Kalau Orang Indonesia Masuk Hotel

Menginap di hotel berbintang punya cerita tersendiri. Harga yang dibayarkan untuk kamar dan isinya – termasuk minuman mineral sebagai komplimen – biasanya bikin orang yang menginap berpikir untuk memanfaatkan semua sepuas-puasnya alias “gak mau rugi”. Menurut saya, sikap gak mau rugi ini lebih sering ditunjukkan sama tamu-tamu orang Indonesia. Pokoknya kalau nginap di hotel berbintang — dan kebetulan hotelnya lagi ada promo ini itu sehingga rate kamar jadi lebih murah — terus orang Indonesia-nya banyak, sudah gak heran lagi kalau ketemu pemandangan yang akan saya ceritakan.

Salah satunya adalah rebutan breakfast. Saya selalu takjub campur jengkel setiap melihat antusiasme tamu Indonesia ini. Semua makanan diambilin. Ambil sepiring penuh isi nasi goreng isi sosis dan kacang merah, bawa ke meja dulu. Lalu balik lagi ambil sepiring roti tawar dan roti manis plus butter, bawa balik lagi ke meja. Lalu habis itu balik lagi ambil makanan lain. Semua itu ditumpuk di meja. Persis kayak orang kelaparan yang jarang-jarang makan. Seperti ketakutan makanan akan habis. Buru-buru, sendok sebanyak-banyaknya. Plis deh, breakfast hotel itu biasanya buka selama empat jam, jadi tidak mungkin makanan habis. Hotel pasti menyediakan makanan sesuai tamu yang menginap, dan kalau ada salah satu menu yang memang terbatas, masih ada menu pengganti yang juga sama enaknya.

Begitu juga pemandangan yang saya lihat waktu bulan lalu saya, hubby dan Vaya, menginap di Novotel Bogor selama beberapa hari. Kemarin itu karena bertepatan dengan libur lebaran, Novotel memang sedang ramai tamu. Sebagian besar tamu memang mengambil paket lebaran, jadi harga yang dibayar sudah sekaligus dapat makan pagi dan makan malam.

Pagi jam 8 saya turun ke restoran. Gile. Udah full! Itu tamu-tamu Indonesia persis seperti yang saya bilang di atas. Tidak berhenti bolak-balik ke rak makanan. Saya lihat petugas resto terlihat repot mondar-mandir kesana kemari. Antar piring kotor masuk dapur, keluar bawa gelas bersih, antar makanan tambahan, antar minuman tambahan. Saya lihat manager resto — pria bule — mengarahkan para staf agar lebih ligat lagi.

Rasanya jengkel gitu ngelihat rak-rak makanan berantakan. Sendok-sendok yang tidak dikembalikan ke tempatnya, lalu isinya yang satu kesana satu kesini. Apa tidak bisa ya mengambil makanan dengan rapi? Dan yang bikin saya makin jengkel adalah mereka yang terburu-buru itu. Dasar norak.

Saat itu saya sedang melihat-lihat makanan dulu, mana nih yang kira-kira bisa dimakan sama Vaya. Ayah si Vaya sedang pergi ke sisi lain, sementara Vaya saya gandeng ikut menyusuri rak-rak karena saya tidak berani meninggalkan dia di meja sendirian, situasi terlalu ramai, susah nanti mengawasinya. Setelah menyendok nasi goreng ikan asin, sendok nasi itu saya letakkan, eh tiba-tiba datang perempuan dari arah kanan langsung mengulurkan tangan mau mengambil sendok nasi itu — padahal saya belum jalan. Dan piringnya itu tepat berada di atas kepala Vaya yang tangannya memegang bagian kanan baju saya karena cemas dengan keramaian suasana. Saya langsung menoleh dengan tatapan berang. Buset nih orang, gak ngeliat ada anak kecil apa? Kalau sampai piringnya itu kena kepala si Vaya, kugetok juga kepalanya pake nih piring. Jengkel banget. Gak sabaran banget, toh dia hanya butuh bersabar setengah menit saja, setelah itu saya juga pasti berlalu. Selang beberapa detik, perempuan itu terkesiap melihat pelototan saya dan dia batal mengambil sendok. Dia beralih menyendok makanan lain di sebelahnya. *Sadar ternyata ada emak-emak ngamuk.

- Breakfast - (Gbr didapat dari Google)

Ayoo ayooo makanan enak ini.... rebutann..!

Begitu juga waktu makan malam tiba. Pas waktu itu malam minggu temanya barbeque. Saya turun belakangan karena kasih makan Vaya dulu di kamar. Tiba di resto sekitar jam 8 malam, restoran masih ramai juga (padahal open jam 6 sore lho). Tamu-tamu lagi berebut makanan. Pada nyendokin kambing guling, steak, ambil bertusuk-tusuk sate. Saya lihat ayah si Vaya masih duduk di meja dengan semangkok es-es-an (saya lupa es apa), katanya malas rebutan. Saya bilang, lah kalau nunggu sepi mah mungkin  jam 10 kali baru sepi, ni orang-orang gak akan bergerak sebelum perutnya benar-benar buncit.

Di sisi lain resto saya lihat ada pasangan suami istri bule yang sudah agak tua, mereka duduk santai minum anggur sambil menikmati live music. Sesekali mereka melirik kerumunan tamu yang tak berhenti juga menyendok makanan. Sepertinya mereka kagum dengan ‘nafsu makan’ orang Indonesia. Sampai setengah jam kemudian, saya lihat si bapak bule akhirnya berdiri dan mulai menyusuri rak makanan yang sudah agak sepi. Dia menyendok makanannya dengan teratur dan santai, sama sekali tidak seperti orang kelaparan. Dan saya, saya hanya makan beberapa tusuk sate saja. Tak sanggup. Lidah dan perut ini asli Indonesia, baru dua hari di situ saja saya sudah bosan dan ingin makan makanan biasa-biasa saja. Beberapa kali saya ke rak makanan mengambil sedikit ini sedikit itu untuk Vaya, tapi Vaya emoh.  Satu-satunya yang dia mau hanya kuah soto padang. Itu tok.

Eips. Jangan lupa. Masih ada satu lagi sifat tamu Indonesia yang sudah ketahuan sejak jaman dahulu kala. Setiap pulang bepergian selalu bawa oleh-oleh. Nah, sama nih. Kalau habis makan di hotel juga begitu. Pada bawa bontot! Biasanya sih emak-emak tuh yang suka bawa kotak makanan kosong untuk diisi dengan beberapa potong roti atau cake yang enak. Atau membungkus roti dengan tisu dan dimasukkan ke dalam tas. Hmm… kalau yang ini saya pikir masih rada wajar ya. Roti or cake memang cemilan yang pas dan praktis untuk mengisi perut & biasanya emak-emak ngambil untuk anaknya. It’s okaylah selama tidak berlebihan. Saya juga pernah kok ngambil roti, waktu itu malam terakhir di Jeddah (4 tahun lalu) & saya mengambil beberapa buah roti untuk mami saya kalau malam-malam beliau lapar (beliau sakit maag). Saya sendiri juga malam itu hanya makan roti saja, soalnya lidah sudah bosan makan masakan Arab terus. Yaaahh begitulah. Oke. Oke.

Tapi pengambilan bontot terparah yang pernah saya lihat adalah ketika ada ibu-ibu yang meraup butter sebanyak-banyaknya. Iya, butter-butter itu ternyata menggoda ibu tersebut, dan dia dengan pede meraup beberapa kali dengan tangannya, memenuhi piring, lalu kembali ke meja. And then, setelah lirik kanan kiri, isi piring itu pun lenyap ke dalam tas. Ouhhh jadi itu ya sebabnya kenapa ibu-ibu mau breakfast pun mesti bawa tas.

Hari ke-empat di Novotel, waktu breakfast lagi dengan menu yang sama (yup, membosankan…), terdengar celetukan berapi-api dari meja di samping kami. Asalnya dari seorang lelaki berkaus kutung : “Gile! Ini breakfast mahal bener, harganya 120 ribu lho..”

Oouuwww… ya, ya, pantes aja gak mau rugi. Huehehee….

Sharing is Caring

Share this Post



This entry was posted in Opini. Bookmark the permalink.

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

103 thoughts on “Kalau Orang Indonesia Masuk Hotel

  1. hahahaha, ya dimaklumi aj Mbak e..jarang makan enak kali. Kan ga semua orang sama kayanya, mana tau mereka nginap disana itu gratis, or setelah nabung lama, jadi pada ga mau rugi. Aq mah juga ogah rebut2an, tapi ya liat begituan suka senyum2 sendiri aj..menurutku lucu dan kayaknya mereka bahagia gitu loh. Tapi ya kalo piringnya mpe nyenggol pala anakku sih bisa grrr juga :(. Ditunggu postingan selanjutnya 😀

Leave a Reply to febrie Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *