Salon : “Nyari Pelanggan” atau Dicari Pelanggan?

Saya paling hobi ke salon. Biasanya untuk memanjakan diri seperti creambath, pedi-meni, luluran, massage, dan juga refleksi, rutin setiap minggu ke salon (dulu sih waktu masih lajang di Medan). Kalau untuk potong rambut atau colouring, itu baru… setiap tiga enam bulan sekali.

Karena itulah saya suka menjajal setiap salon yang ditemui. Mulai dari salon murah sampai salon yang agak mahal. Iya, agak mahal, artinya saya belum pernah menjajal salon yang terlalu mahal, yang misalnya untuk cutting harus bayar 400 ribu. Huhuu….mana sanggup.

Selama tinggal di Jakarta, saya juga sudah mencoba banyak salon. Ada yang di mall-mall, terus salon di Tebet deket rumah mertua, dan tentu saja salon-salon dekat rumah kami. Di dekat rumah kami ternyata banyak salon, mulai dari salon dengan plank merk terkenal, sampai salon-salon biasa. Sebagian besar menggantungkan tulisan “Khusus Wanita” di depan pintu.

Semuanya saya coba, ingin tahu mana yang paling oke, dan ternyata mendapatkan salon yang memuaskan itu memang gak mudah. Ada salon yang murah banget, padahal tempatnya bagus, full ac & bersih, & rame! Tapi ternyata kerjanya terburu-buru seperti kejar target.

Lalu minggu lalu ada salon mewah yang baru buka, planknya besar, begitu masuk langsung tercium wangi aroma terapi, tarif yang dipasang juga lumayan mahal & pedi-nya pake alat canggih, eh ternyata kerjanya masih kurang OK (kaki orang dibuatnya berminyak-minyak! Bodat!).

Terus ada juga salon yang rame oleh ibu-ibu. Yang terakhir ini, semuanya oke, pijetnya enak, pedi-meni juga bersih sekali, cuma sayang ruangannya panas!! AC nya cuma sepoi-sepoi saja, alhasil keluar dari salon sama sekali tidak fresh. Trus satu lagi, tante yang punya salon itu hobi sekali menawarkan dagangan ke saya, mulai dari obat muka sampai presco, ahahahaa.. secara saya gak bisa masak, jadi untuk apa punya presco mahal?

Tapi bukan itu yang bener-bener mau saya bahas disini. Tapi lebih pada soal kedok salon kecantikan sebagai tempat untuk “mencari pelanggan”. Yup…! Pakai tanda kutip. Iya, kalau umumnya salon itu dicari pelanggan karena kualitas jasanya, salon-salon ini mencari pelanggan karena pegawainya.

Well, karena di Jakarta ini saya belum (sempat) menemukan salon pencari pelanggan ini, jadi saya cuma bisa cerita tentang salon-salon di Medan. Sebagian besar ditemukan secara tidak sengaja, bahkan beberapa salon itu adalah salon yang punya nama.

Pertama, salon langganan saya luluran. Tempatnya oke, bersih, pijetannya mantap, pegawainya ibu-ibu dari usia 35-50, berseragam bersih dan santun. Saya sudah jadi langganan mereka selama bertahun-tahun, sampai suatu ketika waktu mereka pindah ke alamat baru, saya sempat kehilangan dan baru menemukan alamat itu setahun kemudian, saya baru tahu kalau ternyata sekarang salon itu juga menerima tamu pria. Padahal sebelumnya salon itu “Khusus Wanita”. Untuk tamu lelaki, jam pelayanan malam hari, dan juga dengan standar pelayanan yang sama: diberikan celana dalam kertas, dikasih kain kecil penutup aurat, dst. Kadang kalo cd kertas untuk wanita habis, mereka akan kasih cd kertas cowok untuk pelanggan wanita. Syukurlah saya selalu bawa cadangan sendiri.

Awalnya saya pikir ini wajar saja, toh para lelaki juga butuh massage untuk menyegarkan badan. Dan mungkin karena salon & spa khusus lelaki di Medan tidak sebanyak di Jakarta ini, wajarlah si pemilik salon melebarkan sayap dengan menjaring tamu pria.

