Workshop itu sederhana saja. Lantai dari semen yang tidak rata, dinding yang terdiri dari separoh semen dan anyaman bambu, serta atap dari jerami. Pagar besi coklat berdiri kokoh di antara ketidak-konsistenan konsep workshop tersebut.
Di sudut sana, sekelompok wanita duduk di bangku pendek. Kain-kain bergantungan, membentang di depan mata. Bau asap bakaran yang khas tercium. Siapa mereka? Mereka adalah para pembatik. Dan tempat itu, workshop dengan bau malam yang khas, adalah workshopnya Pak Sapuan, seorang maestro batik dari Pekalongan.
Siapa yang menyangka, di balik workshop yang sederhana itu, telah lahir sekian banyak karya luar biasa dari beliau. Saya mengenal nama beliau setahun yang lalu, ketika nama Pak Sapuan mulai dikenal oleh kalangan penggemar: pengoleksi batik, hingga kementerian. Saat itu karya-karya beliau tampil di acara pameran batik, bertepatan dengan perayaan hari Batik tahun lalu, dan meskipun sudah banyak yang berkata bahwa karyanya luar biasa, saat itu saya belum berkesempatan melihat langsung karyanya. Ketika tahun lalu kami dikejar untuk project membuat video tentang Pak Sapuan pun, saya tak bisa ikut ke Pekalongan karena terhalang satu dan lain hal.
Namun kali ini, saya mendapatkan kesempatan langsung untuk bertemu, melihat, dan bertanya langsung pada Pak Sapuan. Yes, saya dan team kembali diminta membuat video tentang beliau untuk konsumsi sebuah event art festival di Eropa nanti, di mana ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan seorang maestro batik baru dari Indonesia. Dan saya berangkat ke Pekalongan, pas sehari setelah kembali dari Gili Air.
Seperti apa sih Batik Sapuan itu? Batiknya hanyalah kain. Tapi, bukan kain batik biasa. Selalu ada sebuah cerita, filosofi di balik setiap kain batiknya. Seperti karyanya yang diberi judul Petruk Kantong Tertutup, di situ Pak Sapuan menggambarkan situasi negeri saat ini, di mana para pemimpin di atas sangat nyaman dengan kondisinya (ilmu, kekuasaan, harta) sehingga lupa bahwa semua itu seharusnya diturunkan pada rakyat. Beliau menggambarkan Petruk berjalan dengan tas yang digembok.
Menurut Pak Sapuan, Batik itu adalah Facebook-nya orang Jawa. Jadi, jauh sebelum Facebook muncul, orang Jawa sudah lebih dulu melakukan itu, mencurahkan perasaan — dengan membatik.
Jadi kalau pelukis menggambar di atas kanvas, maka rancangan di kepala Pak Sapuan dituangkannya ke dalam batik. Sebuah karya yang kemudian tergambar secara sempurna di batik ciptaannya. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai fine art, namun kalau ditanya langsung ke Pak Sapuan, beliau hanya tertawa, lalu menjawab, Saya ini, gak pernah menyebutkan saya ini cirinya apa, jenisnya apa, biarlah orang lain saja yang menilai.
Kalau sudah bercerita tentang filosofi dari karya-karya miliknya, kami semua dibuat terbang ke sana ke mari karena Pak Sapuan ini hobi sekali bercerita. Beliau juga tidak pernah bosan menjawab setiap pertanyaan, meski kami beberapa kali mengulang pertanyaan karena belum jelas. “Wah, keren sekali sih, Pak, semua selalu dipikirkan filosofinya.”
“Ya iya toh, guruuu…” Yes. Sehari-harinya Pak Sapuan bekerja sebagai guru di SMP Paninggaran, Pekalongan. Setiap pagi beliau naik sepeda motor untuk tiba di sekolah yang terletak di daerah pegunungan.
Lalu, bagaimana cara menikmati batik seperti batiknya Pak Sapuan? Ya, samalah seperti kita menikmati lukisan. Kalau lukisan dipajang di dinding, batik Pak Sapuan pun bisa saja dipigura di dinding bila mau. Tapi lain orang lain pula cara menikmatinya kan. Salah satu kolektor Batik Sapuan, menyimpan semua batiknya dengan rapi di dalam lemari, lalu setiap dua minggu sekali dikeluarkan dan dibentang, dinikmati sambil diangin-anginkan serta dikamper. Kampernya juga tradisional, pakai biji-bijian cengkeh dan kayu manis.
Berapa harga selembar Batik Sapuan? Paling murah harganya Rp 30juta. Dan itu tak jadi masalah oleh ibu-ibu yang memang menggilai karya Batik Sapuan. Ada satu Batik Sapuan, dengan judul Batik Dewa Ruci, harganya US $10,000 dan sudah sold ke seorang kolektor. Saya mengerjapkan mata, sambil mengelus lembut selembar batik halus di tangan. Batik itu cantik sekali, full dengan warna indigo, sudah separoh jadi, dan harganya sudah mencapai Rp 100juta, kata Pak Sapuan. Ah tak apalah, meski tak bisa memiliki, tapi sudah memegangnya langsung.
Di workshop Batik Sapuan ini kami jadi tahu bagaimana sebenarnya proses pengerjaan semua karya itu. Kurang lebih seperti ini urutannya:
– Juru Gambar, yang akan menuangkan semua konsep dari Pak Sapuan ke dalam gambar
– Juru Japlak, yang akan memindahkan gambar dari kertas ke kain
– Ngelowongi, tahap di mana membuat motif pada tepi kain, kemudian juga isen-isen, memberi isian pada batik, seperti garis, lingkaran-lingkaran kecil, titik, atau bentuk lainnya
– Pelilinan, melukis dengan canting. Pelilinan ini gunanya untuk menutupi bagian-bagian yang tidak ingin terkena warna saat dicelup
– Nembok, tugasnya menutupi kain yang sudah di-isen tadi dengan malam tembok
– Pewarnaan. Kain yang sudah ditembok tadi, saat sudah kering, kemudian dicelup di dalam air berbahan pewarna. Dan ketika diangkat, tadaaaa… temboknya tadi meluntur, warna kain berubah sesuai dengan yang diinginkan, namun bagian-bagian yang sudah dicanting tadi tidak akan berubah warna. Proses pewarnaan ini bisa tiga sampai empat kali, tergantung pada hasil maksimal yang diinginkan. Pak Sapuan sendiri sering menggunakan warna natural (pewarna yang dibuat dari bahan-bahan alami yang melalui proses merebus dan mengambil intinya) dan hasilnya memang berbeda dengan warna-warna batik pada umumnya.
Kalau melihat batik Dewa Ruci – yes, saya sudah lihat dan pegang langsung – di tepian batik itu ada motif titik-titik kecil dengan tiga warna berbeda. Tak heran ya kenapa harganya pun mahal, pembuatannya saja membutuhkan keseriusan dan kesabaran.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu lembar batik? Dua hingga tiga tahun. Relatif lama, ya. Bahkan bila ada batik yang gagal, entah karena ada setitik yang salah atau meleset, Pak Sapuan memilih tidak melanjutkannya. “Disimpan sajalah,” katanya. “Saya gak mau kalau gak sempurna.”
Beliau tidak mengejar komoditi. Dalam setahun mungkin hanya tiga empat lembar yang jadi, dan seperti layaknya karya seni, kembali kepada selera kolektor, tertarik atau tidak, begitu kan? Meski demikian, Batik Sapuan ini sudah punya penggemar sendiri di kalangan ibu-ibu pejabat dan pengusaha di Jakarta sini.
Pak Sapuan punya prinsip, “Saya tidak mau membuat batik untuk mengejar uang. Biarkan uang yang nanti mengejar kita, ya toh? Jadi, buatlah sebagus mungkin, karena yang bagus itu pasti akan dicari.”
Once video itu sudah selesai dan bisa dipublish, saya akan share ya. Kita semua perlu tahu, apa cerita di balik salah satu maestro batik Indonesia.
makasih gan infonya dan salam sukses
Pingback: Berkunjung ke Kampung Batik Trusmi – Cirebon | TehSusu.Com - a special blend of an emotional mommy
Pak Guru yes… Neng Deso Tunjungsari
saya gk kaget kalau kain batik harganya cukup mahal..
tak hnya karena pembuatannya yg cukup rumit namun nilai artistiknya gk diragukan lagi..
i love batik.. ^_^
salah satu harta indonesia yg tak bisa tergantikan nih..hehe
Kalau saya melihatnya ini sebuah karya seni Mbak *lha emang namanya seni batik :D* Bagusnya buat dipajang ditembok, kalau dipakai baju jadi sayang soalnya bakal dipotong-potong.
Wah pantes ya mahal lha wong nggarapnya aja setahun. Apalagi yang Petruk kantong tertutup itu, gambarnya seperti lukisan yang bercerita. Seandainya dipotong jadi baju, ceritanya jadi gak seru lagi.
Keren Mbak, penasaran lihat videonya 😀
Buseeet…mahal juga ya kak harga kain batiknya 😀
Tapi kalo sesuai dengan yang didapat sih gak jadi soal ya 😀
Harga menentukan kualitas, hehehe… 😀
wah batik selalu ada di hati…..