Cerita Liburan ke Jogja: Eksplorasi Goa Pindul (Sekali Aja Cukup)

Ini adalah lanjutan cerita family traveling saya dan Vay ke Jogja, untuk hari kedua di Jogja, tanggal 1 Januari 2024.

Cerita pertama bisa dibaca dulu di sini:

Tanggal 1 Januari 2024

Bangun pagi, badan sudah lebih segar karena sudah enak tidur semalam. Seharusnya hari ini kalau mengikuti itinerary Baho, agak padat. Tapi saya tidak mau terlalu memaksakan diri, toh ini yang jalan cuma kita berdua saja, tidak ada rombongan lain, jadi bebas aja.

1 jan 2024

Sarapan di roof top, makanan di Yellow Hotel ini lumayan kok. Ada bubur-buburan yang paling saya demen, dan untuk Vay ya tentu saja telor dadar saja. Seperti biasa anak-anak mana mau makan pedas-pedas atau berbumbu di pagi hari, jadi lebih aman makan telor atau roti. Setelah mengisi perut, kami kembali ke kamar untuk bersiap-siap jalan di hari kedua di Jogja. Saya membawa tas kamera dengan dompet dan ponsel menumpang di dalam, lalu satu ransel berisi pakaian ganti.

Vay sudah ready dengan pakaian renang di dalam baju biasa, katanya gak mau repot nanti harus ganti baju di sana. Saya juga sudah pakai setelan baju santai di dalam outer. Kami mengenakan sandal, tapi saya juga membawa sepatu, sementara Vay tidak mau. Sepatunya basah karena habis main jeep kemarin, jadi lebih enak pakai sandal saja katanya. Vay juga sudah melakukan riset tadi malam seperti apa goa yang akan kami eksplor ini.

Jam delapan pagi kami turun dan Baho sudah di lobby menunggu kami. Saya menitipkan pesan dulu pada resepsionis bahwa kamar bisa dibersihkan, kemudian baju laundry kami bisa disimpan dulu karena kemungkinan kami akan pulang agak malam.

Kami pun langsung meluncur ke Goa Pindul.

Sebenarnya Wisata Goa Pindul itu apa sih?

cave tubing pindul

G0a Pindul adalah objek wisata berupa goa yang terletak di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Objek wisata ini baru diresmikan di tahun 2010. Menjadi terkenal karena wisata di sini dilakukan dengan menyusuri goa dengan menaiki ban pelampung di atas aliran sungai bawah tanah di dalam goa, dimulai dari mulut goa sampai bagian akhir goa, dan penelurusannya makan waktu sekitar 45 menit sampai satu jam.

Alamatnya ada di bawah ini.

Kami tiba di tempat wisata Goa Pindul sekitar jam setengah sepuluh pagi. Ya kurang lebih satu jam perjalanan dari hotel kami. Kantor masih sepi, baru ada dua pengunjung termasuk kami, dan ternyata pengunjung satu lagi itu satu hotel juga dengan kami. Vay bilang, kalau dia berharap bisa ramai-ramai dengan yang lain, biar lebih seru. Saya bilang okay, mudah-mudahan nanti ada grup kakak-kakak yang ikutan jadi saya bisa minta supaya kita barengan. Tapi tidak ada. Grup sebelah itu satu keluarga, dan karena mereka masih menunggu saudaranya yang lain, kami berdua sudah bisa memulai permainan lebih dulu agar tidak terlalu panas.

Ada paket kegiatan apa saja di Goa Pindul?

Di depan loket kasir, ada foto-foto berisi kegiatan apa saja yang bisa dinikmati wisatawan. Dengan begitu kita bisa tahu kita akan dapat apa saja dengan paket yang kita beli, sama halnya dengan di Merapi Lava Tour kemarin. Kami mendengarkan marketingnya menjelaskan dengan seksama tentang masing-masing paket dan harganya.

Paket permainan pertama, harganya Rp 120 ribu per orang, ini ada dua kegiatan, yaitu Cave Tubing Goa Pindul, dan Rafting Sungai Oya, ini setelah dari goa. Kalau yang pertama dilakukan di dalam goa, dan yang kedua beda sungai, tapi ada air terjunnya juga.

Paket permainan kedua, Rp 250 ribu per orang, dapat tiga kegiatan, jadi ada tambahan 1 kegiatan selain yang dua tadi, yaitu arung jeram di dalam goa. Karena kami hanya berdua, rasanya kurang seru kalau mengambil paket tiga kegiatan, dan waktunya juga akan lama sekali, bisa tiga jam. Ya sudah, akhiarnya setelah berdiskusi dengan Vay, kami pilih yang dua kegiatan saja. Cukuplah.

Marketing juga menawarkan jasa fotografer, biayanya Rp 300 ribu, dengan kamera DSLR dan flash. Setelah saya pikir-pikir lagi, ah gak usah deh, toh kita bisa foto juga pakai handphone saya.

Dari kantor penyedia wisata, saya dan Vay ditemani seorang guide muda bernama Rizky naik pickup menuju ke lokasi dimana kami akan turun ke sungai, menuju akses langsung ke Goa Pindul. Kurang lebih lima sepuluh menit naik mobil, lalu berjalan kaki sedikit.

Ponsel sudah saya ikat di tangan, dengan dibungkus plastik pembungkus ponsel yang tadi saya beli dari seorang ibu pedagang di depan kantor. Kalung gelang cincin dilepas semua, sudah dititip ke Baho. Memang tak disarankan mengenakan perhiasan, sudah banyak korban katanya perhiasan jatuh ditelan goa. Kan gak ada juga yang mau menyelam mencari perhiasannya.

Untuk menyusuri Goa Pindul, umumnya para pelancong diminta saling berpegangan tangan, jadi kalau difoto itu bagus gitu, bentuknya bulet. Tapi karena kami hanya bertiga dengan Guide Rizky, ban kami akhirnya dikaitkan saja dengan karabiner. Kenapa harus dikaitkan? Ya supaya tidak terlepas dari rombongan. Meskipun banyak pengunjung yang bisa berenang, tapi saya yakin mereka lebih memilih ditarik pakai ban daripada berenang.

Cave Tubing ke dalam Goa Pindul: Ternyata…. Gelaaappp!

Kami masuk perlahan-lahan sambil didorong oleh Rizky. Di pintu goa masih terang, tapi ketika sudah masuk ke dalam, aih ternyata gelap sekali lho, dan cukup seram. Karena hari masih pagi, pengunjung belum rapai, dan sepertinya saya dan Vay adalah pengunjung kedua. Sementara itu nun jauh di sana ada grup yang sudah masuk lebih dalam sehingga cahaya senter dari mereka hilang timbul, dan seringnya tidak terlihat.

Sementara Rizky mulai menerangkan apa saja yang ada di dalam goa itu, dengan cahaya senter kecil di tangannya, kami tak bisa melihat apa-apa selain keremangan. Rizky sudah piawai menerangkan setiap bagian dalam goa yang kami lewati, mulai dari zona dengan kedalaman 5 meter, lalu ketika kita sudah sampai di kedalaman lebih dari 10 meter, lalu ketika sudah sampai di bagian yang lebih dalam lagi. Goa Pindul terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona terang, remang dan gelap. Tapi mostly ya GELAP.

Saat tadi di depan pintu masuk, Rizky bilang, jangan bertanya soal hal-hal yang tak kasat mata karena dia tidak berani menjawab. Ya, bisa dipahami. Kalau kita tanya-tanya di dalam lalu benda itu tertantang, bagaimana?

Penelusuran kami di dalam goa kemarin, terdapat formasi bebatuan stalaktit, yaitu yaitu sejenis mineral sekunder yang menggantung di langit-langit goa kapur. Bahkan ada stalaktit yang sudah tumbuh sampai bawah dan menjadi seperti pilar. Beberapa batuan karst masih hidup dan meneteskan air, maka tak heran bila kemudian dibuatkanlah cerita-cerita untuk menarik wisatawan, seperti: bila seorang wanita terkena tetesan air di bawah pilar tersebut, maka niscaya akan awet muda. Saya dan Vay juga melalui pilar yang ada tetesan itu, tapi sepertinya tetesannya malas turun deh, karena dia tahu yang lewat ini sudah cantik-cantik dan muda.

Kami juga melewati markasnya para kelelawar, yang sedang bertengger di dinding atas goa sambil berbisik-bisik. Jumlahnya banyak, tebakan saya mungkin ada ratusan.

cave tubing pindul di pintu masuk

Di dalam Goa Pindul juga ada satu bagian yang hanya bisa dilewati oleh satu ban saja, cukup sempit, jadi kami pun bergantian lewat, lalu bannya Rizky di belakang.

Setelah itu, tak lama akhirnya saya bisa melihat cahaya di sudut sana. Ahhh lega.

kolam di goa pindul

Akhirnya kami tiba di ujung goa, sebuah kolam dengan bebatuan dan bagian atas agak terbuka sehingga cahaya matahari bisa masuk. Saya dan Vay turun sebentar dari ban pelampung, untuk berfoto seperti halnya para pelancong. Vay ogah-ogahan, biasalah namanya juga remaja, mungkin menurutnya gak penting berfoto-foto begini. Padahal someday dia akan terus ingat perjalanannya berdua maminya di goa yang dingin dan gelap ini.

kolam di dalam goa pindul

Di bagian kolam ini biasanya pelancong suka turun dari ban dan berenang, karena airnya tidak terlalu dalam cuma sekitar satu setengah meter dan cukup jernih sehingga masih bisa melihat pijakan batu.

Keluar dari Goa Pindul, kami ketemu dengan rombongan yang tadi sudah duluan di depan kami. Ternyata mereka masih beristirahat di bebatuan di sungai, masih menikmati dinginnya air di pagi hari pertama di tahun baru. Seorang pengunjung (bapak-bapak) mengingatkan saya dan Vay agar hati-hati melangkah, karena ternyata ada batu yang berlumut hijau, licin. Wah, semoga saja tadi tidak ada korban yang jatuh ya.

goa pindul

Kesimpulan: saya rasa CUKUP SEKALI SAJA saya masuk ke Goa Pindul ini. Kalau lihat foto-fotonya di Google kan oke ya karena ada lighting, tapi kalau sudah di dalam, itu goa asli gelap banget. Dan yang saya khawatirkan adalah binatang apa gerangan yang ada di dasar aliran bawah tanah goa ini. Bagaimana kalau tiba-tiba bergerak dia, bagaimana kalau ada yang tak sengaja menyenggol ban pelampung kita.

Lanjut Rafting Sungai Oya setelah selesai dari Goa Pindul

rafting di goa pindul

Selesai cave tubing, saatnya berleha-leha menyusuri sungai. Ternyata beda aliran sungai, jadi kami tetap harus naik pick up lagi untuk ke sana. Setelah pick up datang, kami naik duduk di belakang seperti sapi, lalu menuju sungai satu lagi. Sampai di sana, turun dari mobil dan jalan kaki lagi.

Kami harus berjalan kaki kurang lebih lima menit untuk sampai ke badan sungai. Ada untungnya saya tadi memutuskan tetap pakai sandal, meskipun awalnya sempat ragu. Saya pikir begini tadinya, kalau kita cuma di atas pelampung dan sungai kan gak butuh sandal. Tapi Baho bilang pakai saja, kan tetap ada jalan kakinya juga. Ternyata memang benar, malah banyak jalan kakinya. Saya melihat ada rombongan pengunjung dari kantor lain (bukan dari kantornya Rizky) ternyata mereka tidak memakai sandal. Alhasil jadi agak lama saat berjalan ke arah sungai, pertama karena cuaca sudah panas sekali (bayangkan menginjak batu panas tanpa alas kaki), kedua ya banyak ranting batu.

Dan di tempat inilah penyelasan itu terjadi. Saya salah tidak memakai baju lengan panjang untuk kegiatan ini, akibatnya tangan saya gosong dan belang. Warnanya sudah seperti cooking chocolate.