Tapi, suatu hari ketika saya sedang di-massage, seperti biasa ibu-ibu pemijat ini kan suka bergosip juga. Sang resepsionis, berbadan kecil kurus dan selalu pakai rok mini, datang ke dalam, dan keceplosan bicara.

“Aku kemarin ditelepon dia, disuruh dateng ke rumahnya. Aku bilang gak maulah, habis ada istrinya.” Dia terus nyerocos sambil diselingi bahasa Jawa sesekali. Kelihatannya pria yang dibicarakan ini langganan di situ, yang rumahnya deket, salah satu dari rumah-rumah gedong di daerah itu. Dan dia sudah sering diundang datang ke rumah laki-laki itu, tentunya ketika si istri gak di rumah. 

Another salon, di Jalan Airlangga. Dulu saya sempat mengeriting rambut di situ, dan jadi langganan sebelum pindah salon lagi. Salon yang bagus, harga sedang, tamunya juga ramai. Pemiliknya bencong, but he’s cool & gak genit. Di situ ada hairstylish lelaki berinisial B, dan dari teman saya yang sudah sering ke situ & beberapa suara-suara sumbang lainnya (hehehe…), si B itu sudah dikenal sebagai “pencari langganan”, en dia juga fleksibel loh, alias cewek oke, cowok juga oke.

Sebuah salon “training” di Sun Plaza juga begitu. Saat saya dan seorang teman sedang cuci blow, cowok yang megang teman saya digodain. “Eh, cemana tante itu tadi malam? Ngeri yaa…” yang disambut senyum-senyum mesem si cowok. “Baru dibelikan handphone ya?” kejar temannya lagi, dan lagi-lagi cuma disambut senyum mesem.

Pernah juga, saya dibuat terkaget-kaget ketika iseng masuk ke salon biasa-biasa di daerah Helvetia. Waktu itu saya bareng temen saya yang rumahnya dekat situ, mau tanya-tanya soal toning. Karena budjet terbatas, kita memang mo cari salon yang gak kasih tarif mahal. Dari luar salonnya gelap, pintu dipasangi riben dan poster-poster besar model rambut. Begitu saya dorong pintunya dan masuk, suasana sepi. Saya melangkah dan melongok ke arah belakang (salon ini bentuknya kayak ruko), dan apa yang saya temukan? Dua cewek hanya memakai underwear, sedang duduk ngobrol di lantai sambil merokok. Makjang! Gak jelas ini. Karena dua cewek itu sudah melihat kami berdua, terpaksalah kami berbasa-basi, sebelum akhirnya segera angkat kaki dari situ!

Lanjut ke daerah Harapan. Di situ ada salon kecantikan baru, bukanya barengan dengan kawasan bisnis di situ. Ini salon tempat saya facial. Facialnya enak, terus obat mukanya juga cocok buat saya. Ini memang bukan salon khusus wanita, karena pria juga bisa facial dan luluran (!) di sini, cuma lekong tempatnya di lantai 3 sementara wanita di lantai 2.

Lagi-lagi saya masih berpikiran lurus, sampai suatu saat waktu lagi facial, terdengar bisik-bisik dari dalam ruang luluran di sebelah. Walah!! Ternyata ada lelaki luluran di situ! Cemananya…! Katanya di lt.3…! Dan suara bisik-bisik itu seperti suara mendayu-dayu, suara wanita dalam nada merayu, berusaha menyenangkan si pria. Lalu mungkin sadar bahwa ada orang lain di situ, kakak-2 yang lagi megang saya masuk kedalam ruangan dan menegur mereka. Saya sempat protes, kenapa ruangannya jadi gabung, terus saya minta agar kain gordyn saya dirapatkan, jangan sampai ada celah untuk melihat.

……tak lama, begitu terbangun,saya dengar celotehan senang dua petugas cewek, karena baru dapat tip lima puluh ribu. Masing-masing.

Itu masih segelintir. Belum lagi salon-salon di daerah Medan Baru. Kalau di Medan Baru, salonnya kebanyakan salon murah, dengan tenaga tukang creambath yang luar biasa kuatnya, sampe punggung pun kadang rasanya mau patah! Biasanya saya suka menandai kakak-kakak mana aja yang ‘kejam’ kalau mijet punggung, dan menolak kalau dapatna sama dia, hehee… 

Eh kalo salon-salon di Medan Baru ini rada beda. Kalau di atas tadi pegawainya yang cari pelanggan, disini justru tamu-tamunya lah para “pencari pelanggan”. Jadi sore-sore mereka pada nyalon dulu sebelum beredar. **tapi gak semua loh…..

Sampai di situ saya mikir, ternyata mau salon murah atau salon mahal, kita gak bisa membedakan mana yang mencari pelanggan, dan mana yang dicari pelanggan. Selain itu tidak semua pemilik salon tahu tabiat pegawainya. Jadi selama masih merasa nyaman di situ, ya kita nikmati saja. Gimanapun juga kita butuh sama yang namanya salon 🙂

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

49 thoughts on “Salon : “Nyari Pelanggan” atau Dicari Pelanggan?

  1. wuihhh.. ngeri juga tuhhh kalo kita yang hobi nyalon salon nya berubah jadi “S A L O N” wahhh.. wahhh.. tapi gak bisa di hindari juga yang kayak gituu makin banyak apagi di kota kota besar.

    FIY aja aku baru 1tahun pindah ke bali (nusa dua now) ikut suami yang pindah tugas, berhubung suka nyalon juga, masih susah nihhh nemu yang cocok….

    kalo seperti yang di atas wahhh banyak bangett disini, mesti pinter2 milihhh, alhasil cari aman aja aku sama suami masuk ke yang udah punya nama dan brand… yang kalo di lihat dari layanan,muahalll nya minta ampunnn (bule price) tapi kagak euuunakk!!!

    jadi yahh gini dehhh kalo mo potong nunggu mudik balik jakarta ato bandung yang udah punya langganan tetep…

    info: sekalian kalo punya rekomen salon bagus di Bali mau donkkk… tapi sekitar nusa dua aja.. jangan ampe dps jauuuhhh bu…

    thanks,
    melli

  2. nrl

    ih tau tau tau…
    saya tau salon yang airlangga itu..
    langganan juga.
    yang mana sih yang B itu?
    emang sih yang punya itu, gak genit.
    gak jijik ngeliatnya..

  3. walah,, selama ni ibu saya selalu ngasih tips buat menghindari salon2 ngga jelas: “jangan masuk salon yang kelihatan tertutup dan eksklusif. dalamnya suka ngga bener..”

    lha ini,, salon “training” yang setau saya ngga tertutup2 amat pun ikut2an mencari pelanggan,, huhuhuuu

  4. Walaaaah… seru jg yah ceritanya en ditambahi dengan bahasa yg seru jg lagee hihihi. Kalo aku nyalon biasanya sih tinggal milih satu di jajaran salon di padang bulan. Habis creambath, rambot pada rontok krn pijitannya yg kejam hehe…. Trus, pernah satu kali nyobain rambut dicatok, hasilnya itu alat catok nyentuh kulit kepala. Terbakar deh kulit kepalaku hahahaha…. Kapok? Ga jg… ntar balik ke medan, masih mo nyobain lg hehehe
    ————-
    zee : wueee ngeri x masa hbs creambath trs rontok 😀

  5. Akh si mbak ini.. bisa aja ngeriviu yang begini2an.. Anyway ini semua di medan yaaa..? huhuhuhu.. gak ngerti sama sekalitempat yang disebut2.. hehe..

  6. saya suka nyalon juga mbak..tapi berhubung salon yang saya jadikan langganan juga tempatnya di mall, saya ga pernah survey salon2 gitu..tapi emang kan salon2 yang nyari langganan banyak deh kayaknya..

Leave a Reply to Melli S. Wilson Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *