Cerita Liburan ke Jogja: Gak Kebagian Tiket Naik ke Candi Borobudur

“Dek, kita mau liburan ke mana?” tanya saya ke Vay. Saat itu di akhir bulan Desember, dan saya sedang buka-buka Traveloka mengecek tiket dll. Saya mau ajak Vay liburan, karena sudah janji ke dia pas tengah tahun kemarin. Ya kan family traveling tetap perlu ya, kemana saja gak masalah.

Anak saya itu lagi jalan keliling ruangan sambil mendengarkan musik di headset. Anak saya ini ternyata bikin jadwal sendiri, jalan kaki harus berapa banyak, dan dia jalannya di dalam rumah, muterin ruang tengah. Bikin saya pusing aja, soalnya harus menunggu dia melihat saya baru bisa kasih kode kalau saya itu manggil dia.

“Dek!”

“Ha?”

“Kita ke Jogja ya. Lusa berangkat. Oke?”

“Oh. Yaa… okelah…”

Sebenarnya anak saya tidak terlalu penasaran pengen ke Jogja, karena menurutnya liburan Jogja terlalu basic, katanya semua orang mainnya ke Jogja. Sampai capek saya berargumen sama dia, bahwa semua tempat liburan pada dasarnya adalah basic kalau buat orang yang sudah sering ke situ. Tapi Vay sendiri kan belum pernah, masa udah bilang basic.

Nah, anak saya mengusulkan ke Malang saja. Saya coba cek harga tiket pesawat, waduh mahal sekali jatuhnya belum termasuk biaya hotel dll. Kalau naik KA, bisa murah tapi perjalanan terlalu lama.

Saya sempat galau antara ke Bandung atau ke Jogja. Saat cek-cek kondisi di media sosial, kok Bandung kayak cendol gitu ya. Jalan utama penuh, apalagi ke tempat wisata. Saya pun mengirim pesan ke Simon Naibaho, dia ini teman saya saat di SMP. Baho sudah tinggal di Jogja sejak tamat SMA, dan sekarang menjalani usaha travel wisata. Tentu saja rasanya lebih aman dong kalau kita jalan-jalan diantar oleh orang yang sudah kita kenal. Ini juga saya bilang ke Vay, kalau maminya ada teman di Jogja yang bisa antarin, sekalian kita bantu-bantu melariskan usahanya. Walaupun kalau ke Malang juga ada Aka, sahabat kuliah saya.

Saya tanya, apakah Jogja ramai sekali, dan apakah kalau saya datang ke sana dengan anak saya, dia available? Kata Baho, ramai, tapi aman kok. Kalau kami jadi datang, dia akan pindahkan tamunya ke yang lain, jadi dia bisa mengantar kami keliling Jogja sepuasnya. Ya sudah, akhirnya saya putuskan: MAMI DAN VAYA MAIN KE JOGJA!

Baho mengirimkan itinerary, saya oke. Karena buat saya itinerary gak terlalu masalah, yang penting secara keseluruhan perjalanan kami aman dan semua senang, itu sudah cukup.

Persiapan Sebelum berangkat ke Jogja

Setelah boru kesayangan setuju, saya langsung pesan tiket kereta api. Dapat KA tambahan Gajayana, berangkat jam 22.40 malam tanggal 30 Des.

Kemudian lanjut pesan hotel. Karena lagi peak, hotel-hotel dekat Malioboro full dan kalau ada, maka harganya juga melonjak. Saya akhirnya pilih Yellow Star Gejayan Hotel. Ini masih aman kata teman saya, tidak jauh dari kota.

Kemudian packing. Seperti biasa, urusan packing jalan-jalan, mamaknya yang pusing, sementara anaknya santai aja. Vay sudah saya minta menyiapkan pakaian-pakaiannya, dibungkus sepasang-sepasang sesuai akan berapa hari kami di Jogja, lalu kaos cadangan juga dibawa mengingat Jogja yang panasnya luar biasa. Kemudian juga bawa sandal, karena ada kegiatan outdoor yang basah-basahan. Lalu setelah itu saya cek ulang semua isi kopernya.

Isi tas bawaan kami juga sudah saya buat lisnya agar tidak saling lupa. Tentu saja yang tidak boleh lupa dibawa kalau kita pergi naik KA adalah: kaos kaki, jaket dan selimut travel. Saya juga bawa botol plastik americano 1L Starbucks, untuk Vaya satu dan untuk saya satu. Diisi dengan air mineral supaya kami tak repot membeli minum lagi selama di kereta. Nanti setelah habis, botol itu bisa dibuang. Kalau bawa tumbler atau botol minum, nanti repot urusan cuci-cuci saat traveling.

OK! Saatnya berangkat!

Sabtu sore Neko, kucing ganteng kami, dijemput untuk menginap di Pet Shop langganan. Lalu lampu-lampu taman dinyalakan. Stop kontak dicabut semua. Mobil masuk ke garasi. Dapur sudah bersih, langsung kunci. Tanaman-tanaman sudah disiram sorenya, dan didoakan agar bertahan selama beberapa hari, dan semoga hujan.

Kami berangkat dari rumah menuju St. Gambir setelah maghrib. Kesannya memang kecepatan, tapi jauh lebih baik menurut saya daripada nanti kita terburu-buru, mengingat ini musim liburan, malam minggu pula, pasti ramai.

Dan benar saja. Mendekati stasiun, jalanan padat. Pak Bluebird dengan sopan menanyakan apakah saya bersedia kalau turun di pos pejalan kaki, karena kepadatan itu mengular dari pintu masuk ke stasiun. Saya setuju, ya kan biar menghemat ongkos taxi juga. Bisa-bisa 30 menit hanya untuk masuk ke dalam Gambir.

Setelah ngeprint boarding pass, kami melipir dulu untuk makan malam. Vay pengen Wingstop, ya udah ke situlah kita. Saya dan Vay adalah pemakan cepat, jadi tidak sampai setengah jam makanan sudah habis. Karena tidak enak duduk lama-lama, tempatnya juga sempit dan banyak pembeli lain yang pasti mau duduk, kami bergerak ke arah ruang duduk stasiun.

Kami duduk di situ kurang lebih satu jam, itu juga karena menunggu Vay yang mau ke toilet. Vay ngomel-ngomel terus karena antrian toilet gak jalan-jalan, dan memaksa supaya kita masuk saja ke ruang tunggu penumpang. Mungkin di dalam ada toilet yang lebih sepi.

Benar saja, ternyata setelah masuk, toilet di dalam bukan hanya lebih sepi, tapi juga lebih bersih. Haha. Ngapain pulak tadi kami lama-lama di luar. Itulah, saya jarang naik KA jadi belum hapal banget.

Jam sepuluh lima belas, kami naik ke lantai 3 dan bersiap menunggu KA Gajayana datang. Sekali lagi karena jarang naik KA, saya ternyata pesan gerbong yang jauh, ada di ujung. Executive 9. Tadinya ketika pilih seat di Traveloka, saya sudah browsing dulu, gerbong mana ada di mana. Saya gak mau terlalu dekat ke depan, dan gak mau terlalu dekat restorasi. Eh ternyata Exc 9 ini paling ujung hahahah…. Capek jalan.

naik ka ke jogja \

31 Desember 2023: Tiba di Jogja

Tiba di Jogja jam enam pagi kurang. Saya cek handphone, Baho bilang dia sudah parkir mobil pas di pintu keluar. Bah. Belum lagi kami ke toilet. Dan ternyata toiletnya ada di sisi seberang, ya ampun repot amat ya. Ya sudah saya pikir kami cari di jalan saja deh.

Baho tidak berubah. Tetap dengan wajah yang penuh senyum, kulitnya juga tetap legam seperti dulu. Dia juga bilang saya tidak berubah. Wah berarti kami sama-sama awet muda, karena meski sudah berumur sebenarnya muka kami tak jauh beda dengan saat SMP, sementara banyak juga teman yang terlihat berubah mukanya setelah dewasa. Baho memiliki dua orang putra, salah satunya sudah kuliah, dan satu lagi sebaya dengan Vaya. Ternyata dia sudah cinta mati sama Jogja, katanya di sinilah hidupnya sekarang.

Saya menyebutnya “batak palsu” karena melihat dia begitu lugas berkomunikasi dengan gaya orang Jogja. Semua yang kita lewati di dari keluar stasiun, sudah kenal dia karena dia sudah bertahun-tahun membawa tamu.

“Siapa nama anakmu, Zy? Siapa? Vanya? Oh, Vayyaa. O… Vaya, ini mama kamu ini… dulu jago banget lho main basket!” Baho berbicara ke arah Vay dari layar spion.

“Om pernah numpang dulu naik mobil mama, waktu mau main basket ke sekolah.” Ini adalah cerita lama, saya waktu SMP memang rutin main basket kalau sore. Jadi setiap sore, saya akan kembali ke sekolah menyetir mobil Kijang Kotak yang dikasih papi untuk saya dan abang saya pakai ke sekolah. Dan karena rumah Baho searah juga, dia pernah menumpang untuk sama-sama ke sekolah bermain basket. Padahal Baho tidak jago main basket, tapi mungkin dia ke sekolah untuk kegiatan lain.

Perjalanan pagi itu diisi dengan penuh tawa, mengingat cerita-cerita nostalgia jaman kami masih anak SMP, termasuk bertukar kabar juga dari kawan-kawan lain yang belum pernah sempat ketemu lagi.

Pagi itu kami mampir ke sebuah SPBU, untuk ke toilet, dan berganti pakaian. Ya karena yang ada cuma itu ya sudah gpplah, SPBU pun jadi. Meskipun sebenarnya kami di KA saja gak kemana-mana, tapi rasanya gak segar gitu kalau gak ganti baju.

Setelah berganti baju, kami langsung tancap gas untuk sarapan pagi dulu. Kami makan soto di sebuah warung soto yang saya tidak ingat namanya, haha lupa foto. Makan soto biar perut hangat dulu, baru melanjutkan tujuan. Ke Candi Borobudur!

sarapan pagi di jogja

Main ke Candi Borobudur dan Gak Kebagian Tiket untuk Naik ke Candi

Dengan mobil, kurang lebih satu jam kami akhirnya tiba di Candi Borobudur, Magelang. Saya berusaha mengingat-ingat (tapi tak berhasil juga sih) seperti apa dulu penampakan candi ini ketika saya datang siang hari, which is sudah lama sekali, ketika saya remaja, jadi saat itu belum ada pemugaran candi.

Terakhir saya ke Candi Borobudur itu beberapa tahun lalu, untuk mengambil foto saat sunrise di Borobudur. Masuknya dari Manohara Hotel. Kalau kali ini kami masuk dari pintu depan seperti biasa.

Saat di depan loket, saya baru tahu kalau sekarang untuk naik ke atas Candi Borobudur itu ada tiket khusus dan dibatasi. Jadi ternyata sehari itu hanya boleh maksimal 1000 orang yang naik ke atas, demi menjaga pondasi candi sendiri yang sudah mengalami penurunan. Saya coba buka situsnya siapa tahu online masih ada, ternyata gak ada juga.

Ya sudah gak apa-apa hanya di pelataran, yang penting Vaya akhirnya tahu seperti apa sih candi yang hebat ini. Untuk harga tiket pelataran Candi Borobudur: Rp 50.000 per orang, jadi kami berdua hanya bayar Rp 100.000.

Begitu kami masuk ke dalam, Vaya cukup senang kok. Dia kira tadi yang dimaksud pelataran itu hanya taman saja, tidak sampai ke candi. Padahal tetap bisa, yang tidak bisa adalah naik ke atas untuk melihat Patung Budha yang besar itu. Karena ini hari libur, akhir tahun, suasana di pelataran Candi Borobudur cukup ramai. Tapi menurut saya masih aman, tidak terlalu tumpah ruah seperti bayangan saya. Masih lebih cendol pantai di Ancol.

Akhirnya kami bisa juga foto berdua, karena ada seoarang perempuan muda yang mau membantu. Sebenarnya dia minta saya memotret dia dan pacar bulenya terlebih dahulu, lalu kemudian dia menawarkan untuk memotret saya dan anak saya. Ah makasih ya.

liburan ke candi borobudur

Sambil menikmati udara Magelang yang adem panas (karena tiba-tiba hujan tapi terus panas lagi), saya menceritakan pada anak saya, memang ada baiknya dibuat pembatasan untuk dapat naik ke candi. Sebab Candi Borobudur ini bukan hanya situs bersejarah, tapi juga merupakan tempat ibadah umat Budha. Bayangkan saja, dulu saja waktu saya pergi untuk foto sunrise, sudah ada bule-bule yang panjat-panjat stupa, gak sopan banget!

Vay tanya, berapa harga tiket naik ke atas candi untuk wisatawan asing? Saya bilang kalau gak salah sekitar 350-400 ribuan. Vay kaget, “Haaa… kok murah banget? Itu sih cuma 25 dolar-an. Buat mereka itu murah. Harusnya dikasih harga 75-100 dollar!” Nah!

Vay bisa bilang begitu karena dia belakangan ini sudah banyak melakukan transaksi dengan buyers dari luar, yang membeli desain avatar buatan Vay dengan transaksi dollar. Dengan paket yang dijual Vay seharga 50 dollar per set, dia bisa menilai bahwa kita di Indonesia tidak seharusnya kasih harga murah untuk para bule kalau mau masuk ke situs bersejarah seperti Candi Borobudur.

candi borobudur

candi borobudur jogja

Kawasan Candi Borobudur ini luasnya sekitar 2500 meter persegi. Dengan banyaknya tanaman rindang, tak heran banyak juga kami temui orang yang sedang lari, olahraga. Untuk memudahkan pengunjung yang tidak ingin capek berjalan mengelilingi candi, atau yang sudah selesai ingin ke pintu keluar, di sini juga tersedia transportasi seperti Tayo Car dan Golf Car. Untuk Tayo, tarifnya 25ribu per orang, mobilnya bisa muat sampai 10 orang. Cocok kalau ramean, bisa 1 mobil untuk grup kita sendiri. Untuk Golf Car, mesti pesan tiket minimal 3 orang, per tiket 75 ribu. Jadi karena Vay maunya naik Golf Car, kami bayar 225 ribu untuk bisa private naik 1 mobil itu berdua saja. Saya tanya ke drivernya, boleh tidak saya yang menyetir, katanya tidak boleh. Kejam.

Di dalam komplek candi (pelataran), tidak ada tempat makanan. Ini memang sengaja agar tidak kotor. Tapi sebatas stand minum masih ada satu di dekat pintu keluar candi (pintu keluar di sini maksudnya adalah gerbang keluar dari pelataran ya. Dari pelataran candi sampai ke pintu keluar di depan, ini  beda lagi. Sebelum keluar, Vay beli gelato dulu, 1 cup kecil harganya 35 ribu.

Lalu saat pulangnya, karena SUDAH MULAI PANAS DAN TERIK, dan sudah lelah, akhirnya kami naik Tayo, karena ternyata jauh juga kalau jalan kaki sampai pintu keluar.

Untuk keluar, kami memang diarahkan untuk melewati pasar umkm yang berjualan souvenir. Kami langsung disambut para sales, rata-rata bapak-bapak yang sudah tua juga. Mereka menghadang pengunjung agar membeli di mereka sebelum masuk ke dalam kawasan pasar. Saya berhenti pada seorang bapak yang menawarkan miniatur Candi Borobudur yang katanya dari batu asli. Saya suka gampang kasihan kalau melihat orang sudah tua harus banting tulang seperti itu. Bahkan bapak ini sigap betul jualannya, dia segera menyodorkan beberapa pilihan untuk Vay yang terlihat tertarik. Dalam hati saya mengingatkan diri agar tidak kelewatan menawar, teringat sama papi saya dulu yang bilang saya kalau beli makanan sama pedagang asongan, jangan ditawar kalau harganya sudah sangat murah. Misal harga kacang lima ribu jangan lagi ditawar.

Vay akhirnya ambil satu miniatur candi yang ukurannya besar, karena dia cari satu untuk dirinya dan beberapa souvenir lain untuk oleh-oleh.

Sekitar jam setengah sebelas, selesai sudah acara kami di Borobudur. Saatnya pindah ke destinasi wisata selanjutnya: MERAPI LAVA TOUR!

Untuk cerita di Merapi Lava Tour, saya tuliskan terpisah supaya loading postingan ini tidak terlalu berat buat para pembaca.

Sharing is Caring
  • 1
    Share

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

6 thoughts on “Cerita Liburan ke Jogja: Gak Kebagian Tiket Naik ke Candi Borobudur

  1. Pingback: Cerita Liburan ke Jogja: Berpanas Ria di Candi Prambanan dan Kraton Ratu Boko | Life and Travel Journal

  2. Pingback: Cerita Liburan ke Jogja: Sunset Pertama 2024 di Obelix Sea View | Life and Travel Journal

  3. Pingback: Cerita Liburan ke Jogja: Eksplorasi Goa Pindul (Sekali Aja Cukup) | Life and Travel Journal

  4. Pingback: Cerita Liburan ke Jogja: Merapi Lava Tour | Life and Travel Journal

  5. Zam

    woh, dah lama sekali saya ngga berkunjung ke Borobudur. baca tulisan ini langsung kebayang panas teriknya.. ?

    untuk tiket, ini sebenarnya “ngga adil” sih. dulu pas saya ke Ankor Wat, juga ada pembeda harga tiket begini. jadinya ikut tarif bule karena “orang asing”. nyesek. ?

    untuk pembatasa tiket naik ke candi, setuju juga. kalo perlu malah dibikin mahal sekalian, biar makin membatasi. tapi setidaknya bisa diberi alternatif lain, misal replika atau minimal penjelasan dalam bentuk lain (walau sensasi naik candi berbeda dengan liat replika).

    • Zizy

      Tetap dihitung orang asing ya. Berarti sebaiknya ada pembedaan htm berdasarkan asal negara juga mungkin. Tapi untuk replika atau penjelasan2 itu good idea sih, biar yang tidak bisa naik ke atas bisa membaca di bawah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *