Baru-baru ini saya membaca artikel yang mengatakan bahwa banyak kaum milenial yang tidak tertarik mengunjungi Candi Borobudur? Masa sih? Saya sampai berusaha mengingat-ingat saat kepergian ke Jogja kemarin, apa iya tidak ada yang muda-muda di sana? Kalau diingat-ingat sih ada, walaupun memang tidak banyak, ya.
Dua minggu lalu, saat saya traveling ke Jogja, Candi Borobudur adalah tujuan wisata yang saya kunjungi. Kunjungan kali ini adalah kunjungan ketiga saya ke sini. Yang pertama saat masih duduk di bangku SMA ke sini dengan orang tua, lalu kedua saat saya sudah tamat SMA dan jalan berdua dengan teman saya ke Solo dan Jogja (dan saya selalu ingat bagaimana kita asyik belanja-belanja sampai hampir kehabisan uang untuk ongkos bus balik ke Jakarta, hahaha…).
Sejarah Singkat Candi Borobudur
Sebelum mengunjungi candi yang megah ini, wajib tahu dulu sejarahnya. Karena memang candi yang megah ini menyimpan banyak sejarah dan cerita. Candi Borobudur adalah peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin oleh Dinasti Kerajaan Syailendra yang memeluk agama Buddha, dibangun pada abad ke-tujuh dan butuh waktu 100 tahun hingga pembangunan selesai. Candi ini dibangun sebagai tempat peribadatan umat Buddha, dengan rajanya saat itu adalah Raja Samaratungga. Candi yang berada di Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang ini dikelilingi oleh gunung-gunung berapi, yaitu Gunung Merapi di sebelah barat laut, Gunung Merbabu di sebelah timur, Gunung Sumbing di sebelah selatan, dan Gunung Sindoro di sebelah utara.
Candi Borobudur sendiri pernah tak terurus dan ditinggalkan oleh penerus Kerajaan Mataram, ditambah lagi karena letusan gunung berapi yang hebat, candi ini terkubur dan terlupakan.
Adalah seorang Gubernur Jawa bernama Sir Thomas Stamford Raffles yang menemukan sebuah gundukan besar di dekat Desa Bumisegoro. Itulah candi peribadatan yang kemudian berhasil “ditemukan kembali”, dibersihkan, dan mulai dikenal dengan nama Candi Borobudur. Sir Thomas Stamford Raffles menamakannya sesuai dengan penemuannya: “Boro” artinya kuil atau candi, lalu “Budur” artinya bukit. Boro-budur, candi di atas bukit. Nama ini diperkenalkan pertama kali dalam bukunya “Sejarah Pulau Jawa”. (sumber: Wikipedia)
Candi Borobudur telah mengalami dua kali pemugaran. Pertama kali di tahun 1907-1911 oleh Theodorus Van Erp pada era kolonial Belanda, lalu yang kedua di tahun 1973 – 1983 oleh Presiden Soeharto dibantu Unesco. Setelah renovasi sudah benar-benar selesai, Candi Borobudur masuk ke dalam daftar situs warisan dunia di tahun 1991.
(Bangga betul rasanya jadi orang Indonesia)
Candi Borobudur terdiri dari 1 stupa induk, 72 stupa terawang, dan 504 patung arca, dengan tinggi candi 42 meter sebelum pemugaran. Ada 1460 relief yang terukir pada batu candi yang menceritakan tentang kehidupan. Candi Borobudur sendiri dibangun menggunakan batu-batu vulkanik berjumlah lebih dari dua juta batu. Uniknya Candi Borobudur, meski dibangun tanpa semen, tetap berdiri kokoh meski sempat terkubur abu vulkanik.
Kenapa Harus Main ke Candi Borobudur
Ya sudah pastilah karena kemegahannya yang tiada dua. Coba deh, pas datang ke sana, masuk dan sentuh arca candi perlahan, rasanya seperti ikut masuk ke sejarah pembangunan Borobudur. Belum lagi keindahan panorama gunung-gunung berapi di sekeliling Candi Borobudur yang menjadi daya tarik utama wisatawan.
Daya tarik lainnya adalah menikmati sunrise di Borobudur. Jadi kita akan duduk dekat satu patung Buddha setengah badan saat sunrise keluar di kejauhan dengan panorama gunung berapi. Inilah yang dikejar oleh wisatawan mancanegara, dan juga saya kemarin sebagai turis lokal.
Untuk dapat menikmati Sunrise di Borobudur, yang pertama pastikan kita memilih hotel paling dekat dengan candi. Karena kan harus bangun sedini mungkin. Beuh kemarin kita tiba di guest house jam 11 malam, lalu beres-beres, charge batre, lap ini itu, jam setengah empat pagi sudah bangun, bersiap ke lokasi. (Book… perjuangan ya. LOL)
Paket Borobudur Sunrise bisa dibeli tiketnya di Manohara Hotel Borobudur, dengan HTM Rp350.000 sudah termasuk breakfast dan souvenir. Kami tiba di Manohara jam 4.15 lalu parkir mobil di tempat yang rindang (biar kalau udah terang nanti gak panas). Teman yang memegang tiket langsung mengajak ke pintu masuk ke arah candi. Ini adalah pintu masuk khusus Borobudur Sunrise yang memang hanya bisa diakses via Manohara Hotel.
Pintu gerbang sendiri baru dibuka oleh petugas jam 4.30 pas, dan saat kami menunjukkan e-ticket ke petugas, “O-ow” ternyata e-ticket kami tetap harus ditukar jadi printed ticket di loket. Duh tahu gitu tadi nuker dulu kan, gak cuma duduk-duduk nunggu gerbang dibuka. Hehe..
Sambil menunggu teman menukarkan tiket — yang terasa sangat lama — satu persatu wisatawan asing melewati kami yang menunggu ini, untuk memasuki gerbang. Beberapa dari mereka sudah sangat prepare dengan mengenakan gaun berwarna merah, karena salah satu pose foto wajib dan hits di Candi Borobudur ketika sunrise adalah berfoto ala-ala selebgram dan traveler dengan baju merah (or baju lainnya yang berwarna cerah).
(Nanti lihat ya foto saya dengan pose seperti itu, ya biar kekinian… :))
Tak lama sang teman muncul tergopoh-gopoh, membawa senter buat kami pegang masing-masing. Senter akan dipakai untuk menerangi jalan menuju dan ke atas candi. Ah, ternyata jarak dari gerbang ke areal candi dekat saja, hanya beberapa puluh meter berjalan kaki sudah ketemu tangga pertama. Eips jangan bernapas lega dulu, memang jalan hanya sebentar, tapi begitu mulai menjejak tangga-tangga batu menaiki candi, barulah saya sadar betapa berat beban hidup ini. Melihat teman di depan sana melangkah lebih selo, saya cuma menahan diri saja untuk tidak mengeluh. Ya kan, udah badan lebih kecil, tapi bawaan segembol, berat-berat semua, tanggung resiko sendiri hahaha…
Di atas, kami langsung pasang tripod untuk merekam momen sunrise. Tentunya nanti kita akan bergantian dengan turis-turis yang juga mau berfoto dengan latar sunrise. Sebuah suara mengagetkan saya dan membuat saya reflek memegang tripod (karena takut kesenggol). “It’s okay, come, come, you can sit here.” Seorang pemandu wisata hendak melangkahi kaki arca tempat saya menaruh tas kamera diikuti oleh beberapa wisatawan. Saya menoleh dan berdehem sedikit keras, dan si pemandu langsung merasa tidak enak.
Lihat turis-turis duduk di archa, rasanya pengen marah. Sudah jelas ada larangan menaiki dan menduduki, tapi kenapa si pemandu menyuruh wisatawan duduk di situ? Lagipula seperti tidak ada kesadaran kalau Candi Borobudur ini seyogyanya adalah tempat ibadah. Di lokasi itu memang orang ramai menunggu matahari terbit, sehingga pinggiran candi yang biasa dipakai untuk menonton pun penuh. Tapi ya bukan berarti stupa lalu diduduki ya. Saya juga berdiri terus karena nanti akan pindah-pindah tempat juga. Masa iya pemandu yang tugasnya menerangkan tentang sejarah Candi Borobudur malah menawarkan mereka untuk duduk di stupa. Ternyata kita sebagai pemilik candi pun tidak bisa konsisten menjalankan aturan.
(Pengen kulempar pakai batu candi, apa daya ku tak sanggup mengangkat batunya)
Ketika matahari mulai keluar pelan-pelan, duhhhh indah betul. Cahaya kekuningan yang mulai silau menembus awan, ditemani kabut di seputaran gunung berapi di seberang sana. Bayangkan, coba bayangkan, ratusan tahun yang lalu saat areal sekitarnya hanya berupa hutan perawan yang menyembunyikan kemegahan kuil ini, dan para pendeta Buddha sedang beribadah, lalu matahari keemasan muncul di balik gunung.
Kemarin juga banyak wisatawan yang datang untuk sembahyang, duduk bersila sambil memegang tasbih dan berdoa, tentunya karena Candi Borobudur dasarnya adalah tempat peribadatan umat Buddha. Ada pula wisatawan yang datang membawa ‘kostum’ biksu untuk berfoto seolah bersila di stupa.
Ketika matahari semakin terang, pengunjung mulai ramai. Anak-anak sekolah yang field trip terlihat mulai memasuki areal candi.
Saya masih berkeliling, ingin menikmati sudut-sudut candi, karena memang sudah lama sekali tidak ke sini. Jadi kenangan dan kekaguman itu tetap ada. Baru ketika semakin terik dan perut mulai keroncongan, barulah kami turun. Sarapan dulu di hotel sebagai compliment pembelian tiket Borobudur Sunrise.
Jadi, kalau kaum milenial belum tertarik mengunjungi Borobudur, sayang sekali lho. Di sana selain belajar sejarah, kalian bisa foto-foto ala selebgram dengan berbagai pose. Tapi tentu saja lebih afdol kalau datangnya saat sunrise.
Ayo visit Candi Borobudur.
-ZD-
Pingback: Cerita Liburan ke Jogja: Gak Kebagian Tiket Naik ke Candi Borobudur | Life and Travel Journal
Pingback: Cara Agar Remaja Berhenti Main HP Saat Mengemudi | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: 6 Tempat Wisata Ini Cocok Jadi Pilihan untuk Refreshing Setelah Pandemi COVID-19 | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Sumpah keren banget potonya. Waktu lalu sebelum pandemi ke borobudur pas musim liburan. Hampir gak nemu space buat selow foto tanpa bocor orang di belakang. heuheu
Makasih yaa…
Memang luar biasa Borobudur itu. Kita datang pas sebelum sunrise aja rame banget itu turis2 sudah pada duduk di stupa…
Pingback: Eksotisnya Candi Plaosan | Mom Travel & Photography Blog - Zizy Damanik
wah, keren banget sunrise di borobudur ya mbak. Aku baru sekali ke borobudur, ntar mau ke sana lagi kalau katniss udah gede, biar dia tahu tempat wow di Indonesia 😀
Si Thomas itu milih nama Boro dan Budur dari bahasa apa ya Mba? Belanda atau Sansekerta?
Kalau dari Wiki yang saya baca, Raffles mengambil nama dari desa terdekat candi, Desa Bore, dan Budur yang menurutnya adalah bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘purba’. Candi Purba.
Tapi memang beberapa sumber tidak bisa memastikan asal usul namanya Mas. Sebab masa ditemukan kemnbali, penduduk setempat sudah tidak menganut Buddha lagi.