Saat itu sudah jam sebelas siang lewat sedikit, matahari sudah naik, dan suasana mulai ramai. Banyak anak sekolah yang ikutan susur sungai, sepertinya mereka datang untuk liburan atau field trip  dari sekolah, karena saya lihat ada dua orang dewasa yang mengikuti mereka dari tepian.

liburan-tahun-baru-di-goa-pindul

Aliran sungai ini panjang, tapi tentu saja dalam, sehingga para pelancong dilarang membuka jaket pelampung. Setelah berjalan selama tiga puluh menit, kami ketemu dengan dua air terjun di sisi kiri, yang menjadi tempat favorit pengunjung untuk melompat terjun dari atas. Saya tanya apakah Vay mau, katanya tidak. Tapi kalau sekadar lewat di depan air terjunnya oke, maka ke situlah kami, setelah menunggu giliran dengan rombongan lain.

liburan ke goa pindul

Saya tanya ke Rizky berapa banyak tamu yang bisa dia bawa dalam sehari, karena saya lihat kemarin itu meskipun tanggal 1 sepertinya tidak terlalu ramai seperti di bayangan saya. Katanya dalam sehari dia paling banyak hanya bisa bawa tamu maksimal tiga, itu juga kalau ambilnya rute pendek seperti kami. Hal itu karena untuk perjalanan kami itu saja sampai dua jam, belum lagi dia harus bergantian dengan pemandu lainnya. Terbayang saya berapa banyak yang bisa dia dapatkan dari tip harian kalau sehari hanya bisa maksimal 2 tamu, sementara ini hari libur saja dia baru mengantar saya dan Vay, itu sudah hampir jam dua belas siang. Kasihan juga kalau mengandalkan tip, tapi hanya maksimal dua tamu sehari.

river rafting goa pindul

Jam dua belas siang perjalanan kami selesai, kami naik ke atas dan pickup baru kami langsung mengantar kami kembali ke kantor. Di sebelah kami ada rombongan lain dari kantor berbeda, sedang ngomel-ngomel, karena ternyata dia sudah lama selesai dan menunggu jemputan tapi pickup mereka tak kunjung datang. Dari ngomel lalu makin jengkel begitu dia lihat mobil saya dan Vay sudah datang duluan, padahal kami baru muncul dari sungai. Ya sudah Pak, sabar saja, pasti datang kok, kata saya (dalam hati).

Di tempat kami tadi membeli tiket wisata Goa Pindul, lengkap dengan fasilitas toilet, kamar mandi, warung makan, mushola, dan gazebo. Jadi pengunjung yang sangat lelah dan ingin tiduran, silakan saja di gazebonya. Saya dan Vay dapat gratis Indomie rebus sebagai bonus dari tiket wisata, yang keduanya habis dimakan Vay. Saya mendadak hilang selera begitu indomie-nya datang. Cuma mie rebus dengan air panas polos tak berwarna, dan bumbu-bumbu yang ada di dasar mangkok. Oh, sungguh tak ada rasa buat lidah saya sebagai orang Sumatera.

Tapi Vay gak peduli, katanya sayang mienya. Ya begitulah dia kalau sudah ketemu Indomie, mekipun rasanya tidak sempurna, tetap juga dimakan.

Selesai dari Goa Pindul, kami seharusnya ke Pantai Timang… tapi..

Kalau mengikuti itinerary, dari Goa Pindul langsung ke Pantai Timang. Kalau kata Baho, nanti di sana bisa menyewa jeep untuk naik ke atas bukit, lalu untuk menyeberang ke pulau di seberang, pakai gondola. Tapi setelah saya lihat-lihat, kegiatannya ternyata tidak semenarik jeep di Merapi atau susur sungai barusan di Goa Pindul. Saya mulai ragu.

Hari semakin panas, saya dan Vay cukup lelah dengan kegiatan outdoor tadi, dan kami tentu ingin makan enak. Tapi saya pikir ya sudah gak apa-apa kita tetap jalan saja dulu ke Pantai Timang, karena Baho ingin membawa saya mencoba tempat makan yang jualan lobster. Kedai Lobster. Untuk sampai ke sana, perjalanan ditempuh sekitar satu jam.

Di dalam mobil saya dan Vay tertidur pulas, karena lelah dan juga gerah. Udara panas Jogja tak main-main memang, meskipun di mobil pakai AC tetap saja terasa sampai dalam. Vay sebenarnya mulai rewel, bertanya kapan kita ke kafe.  Tiba di Pantai Timang kami pun parkir dan masuk ke rumah makan lobster itu.

Menu makan di rumah makan ini sudah berupa set. Paket paling murah Rp 375 ribu untuk 2-3 orang, isinya 2 lobster, 1 ikan, tempe dan sayur. Tidak ada menu ayam-ayaman. Wah gawat ini, pikir saya. Vaya yang picky eater bagaimana kalau gak bisa makan. Di sana tidak ada pilihan lain selain tempat makan itu. Ya sudah apa boleh buat, bayangan saya masih ada ikan bakar yang kalau enak Vaya bakal suka, dan juga ada tempe sebagai andalan.

Sepuluh menit kemudian pesanan datang. Mereka kasih ekstra 1 lobster karena kami bertiga dengan Baho.

Bagaimana rasa makanannya? SANGAT SANGAT BIASA di lidah saya dan menurut saya rasa tidak sebanding dengan harga Rp 375 ribu itu. 

Saya mulai agak bad mood, karena merasa buang-buang uang buat hal yang tidak bisa dinikmati. Makan apa ini? Tahu tempenya lembek dan dingin, lalu sayurnya juga cuma bening sawi putih dan kacang panjang. Saya memandang ke Vay dan berkata, ini sayuran yang biasa kita makan di rumah, kenapa jauh-jauh ke sini, dapatnya begini juga. Dingin semua lagi. Yang benar-benar baru dimasak hanya lobster dan ikan bakarnya, itu juga bumbunya tidak terlalu berasa.

Barangkali lidah saya memang tak cocok dengan masakan Jogja, tapi seharusnya gak gitu-gitu amat ya. Menurut saya, restoran ini terlalu berlebihan mematok harga, karena tidak sesuai dengan rasa yang disajikan. Nothing special-lah menurut saya. Hanya saja, di sana tidak ada pilihan jadi mau gak mau kita ya makannya di situ juga. Mengingat para pelancong yang datang bukan hanya domestik tapi juga banyak turis asing, seharusnya mereka serius memperhatikan kualitas rasa. Belum lagi lalat-lalat besar beterbangan melewati semua hidangan kita.

Saya melirik jam tangan, sudah hampir pukul tiga sore. Saya pikir, kalau kami naik jeep lagi ke atas kemudian menyeberang lagi dengan gondola, waktunya bisa habis sekitar satu jam lebih lagi. Saya sudah kehilangan mood juga karena rasa makanan di kedai lobster yang tak jelas rasanya itu. Biaya untuk naik jeep ke atas Rp 450 ribu lalu menyebrang pakai gondola lagi Rp 240 ribu berdua. Lebih baik cukup rugi Rp 375 ribu daripada habis sejuta di tempat itu tapi kegiatannya ya cuma sekadar foto. Tapi saya pastikan lagi ke Vay apakah dia masih mau naik gondola atau tidak. Vay ternyata lebih memilih langsung ke tempat berikutnya saja, karena sama seperti saya, dia juga ingin makan betulan yang enak.

Saya sampaikan ke Baho, saya tak jadi deh naik gondola, karena sudah terlalu sore juga. Saya ingin bersantai menikmati sunset di Obelix Seaview, dan tempat itu juga lumayan jauh, jadi lebih baik kita langsung saja ke sana, begitu usul saya.

So, selamat tinggal Pantai Timang, mungkin next time kalau ada waktu baru kita naik gondola di sini. Dan tentu saja tidak ada lain waktu untuk Kedai Lobster itu.

Sharing is Caring
  • 1
    Share

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

2 thoughts on “Cerita Liburan ke Jogja: Eksplorasi Goa Pindul (Sekali Aja Cukup)

  1. Pingback: Cerita Liburan ke Jogja: Sunset Pertama 2024 di Obelix Sea View | Life and Travel Journal

  2. Zam

    saya malah belum pernah ke Goa Pindul dan Pantai Timang. kayanya pas saya masih di Jogja, belum begitu populer..

    untuk resto lobsternya, bisa kebayang kecewanya.. sayang banget potensinya..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *