Rambut Megar dan Sepeda Motor

Kemarin malam Jakarta sedang sedikit cerah. Saya suka dengan udaranya, karena setelah diguyur air hujan yang lumayan bikin banjir dan genangan di beberapa wilayah Jakarta, biasanya langit Jakarta jadi lebih cerah. Bersih. Ibarat seorang tuna wisma yang lama tidak mandi kemudian dimandikan dengan bersih di rumah penampungan, keluarlah dia dengan wajah yang lebih enak dilihat. Seperti itulah Jakarta beberapa hari ini.

Saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, dari plaza kecil dekat rumah. Di depan sana, di perempatan jalan, sebuah sepeda motor ragu-ragu hendak menyeberang. Tiga orang gadis remaja tanggung berboncengan. Rambutnya megar-megar, badan kurus, cekikikan. Ini anak-anak kok boncengan bertiga sih, pikir saya. Sudah bisa naik motor belum sih mereka ini? Ini pasti deh pada mau ngecengin cowok. Eh tapi terus saya sadar dan ketawa sendiri dalam hati.

Siapa sih yang gak pernah jadi remaja? Saya pun dulu pernah jadi remaja. Pernah melalui masa-masa seru bersama teman-teman dekat, pernah naik sepeda motor berboncengan dengan sahabat entah ke mana saja, kumpul ramai-ramai bergosip yang gak jelas, ketawa cekikikan kalau sudah mengomentari orang lewat, naik angkot kosong beramai-ramai lalu nyanyi-nyanyi gila. Dan jangan lupakan pula, rambut megar yang hits banget di jaman dulu. Hahah. Terkesima sedikitlah mengetahui bahwa sampai sekarang model rambut megar ternyata masih hits juga – di tengah gempuran iklan shampoo yang mengklaim bisa bikin rambut terlihat seperti habis di-smoothing, dan harga-harga murah pelurusan rambut yang ditawarkan oleh salon. Melegakan mengetahui bahwa beberapa hal tidak berubah, meski di ibu kota sekalipun, sebagian orang tua tetap membiarkan anak mereka berproses dengan alamiah tanpa memaksa mereka untuk dewasa sebelum waktunya. Bukan berarti perawatan salon untuk remaja adalah hal yang berlebihan, sesekali tak apalah, tapi tetap saja sesuatu yang natural itu lebih baik dari yang karbit.

Bicara tentang proses yang alamiah, saya juga melewati masa-masa di mana karena ingin mengikuti mode akhirnya menyesal. Waktu SMP, pernah bosan dengan rambut ‘poni lempar’, saya memaksa ingin mengeriting rambut ala Ruud Gullit, tapi sungguh salon-salon di Medan saat itu gak ada yang canggih. Gagal total, dan rambut saya jadinya keriting biasa. Huh! Padahal mami saya sudah mengingatkan, nanti rambut bisa rusak kalau dikeriting, tapi namanya juga remaja, pengen ini pengen itu, dan harus eksis. Demi menghabiskan sisa rambut keriting yang juga tidak sehat, saya potong rambut pendek terus. Waktu masuk SMA, rambut saya sudah lurus kembali, tapi pendek seperti Demi Moore. Duduk di kelas tiga, baru saya kepikiran untuk memanjangkan rambut lagi. Dan saat kuliah, rambut saya sudah panjang plus megar, dan tidak dipotong pendek lagi, demi mendukung karier ecek-ecek sebagai pemain band. *Mana ada pemain band rambutnya pendek, harus gondrong dong… plus jaket jeans kutung, anting penuh di telinga, gelang kulit dan kalung etnik di tangan dan leher, sambil nenteng hard case guitar. Dan jangan lupakan juga: senyum harus irit! Hahah.

Nah, mulai kenal creambath ya saat rambut panjang itu. Selalu barengan Mami, namanya juga kita nebeng ya dibayarin orang tua. Tidak sering-sering, karena Mami lebih suka bila saya pakai perawatan alami saja, seperti santan kelapa atau lidah buaya.

Hanya saja, pengalaman saya mengendarai sepeda motor bersama sahabat bisa dibilang sangat singkat. Ya. Ketika duduk di kelas satu SMA, saya pernah menabrak seorang anak kecil karena tidak hati-hati saat mengemudi motor. Itu baru beberapa bulan saya bisa naik motor, dan sok-sokan mau jadi pembalap pula. Yang saya ingat pertama kali saat tahu saya sudah menabrak orang adalah: papi saya! Hehe… takut dimarahiinnnn! Karena kejadian itu, orang tua mengambil keputusan tidak lagi mengizinkan saya naik motor, dan saya pun tidak berani lagi mencoba. Sampai sekarang. Sudah gak pede, hehe..

 

Rambut Megar (Gbr pinjam dari harley-riders-guide.com)

Padahal saya kangen lho dengan tatapan kagum orang-orang di pinggir jalan saat dulu melihat saya bawa Honda Tiger abang saya. Again ya, baru bisa naik motor aja sok gaya-gayaan, alhasil Tiger-nya mogok di ujung jalan karena saya lupa mindahkan tuas bensin apa gitu kalau gak salah, dan saya harus telepon abang saya agar menyusul. Hahahaa…

….

Bunyi klakson Metromini mengagetkan tiga gadis remaja yang cekikikan di atas motor itu. Sedikit gelagapan, yang di depan segera menguasai diri dan langsung tancap gas ngebut dengan dua temannya di belakang. Duh. Harus saya akui, pengendara roda dua di Jakarta ini antara canggih dan nekat, bisa selip sana selip sini di tengah padatnya kendaraan. Rambut megar dan sepeda motor. Belum bisa terkikis jaman sepertinya.

(ini adalah #repost backdated, karena database hilang dari hosting, mohon maaf atas komentar teman2 yang hilang)

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

4 thoughts on “Rambut Megar dan Sepeda Motor

  1. *Mana ada pemain band rambutnya pendek, harus gondrong dong… plus jaket jeans kutung, anting penuh di telinga, gelang kulit dan kalung etnik di tangan dan leher, sambil nenteng hard case guitar. Dan jangan lupakan juga: senyum harus irit! Hahah.

    (paling suka kalimat yang ini) hehehe

  2. urusan rambut megar dan naik motor ini susah dilakukan bersamaan krn musti pake helm….cuma bisa megarin rambut kalo udah nyampe tujuan pas helmnya uda dilepas.

  3. wkwkwkwkk…gue ngikik baca ituloooh statement mu…senyum harus irit…musti yaa…*pegangin perut*

    btw masalah rambut emang cewek2 juaranya kali yaa…lagi mode apaaa…pengen ngikut,dulu jamannya kriting basah..aiihh maksa banget gue ikut…hasilnya sama lah ama km zy…gatot aliyas gagal total…

    hmmm…gak kebayang nanti vaya atau kika mulai gede yaa..ngikut mode rambut juga gak yaa…hehehee

Leave a Reply to jaturampe Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *