Cerita Liburan ke Jogja: Berpanas Ria di Candi Prambanan dan Kraton Ratu Boko

Ini adalah lanjutan cerita liburan saya dan Vay ke Jogja di akhir tahun lalu.

Pagi itu saya sedikit lebih santai dibandingkan hari sebelumnya, karena saya tidak sedang mengejar apa-apa. Tujuan yang mau saya kejar hanya Prambanan, meskipun di itinerary Baho ada dua tempat lain yang disarankan tapi saya tidak terlalu tertarik.

Koper-koper sudah selesai packing. Kali ini pengaturan isinya berubah, satu koper khusus pakaian kotor bersama sandal-sandal, dan satu lagi untuk pakaian bersih. Saya juga menyiapkan handuk kecil dan blus serta kaos untuk ganti saya dan Vay, berjaga-jaga apabila gerah. Sudah pengalaman soalnya, kalau ke Jogja jalan siang hari itu pasti mandi keringat. Lebih baik bawa kaos ganti.

Setelah check out dari hotel, kami langsung menuju ke Candi Prambanan yang sebenarnya masuk di itinerary hari pertama, tapi karena kemarin itu Nona Vay tidur mati, kita gagal dan putar balik.

family traveling ke candi prambanan

Candi Prambanan dikenal sebagai kisah Rara Jonggrang

Kompleks percandian Prambanan secara keseluruhan terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi pintu administrasinya terletak di Jawa Tengah. Bisa dikatakan jadi milik bersama ya. Pertama kali dibangun pada tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Sri Maharaja Dyah Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: ‘Rumah Siwa’) atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: ‘Ranah Siwa’ atau ‘Alam Siwa’).

Tentu sudah pernah dengar legenda Rada Jonggrang ya. Menurut beberapa cerita, kisah legenda ini dibuat sebagai bentuk imajinasi masyarakat pada saat itu karena ketidak tahuan akan asal usul candi ini.

Saya memang suka wisata sejarah seperti ini, mungkin karena saya suka membaca. Jadi kalau baca buku atau novel, bisa langsung berimajinasi tentang tempat yang ada di dalam buku tersebut. Saat sampai di tempatnya, tentu beda rasanya. Saya juga ingin Vay seperti itu, bisa mengenal sesuatu langsung tidak hanya dari membaca saja, meskipun kita semua tentu sepakat bahwa membaca buku saja sudah bisa mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, karena buku adalah jendela dunia.

Kami tiba pukul setengah sepuluh pagi, dengan cuaca panas tapi ada sedikit rintik hujan. Saya dan Vay langsung ke loket karcis. Ada tiket khusus masuk Candi Prambanan, tapi ada juga tiket terusan Ratu Boko. Saya pikir toh kita sudah di sini juga kenapa tidak sekalian saja ke Ratu Boko karena saya juga baru dengar tentang situs Ratu Boko ini.

Setelah mendapatkan tiket terusan, kami diminta menunggu di bawah tenda di sisi kiri gedung. Saya baru tahu kalau ternyata lokasinya tidak di dalam komplek Prambanan, jadi kami akan diantar dengan menggunakan mobil shuttle.

Kraton Ratu Boko

Situs Ratu Boko

Saya kutip dari Borobudurpark, situs Ratu Boko bukanlah sebuah candi namun merupakan reruntuhkan sebuah kerajaan.  Perkiraannya kraton Ratu Boko ini dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buddha, namun kemudian diambil alih oleh raja-raja Mataram Hindu. Peralihan ‘pemilik’ tersebut menyebabkan bangunan Kraton Boko dipengaruhi oleh Hinduisme dan Buddhisme.

Ternyata lama juga mobil shuttlenya datang. Saya lihat ada banyak juga wisatawan yang membeli tiket terusan, dan mulai khawatir apakah kami nanti akan berebutan naik mobil. Tak lama seorang petugas datang dan membagikan nomor antrian karena dia lihat orang sudah banyak.

“Ibu antrian satu ya.” Ah saya lega. Syukurlah dia ingat kalau kami adalah pengantri pertama, karena kalau sudah ramai begini biasanya suka berantakan.

Saya lihat jam tangan sudah masuk pukul sepuluh pagi, sedang menghitung waktu apakah nanti jadi terlalu lama di sini karena kan masih ada makan siang, ke pabrik kaos lalu ke bandara. Mendadak Vay bilang dia sakit perut, dan harus ke toilet. Saya tidak tahu apakah ada toilet pengunjung untuk di situ karena posisi kami belum masuk ke dalam komplek candi, untungnya bapak petugas pengertian. Mungkin karena waktu untuk mobil shuttle tiba sudah mepet, akhirnya si bapak menugaskan anak buahnya yang tadi membagian tiket antri, untuk mengantar Vay ke toilet di dalam.

Jam sepuluh lewat sepuluh menit baru datang mobil elf shuttle. Dengan sigap Vay langsung mengambil kursi di depan, jadi kami bertiga dengan pak supir. Posisi paling enak kalau perjalanan city tour dengan elf memang di kursi depan.

Mobil keluar dari komplek Candi Prambanan, melewati kembali jalan raya yang tadi kami lewati ketika tiba. Perjalanan dari Candi Prambanan ke Ratu Boko memakan waktu lima belas menit, jaraknya sekitar 5 km ke arah selatan dari Candi Prambanan dan berlokasi di sebuah bukit dengan ketinggian ± 195.97 mdpl.

Setelah sampai di Ratu Boko, kami turun lalu melakukan scan tiket di gerbang dan kemudian masuk ke dalam. Bekas kraton ini sangat luas, dan karena berada di perbukitan, maka pemandangan dari Ratu Boko cukup istimewa.

Di dalam komplek Ratu Boko, ada beberapa bagian bangunan, dimulai dari Gerbang, Candi Batukapur, Candi PemBokoran, Paseban, Pendapa, Keputren, dan Gua. Di dalam Keputren yang memiliki arti sebagai tempat tinggal putri, ada beberapa kolam.

Saya membayangkan tempat ini cocok bila dijadikan lokasi pemotretan model dengan pakaian ala designer, dengan potongan dan warna-warna yang kontras dan berani. Dan harus memotret sekitar jam tiga dan empat sore ketika matahari sudah tidak terlalu kencang.

kraton ratu boko

Ratu Boko

Kami menghabiskan waktu sekitar tiga – empat puluh menit di sini, karena yang dilihat juga sudah cukup. Kami kembali ke gerbang depan, dan ternyata pas waktunya juga dengan pengunjung yang lain yang juga sudah selesai. Pak supir segera mengambil mobil, dan kami langsung naik, menikmati ademnya AC mobil yang membawa kami kembali ke Candi Prambanan.

Saatnya keliling Candi Prambanan

Berbeda dengan Candi Borobudur, kami tidak perlu berjalan terlalu jauh untuk mencapai candi. Tadinya saya ingin menghemat waktu dengan menggunakan Bus Tayo, karena paket bus ini akan mengantarkan pengunjung berkeliling komplek candi. Baru setelah itu maksud saya baru masuk ke Prambanan.

Masalahnya adalah, kami hanya bisa menemukan bus ini di pintu keluar candi. Jadi harus masuk dulu.

Di depan gerbang candi, ada tukang foto keliling, yang menawarkan jasa foto langsung cetak, nanti hasil foto diambil di pintu keluar. Satu foto harganya Rp 20 ribu. Saya pikir ya sekalian saja, agar kami bisa punya foto berdua yang proper. Difotolah kami berdua dengan gaya-gaya yang diarahkan si bapak.

Setelah itu kami masuk ke dalam candi. Saya lihat Vay cukup antusias di sini, meskipun bila dibandingkan dengan Borobudur, ini masih kalah besar. Mungkin karena di sini kami bisa masuk ke dalam candi dan mengeksplor dengan lebih leluasa, meskipun untuk naik tetap harus mengantri.

Di salah satu candi pertama yang kami jumpai pertama kali, saya ingat kalau terakhir kali saya juga sempat memotret candi ini tanpa talent. Kali ini kami bisa nih foto berdua di sini. Mengantri sebentar, karena ada keluaga yang sedang berfoto menggunakan tripod mini yang diletakkan di atas batu.

Saya tidak bawa tripod apapun, tapi untungnya tumpukan batu-batu candi di depannya bisa dimanfaatkan. Maka jadilah foto kami berdua.

candi prambanan jogja

Seorang anak kecil melewati saya, berkata pada orang tuanya. “Pak, itu tu.. orang bule.”

Di atas candi, lalu lintas cukup padat, karena itu harus pelan-pelan dan hati-hati melangkah di tangga batu agar tidak terjungkal bila bersenggolan. Setelah Vay masuk dan saya foto, kami keluar dan melanjutkan ke bagian sisi candi yang lain.

liburan keluarga ke jogja

Oh itu sepertinya keluarga yang tadi, pikir saya ketika melihat anak kecil yang di depan tadi dengan kedua orang tuanya. Dan juga bersama keluarga bule. Oh, mereka ternyata minta berfoto bersama dengan turis bule itu. Pemandangan ini mengingatkan saya pada tiga puluh tahun yang lalu ketika saya dan teman SMA saya Betty berlibur berdua ke Jogja. Kami ke Candi Borobudur dan teman saya juga dengan semangat mengajak berkenalan sebuah keluarga turis dan juga minta berfoto bersama.

Seorang gadis kecil bule mengintip dari balik dinding, senyum-senyum melihat keluarganya diminta foto bareng. Ternyata dia sudah jalan duluan jadi tidak ‘terjebak’ dengan sesi foto dadakan itu. Lanjut lagi dan saya papasan dengan seorang gadis remaja bule yang saya duga juga satu keluarga dengan yang tadi. Wajahnya yang kemerahan karena panas terlihat cemberut. Persis wajah anak saya Vay kalau dia disuruh mandi.

Ow. Saya tahu. Ternyata ada sejumlah pemuda lokal yang memotretnya diam-diam. Ada tiga empat remaja laki-laki sedang bersandar di dinding candi sambil tertawa-tawa seperti sedang membicarakan si remaja bule. Di satu sisi saya bisa paham, mungkin cowok-cowok ini baru pertama kali lihat bule secara langsung dan mengagumi kulit pucat si remaja perempuan. Tapi saya juga paham, bisa jadi si remaja bule itu mengartikan tindakan cowok-cowok lokal itu sebagai bentuk perundungan.

Saya melirik jam. Sudah hampir jam dua belas. Kami bergegas turun, ke pintu keluar. Saya pikir tidak usahlah pakai tayo bus lagi, karena sudah terlalu siang, kami sudah lelah karena kepanasan. Setelah membeli dua botol air mineral dingin, kami berjalan kaki menuju gerbang keluar, dan lumayan jauh dan melelahkan.

Di depan gerbang, Vay mengambil foto hasil cetakan kami. Lumayan juga hasilya, meskipun langitnya putih semua, karena siang hari. Haha.

Saya menghubungi Baho, bilang kami sudah selesai.

Selanjutnya seharusnya kami mau makan siang. Kalau sesuai itinerary, Baho mau mengajak kami ke restoran Jejamuran. Tapi karena saya sudah kapok dengan makanan di Kedai Lobster kemarin, saya bilang ke Baho agar kita lewati saja si Jejamuran.

Di restoran yang katanya hanya menyajikan aneka makanan dari jamur, sudah jelas warning sign untuk saya. Masalahnya adalah Vay yang picky eater, dia tidak akan makan kalau dia tidak yakin dia akan suka, meskipun dibujuk sekalipun. Di rumah saja kita tidak pernah makan jamur, jadi dia tidak akan mau repot-repot mencoba, kalau bisa memilih makanan lain yang lebih aman.

Saya berdiskusi dengan Baho, bagaimana kalau kita ke pabrik kaos dulu, supaya bisa mengejar waktu untuk ke bandara. Menurut saya jauh lebih nyaman kalau kami tiba di bandara lebih cepat, bisa mendinginkan badan, sekaligus santai cari makan di sana. Baho setuju saja, dan memutar mobilnya ke arah pabrik kaos.

Mampir ke Bakpia Pathok 25 dulu

Oh tapi sebelum ke pabrik kaos, kami pergi dulu membeli bakpia. Baho membawa kami langsung ke pabrik Bakpia Pathok 25, katanya kalau di pabriknya kita akan dapat bakpia langsung dari dapur. Oke saya setuju.

Ternyata di pabriknya ramai luar biasa. Tadinya saya pikir bentuknya seperti toko, tapi karena saya masuk dari pintu samping, aksesnya itu seperti mau masuk ke dapur. Saya lihat banyak orang sedang memegang keranjang kosong dan mereka mengelilingi seperti meja bar di tengah. Bingung saya, mereka sedang apa sih?

Saya memutuskan bertanya pada seorang bapak paruh baya yang juga sedang memegang keranjang kosong.

“Pak, ini lagi ngapain ya Pak?”

“Oh, ini kita semua nungguin Buk, nanti bakpinya datang dari oven lalu kita tinggal minta sama mbaknya.”

Oooo….. Begitu toh caranya. Langsung saya ambil keranjang dan ikutlah berdiri di situ.

Lima menit kemudian, keluar dua pegawai dapur dengan masing-masing membawa keranjang besar berisi bakpia.

“Kacang ijo premium!” Teriak salah satu pegawai dapur. Langsunglah semua berebutan, ada yang teriak “dua”, “lima”, “empat”, dst. Banyak di antara mereka yang menunggu rasa lain, seperti durian dan coklat. Heran saya, kok bisa bakpia dikasih rasa durian. Aslinya udah enak kacang ijo gitu. Saya butuh lima belas detik untuk beradaptasi dan ikut teriak meminta jatah. Ya kan masa baru datang langsung teriak, nanti yang sudah lama mengantri marah.

Tidak lama-lama, lima belas menit kemudian saya sudah selesai dengan bakpia. Beli 10 kotak, 2 kotak yang premium, 8 kotak yang biasa. Yang premium kotaknya memang beda, tapi signature-nya Bakpia Pathok 25 itu yang biasa, dari bentuk dan desain kotaknya, makanya saya beli yang biasa lebih banyak.

Pabrik Kaos Jogja

Beberapa hari terakhir selama di Jogja, saya sering lihat keluarga-keluarga yang mengenakan kaos kembaran bertuliskan Jogja. Dugaan saya mereka di hari pertama sudah mendatangai pabrik kaos dulu.

Tempat pembuatan kaos ini berada di sebuah gedung mirip rumah dengan halaman luas. Kami berdua disambut dengan pegawainya, lalu diajak masuk dengan melewati lokasi pembuatan motif pada kaos-kaos.

Harganya sangat terjangkau. Ada yang Rp 100 ribu dapat lima kaos, ini yang cocok dipakai untuk wisata keliling Jogja, jadi bebas keringatan dengan kaos tipis ini yang dipakai sekali saja juga gak apa-apa. Lalu ada juga yang kualitasnya lebih baik, dengan harga di atas Rp 70 ribu perkaos.

Setelah Vay memilih kaos-kaos, kami keluar dengan membawa delapan pcs kaos, ada yang dari seratus ribu dapat lima dan sisanya satuan. Buat dipakai sendiri dan juga untuk oleh-oleh. Saya tidak ada foto di sini ternyata, yang ada video tapi saya belum sempat mengeditnya.

Langsung ke Bandara

Setelah dari pabrik kaos, kami langsung gas ke bandara. Bandara baru ini berada di Kulon Progo dan cukup jauh dari kota. Kalau naik mobil lewat tol kurang lebih satu setengah jam. Di dalam mobil, saya dan Baho mengobrol sementara Vay seperti biasa langsung tidur.

Menurut Baho, peak season di Jogja ini akan terus sampai tujuh hari ke depan, karena itu wajar kalau tiket KA akan terus habis di hari-hari pertama Januari. Tapi buat pelaku wisata seperti dia, peak season seperti ini adalah masa-masa dia bisa dapat penghasilan, karena kalau sudah off peak, turis yang datang ke Jogja juga berkurang sangat drastis.

Sambil mengobrol, saya menyelesaikan urusan kami untuk biaya sewa mobil selama di Jogja. Sungguh saya sangat terbantu karena yang mengantar kami jalan-jalan adalah teman lama, syukurlah dia tinggal di Jogja, jadi dia bisa berbudaya seperti orang Jogja, dalam arti lebih bersahabat dan ramah. Coba kalau dia tetap di Medan, mungkin ngomongnya makin seperti preman, keras dan ngotot. Haha.

Kami sampai jam empat sore di bandara, terlalu cepat tentu saja tapi sesuai ekspektasi. Berpamitan dengan Baho, semoga lain kali bisa bertemu lagi untuk perjalanan berikutnya.

bandara internasional jogja 2

Tangan lengket, badan  gerah. Begitu masuk ke dalam bandara, saya dan Vay bersih-bersih dulu dan berganti atasan. Setelah sholat, baru kami duduk dengan santai untuk makan sore. Karena sudah online check in, saya tidak perlu terburu-buru lagi.

Satu jam kemudian, kami ke konter dulu untuk print boarding pass, lalu masuk ke ruang tunggu, menanti jam terbang kami di jam 19.20 WIB.

bandara internasional jogja

Di dalam pesawat, Vay tanya perjalanan berapa jam. Saya bilang, tidak sampai satu jam.

“Ha?” Vay mengangkat alis. Haha, soalnya dia sedang bersiap tidur. Kalau cuma satu jam, kan kecepetan gitu, baru lelap sudah bangun.

Alhamdulillah kami sampai di Bandara Halim Perdanakusuma on time, dan dengan mengendari taxi bandara yang butut (entah kenapa di Halim ini gak terlalu oke gitu transportasi umumnya), kami sampai juga di rumah.

Yogyakarta memang menyimpan banyak kenangan. Dari semua tempat kemarin yang saya kunjungi bersama Vay, sebagian besar sudah pernah saya datangi, dan itu menggali kembali memori yang lama-lama. Ketika di Bakpia Pathok misalnya, teringat yang ke Jogja sama Betty, dan uang di dompet tinggal lima puluh ribu saja, sebagian dipakai untuk beli bakpia oleh-oleh untuk abang sepupu yang nitip, lalu sisa dua puluh ribu saja di dompet dan harus beli tiket bus untuk balik ke Jakarta. Jaman itu belum ada ATM, belum ada telepon genggam, jadi kami hanya mengandalkan telepon hotel untuk berkomunikasi dengan orang tua. Belum lagi teringat kenalan sama bule di Candi Borobudur, dan banyak lagi.

Ah. Jogja memang istimewa.

Sharing is Caring
  • 1
    Share

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

7 thoughts on “Cerita Liburan ke Jogja: Berpanas Ria di Candi Prambanan dan Kraton Ratu Boko

  1. Seru banget bacanya, liburan sambil belajar sejarah 🙂 Oalah di sana masih ada yang minta foto sama turis ya. Kirain cuma ada pas zamanku kecil 😀 Suamiku malah pernah dimintai foto pas di Bekasi (iya, Bekasi! Hahaha) sama sekelompok cewek gitu. Tadinya dia oke-oke aja karena dipikirnya mereka ”penggemar” musiknya dia gitu. Eh, ternyata jangankan denger musiknya, kenal aja enggak! Mereka cuma mau foto sama random bule, ahahaha. Langsung ngambek deh :’D Yah, kita pun kalau lagi liburan terus diajakin foto mungkin bakal terganggu. Apalagi kalau sampai diajakin ngobrol ini itu padahal cuma lagi pengen menikmati suasana.

    Btw, berarti bakpianya itu fresh dari oven gitu ya? Wah, kebayang enaknya 🙂

    • Zizy

      Iya. Mungkin beda ya lihat bule di tv sama lihat langsung. Hehe…
      Benar, bakpianya itu fresh langsung dari oven. Jadi memang masih panas banget.

  2. Ah senangnya wisata mengunjungi tempat/bangunan yang memiliki latar belakang historis.

    Saya belum pernah berkunjung Ratu Boko. Melihat foto-fotonya disini, jadi sedikit hilang juga kepenasaran.

    Candi Prambanan…seperti sudah banyak berubah ya Mbak? Sepertinya penataan dan pemeliharaan dijalankan dengan baik. Jadi pengen kembali berkunjung ke Candi Prambanan.

    Terahir, foto-fotonya keren abis Mbak…

    Salam,

    • Zizy

      Benar, Candi Prambanan mungkin lebih rapi ya sekarang karena sudah diatur sedemikian rupa, naik turun juga diatur agar tidak berjejal begitu.
      Makasih… sudah mampir lagi.

  3. Perjalanannya seru yah. Membaca ini, menambah referensi tentang Jogja dengan segala keistimewaannya. Sudah banyak sih teman-teman pernah ke sini dan berfoto di Candi Prambanan dan Borobudur. Ternyata punya sejarah menarik di masa lalu.

    Semoga bisa juga jalan-jalan ke sini,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *