dan teman-temannya, untuk main pasir nanti. Pakaian juga sudah jelas pakaian santai semua. Topi, air mineral botolan, dan lotion ber-SPF sudah ada di ransel.

Kami berangkat jam sembilan dua puluh pagi dengan pesawat Lion, dan tiba di Lombok jam dua belas WITA. Saya baru ngeh kalau ini bandara baru, mirip dengan Kualanamu . Di pintu keluar berkerumun para penjemput, lho ada apa? Kok ramai bener? Ternyata mereka adalah rombongan penjemput TKI yang baru pulang dari Malaysia. Sang bintang yang tiba disambut dengan tangisan haru keluarga.

Karena perjalanan dari bandara ke Senggigi akan ditempuh dengan waktu 1,5jam dan kita juga akan langsung menyeberang ke Gili Air, jadi ya kita makan dulu di bandara. Biar cepat, pilih CFC saja. Nah, waktu lagi ngantri nih, seorang bapak-bapak di depan saya lagi tanya-tanya ke mbaknya, ada menu apa aja. Diterangkanlah ada ini, ada itu. Lalu bapaknya tanya, “Ayam taliwang ada gak Mbak?” Saya langsung menoleh ke si bapak. Ini jangan-jangan si bapak belum pernah makan fried chicken di resto fast food kali ya? Masa dia cari ayam taliwang di CFC? Mbaknya kemudian menunjukkan arah restoran yang menyediakan menu yang dicari. Dan si bapak berlalu dengan kopernya.

Ayah Vay bilang jangan kasih makan Vay terlalu kenyang, takut muntah. Soalnya jalannya kan berkelak-kelok. Tapi gimana dong, namanya juga dia lapar, jadi ya agak banyak juga makannya.

Kami dijemput oleh Pak Hasan, driver mobil carteran yang sudah biasa dipakai ayahnya Vay. Kita pun jalan, dan Vay bertanya terus, kenapa pohon-pohon di Lombok rantingnya kurus-kurus, hihi…

Susah untuk mengalihkan mata dari pantai. Luar biasa indahnya pantai Lombok ini, kemana pun mata memandang, hamparan laut dan ombak menerpa bibir pantai terlihat. Indahnya Indonesiaku. Sudah lama tidak lihat pantai indah, huhuhu…

Kami melewati Sheraton Hotel, tempat menginap yang dulu, berharap Vay ingat, padahal mana dia ingat, dia baru usia setahun waktu itu. Juga melewati tepi atas tempat dulu kami berhenti untuk berfoto, tapi kali ini tidak berhenti. Sebentar lagi kan akan langsung menginjak lautnya, itu yang penting.

Benar saja. Jalan yang berkelak-kelok membuat Vay pusing dan mual. Saya langsung siapkan plastik. Dan, pas sekali ketika mobil berhenti di Teluk Nara, dia muntah. Jalanan di sini memang kejam kelak-keloknya, yang dulu juga dia muntah.

Teluk Nara adalah pelabuhan untuk boat carteran. Ongkos naik boat carteran ke Gili Air Rp100.000/orang. Bayar di tempat dan langsung dibawa menyeberang ke Gilis (tapi kemarin kita tidak bayar di tempat, karena sudah reserved langsung dari hotelnya). Tapi bisa juga naik dari pelabuhan umum, adanya di Bangsal. Tarifnya sekitar sepuluh sampai lima belas ribuan per-orang, untuk mencapai Gilis. Tapi harus cek jadwal kapal sih kalau mau naik dari Bangsal, agar tidak ketinggalan. Apalagi kalau mau ke Gili Air, karena kapal yang ke sana tidak banyak.

Ehm…. mau naik boat kan harus injak pasir toh (memangnya Danau Toba, naik dari dermaga), jadilah saya dan Vay buka sepatu. Ayahnya sih memang sudah dari awal pakai sendal saja. Vay agak grogi karena tak biasa menginjak pasir.

Selama di boat Vay juga rada takut. Sebentar-sebentar tanya, sudah mau sampai belum? Kek ginilah kalau anak mall dibawa liburan ke pedesaan.

Gili Air yang Memikat

Di Lombok, terdapat tiga Gili: Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno. Gili Trawangan adalah yang terbesar, paling ramai, dan tempat yang tepat bagi yang suka party. Gili Air, adalah gili yang terdekat jaraknya dari Senggigi, dan pulau terkecil dari ketiga gili. Ini favorit ayahnya Vay.

Menurut sejarah yang saya baca (googling), dulunya pusat rekreasi para turis adanya di Gili Air, selain karena jaraknya paling dekat dari daratan Lombok, Gili Trawangan bukanlah pilihan utama, karena dulu pulau tersebut adalah tempat pembuangan para narapidana. Namun karena dulu penduduk Gili Air masih sangat religius, mereka belum bisa menerima gaya hidup para turis bule yang datang, sehingga pusat rekreasi pun dialihkan ke Gili Trawangan (yang hingga sekarang tetap terasa suasana “pesta”nya). Lama kelamaan, saat Gili Trawangan mulai berkembang, ceritanya warga Gili Air juga akhirnya tidak ingin kalah, dan kemudian membuka diri untuk pariwisita. Dan hingga sekarang, Gili Air adalah gili pilihan bagi mereka yang menyukai suasana sunyi dan private. Mostly wisatawan yang ada di sana bule semua.

Beberapa puluh meter mendekati Gili Air, terlihat para bule yang sedang snorkeling sambil berenang. Juga yang berjemur. Boat berhenti di Scallywags (resort dan juga resto di tepi pantai), dan kami turun dengan menginjak air laut lagi. Kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, menuju penginapan.

Benar kata si ayah. Suasananya beda. Serasa tiba di private island. Dan serasa bukan di Indonesia, karena isinya orang bule semua! Jalan tanah yang sempit, dengan resto dan kafe-kafe menghadap pantai, dan di sisi satunya adalah deretan accomodation. Penginapan-penginapan di sini rata-rata menyebut dirinya dengan accomodation, karena mereka bisa menyediakan A sampai Z yang dibutuhkan turis-turis di pulau itu.

Di Gili Air  juga gili lainnya, hanya ada sepeda dan cidomo (semacam delman), semua yang lewat saling menyapa ramah. Beberapa orang menanyakan apakah kami sudah mendapatkan tempat menginap. Di Gili Air memang biasa, turis datang mendadak dan keliling mencari kamar. Vay mulai mengomel, Mami, Vaya gak suka kaki Vaya kotor. Mami, Vaya gak mau panas… Dan kedua orangtuanya cuek saja.

Kami tiba di penginapan, Omah Gili. Yes. Selama di Gili Air, kami menginap di Omah Gili Accomodation. Kebetulan yang punya si Omah ini teman ayahnya Vay, dan kita dapat voucher untuk menginap dua malam di sana. Lumayan. Selama ayahnya lanjut meeting dengan temannya, saya tiduran sebentar di kamar, dan Vay izin mau main di luar. Eh tahu-tahu dia berenang di kolam. Panas-panas, beuh. Oh iya postingan tentang Omah Gili Accomodation saya tulis di postingan sendiri di sini.

Ketika sudah agak sore, dalam artian sudah tidak terik lagi, kami bawa Vay ke pantai. Duduk di Chill Out Bar, di meja dekat pantai, melihat Vay mengorek-ngorek pasir. Vay sangat excited dengan pantai di Gili Air. Dia menunjuk suatu benda di pasir dan berkata, “Mami lihat, ada tengkorak.” Haa? Tengkorak? Ternyata itu karang pasir, yang sering jadi rumah kepiting kecil.

"Mami, lihat, ada tengkorak." Oh? Ups...
“Mami, lihat, ada tengkorak.” Oh? Ups…

Tak lama dia mengeluh karena tak berhasil membuat castle, lalu ayahnya menemaninya mengambil air laut. Vay tak mau dibantu, katanya ingin buat sendiri. Oh iya, baiklah, maminya pun gratilan banget pengen bantuin anak ya, padahal anak sudah pengen mandiri. Meski kemudian akhirnya dia tetap tak berhasil membuat castle.

Ah, memang nikmat suasananya. Udara laut yang segar tanpa polusi, kemudian pemandangan gunung yang ditutupi awan di kejauhan, kapal-kapal di tengah laut sana. Sesuatu yang tak bisa kau dapatkan di Jakarta sini. Hmm..

Di sisi pantai itu, kita tidak bisa lihat sunset. Sunset adanya di sisi lain pulau. Ya sudah, kami rencana mau bangun pagi saja besok untuk melihat sunrise.

Habis dari laut, kita makan ice cream dulu. Yes, di Gili Air, banyak bertebaran kedai ice cream gelatto, home made. Satu yang jadi langganan si ayah, adalah Scooperific, yang katanya 100% made ini Gili Air. Vay doyan langsung. Masa dong ya, setiap hari di Gili Air makan ice cream terus.

Setelah bersih-bersih, malam hari kami keluar untuk makan. Kita ke Chill Out lagi, kali ini duduk di bale-bale beralaskan bantal, memandang laut yang gelap, disinari bulan purnama. Meja-meja tepi pantai yang tadi sore masih kosong sekarang sudah terisi semua oleh bule-bule. Mereka mengobrol dengan tenang, menikmati makanan, atau sekadar ngebir. Dari resto sebelah, terdengar life music mengalun. Bukan musik hingar bingar tentunya, kalau itu adanya di Gili Trawangan.

Chill Out Bar
Chill Out Bar

Seperti halnya resto di daerah pantai, menu utama tentu saja hasil laut, dan sudah disesuaikan dengan selera orang bule. Cari ayam goreng biasa untuk Vay tidak ada. Tempe goreng juga tak ada di menu. Tapi syukurnya pelayan di Chill Out mau kompromi. Mereka mau menggorengkan tempe untuk Vay. Vay pun hanya makan dengan tempe goreng. Disuruh coba yang lain gak mau. Pakai tempe saja gpp katanya. Pe-er nih kalau jalan-jalan bawa Vay, urusan makan susah.

Harga makanan di resto-resto seperti Chill Out Bar dan Scallywags sudah pasti di atas rata-rata. Satu ekor Jack Fish ¼ kg harganya Rp 80ribu (sudah dengan nasi atau kentang goreng), seekor udang galah Rp 100ribu, lalu kebab Rp 45ribu.

Malam itu, semua tepar dengan lelap.

Thanks sudah berkunjung ke TehSusu.Com. Subscribe to Get More. Enter your email address:Delivered by FeedBurner

24 Comments

  1. Ternyata selain Gili Trawangan, ada Gili Air yang menarik juga untuk dikunjungi nih. Terima kasih mbak ulasan perjalanannya. Jadinya saya tahu sedikit lah gimana itu Gili Air. Biar gak kecele ketika pergi liburan kesana. Hehehhehe…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *