Gempa Woi… Gempa…

Kemarin sore Jakarta gempa. Dan dalam hitungan menit saja, jaringan langsung busy, semua orang sibuk menelepon kesana-kemari, jangan lupakan pula mereka yang langsung mengupdate statusnya di facebook.

Saat gempa terjadi, saya sedang di kantor, duduk santai bersila di atas kursi. Lagi blogwalking. Tiba-tiba kok rasanya kursi saya jadi kursi goyang nih, gujlak gujluk gujlak gujluk. Saya berhenti mengetik, lalu memandang teman di depan saya. “Gempa nih,” kata teman saya. “Iya.” Saya mengiyakan. “Enggak ah,” kali ini teman yang lain nyambung. Mungkin karena dia sedang berdiri dan barusan ngobrol dengan temannya jadi tidak merasakan.
“Coba kita lihat botol airnya, Mbak.” Saya berdiri dan kami berdua ke mejanya. Botol air itu bergoyang-goyang.

Lalu entah siapa yang berteriak, ”Gempa woi gempaaaa….!! Masih terasaaaa…!!” Si bule yang tadi sedang melangkah masuk melalui pintu depan langsung putar badan. Dia konsultan kami. Dia langsung kabur secepat mungkin. Kepanikannya membuat semua orang ikutan panik. Berebutan keluar.

Saya segera kembali ke meja saya. Menyambar tas di meja, melemparkan hp ke dalamnya. Tak lupa ganti sandal dengan wedges saya. Lalu ikut yang lain jalan keluar. Eh?! Ini tas yang salah! Goblok. Yang saya ambil itu tas berisi laptop dan another stuff. Balik lagi ke meja, dan menyambar tas sandang saya di bawah. Buru-buru tekan Win-L di keyboard, tapi missed karena tangan yang gemetaran. Ah sudahlah.

Lewat depan lift. Ngitt..! Ngitt..! Ngitt..! Bunyi kabel lift bergoyang-goyang. Tangga darurat sudah padat. Dan sepertinya yang di bawah berjalan pelan sekali, jadi mirip jalan di terowongan padat. Seandainya gempa susulan yang kuat terjadi, bisa sangat berbahaya karena semua orang berkumpul di situ. Saya lihat dinding-dinding ada yang hancur dan kepingannya jatuh ke lantai. Wahhh serem jugaa..!! Kirain tadi gempa ecek-ecek. Saya coba telepon supir saya, failed. Saya sms saja, “Gempa. Bawa mobil ke atas. Cepat.” Yoi… kalau masih sempat mengevakuasi mobil, kan ga ada salahnya.

Teringat gempa, saya jadi ingat gempa-gempa yang terdahulu. Waktu tinggal di Biak, keluarga kami sudah biasa mengalami gempa. Jangankan gempa, angin puyuh pun sering. Daerah yang dekat pantai memang rentan terhadapa bencana gempa.

Setelah di Medan, pertama kali merasakan gempa besar itu tahun 2002. Waktu itu kantor kami masih sewa space di gedung BII, lantai 10 pula, lantai teratas. Saat itu gempanya kuat sekali, sampai saya lihat tiang besar di depan saya bergoyang kesana kesini. Teman-temanpun panik, semua lari. Saya ikut ke depan dan saya lihat teman-teman di customer service tetap duduk di tempatnya meskipun wajah mereka pucat pasi. Mau ikutan lari, tapi masih ada customer yang dilayani. Si customer juga bingung, mau lari gak ya.

Lalu saya ketemu seorang driver. “Pak, kok gak turun?” tanya saya. “Untuk apa mbak. Kalau kita tetap disini, misalnya gedung rubuh, mayat kita pasti ditemukan paling atas.” Hmmm… benar juga, pikir saya. Saya pun balik ke meja, nanti sajalah turun belakangan. Yang saya pikirkan waktu itu, bagaimana nasib mobil Atoz saya di B2, hahahaaa….

Alhasil memang cuma saya dan dua customer service yang gak turun. Kekekeke…. Sepuluh menit kemudian, semua orang kembali ke ruangan, dan mereka memarahi saya. “Kok gak turun? Gila inilah, masa yang dipikirkannya mobilnya, bukan dirinya.”

Gempa besar berikutnya Desember 2004, pas tsunami. Itu saya ingat betul karena saya lagi tidur-tiduran karena gak enak badan. Kami lari keluar, tapi tidak merasa khawatir sih. Kami pikir itu hanya gempa biasa, karena sepertinya gempanya tidak terlalu kuat. Ternyata malah tsunami. Innalillaahi….

Lalu Maret 2005, gempa lagi saat malam hari. Saat itu saya sudah tidur pulas. Terbangun karena suara berisik. “krrrr………. krrrrrrrrr…” dan “sreeekkkkkk… srekkkkkkkkkk..” Itu suara kipas angin yang bergeser kesana kemari dan bingkai foto yang bergeser-geser di dinding. Itulah gempa terkuat yang saya alami. Saya keluar kamar dan mendapati papi saya sedang menggendong Harvey, cucunya yang baru berumur seminggu. Kami semua berbondong-bondong keluar. Duduk di beton depan rumah, sambil melihat rumah yang bergoyang-goyang. Eh ada yang ketinggalan. Mbak Nur bedinde kami, gak keluar-keluar. Langsung dijemput ke dalam sama sepupu saya. Ternyata dia malah duduk di dapur, karena panik.

Di depan kami, dua perempuan berpakain seragam biru – entah darimana & kok malam-malam berseragam? – berlari-lari, dan akhirnya terjatuh karena pijakan yang oleng. “Duduk. Duduk. Jangan lari.” Begitu kata papi saya. Sepuluh menit kemudian kami masuk ke rumah. Gempa susulan masih terjadi, tapi karena saya ngantuk berat, saya langsung terlelap.

Saat gempa terjadi, kami sekeluarga cemas sekali. Ya ampun, apa Aceh akan tsunami lagi? Ini gempa yang lebih kuat, apa lagi yang akan terjadi. Ternyata gempa itu di Nias. Ratusan rumah hancur. Innalillaahi….

Berikutnya gempa terjadi lagi di beberapa daerah di Indonesia. Di Jogja juga parah. Hmm….. bencana silih berganti menimpa negeri ini. Semogaaaaaa teguran-teguran dari Yang Di Atas ini bisa menyadarkan umat manusia untuk segera bertobat.

Saat di lantai  4 (saya turun dari lantai 6), saya mulai jengkel. Ada yang mendorong-dorong saya dari belakang. Ih, plis deh…. lu mo dorong-dorong kemana? Yang ada gw bakal jatuh menimpa yang di depan. Saya menoleh dan mendapati bosnya teman saya di belakang. Dia memasang ranselnya di depan. Setiap dia melangkah ranselnya itu mendorong saya.

“Mas, jangan dorong-dorong donggg…! Ntar jatuh…” saya ngomel. “Iya jangan dorong-dorong yaa…. nanti kita bisa jatuh semua ke bawah.” Bos lain yang ada di depan saya menyahut. Dia langsung memindahkan ranselnya ke belakang. Eh ternyata sama saja. Ranselnya udah pindah, tapi dia tetap nempel. Grrrrrrrr…… plis deh pak, kalau gw bisa lari ya gw lari. Ini kan emang tersendat. Saya menoleh dan memelototinya. “Mas, jangan dorong-dorong ya..!” **untung kemarin saya lagi gak puasa, jadi boleh deh sedikit emosi :”>

Dia diam saja tak berkomentar, tapi memang kelihatan sih dia panik dengan gempa ini. Well, semua orang juga takut, tapi harus teratur dong. Saya juga panik takut anak di rumah kenapa-kenapa. Saya telepon ke rumah, katanya air kolam langsung ada ombaknya, dan lampu kristal bergoyang hebat. Langsung saya suruh semua orang tunggu di halaman, bersama si bos kecil, Vaya.

Kembali ke si laki-laki yang dorong-dorong saya itu. Habis itu dia masih berusaha juga potong antrian.. Huh. Gedek deh lihatnya. Sampai di luar saya bilang ke teman saya, “Eh bos lu tuh ye, ngedorong-dorong gw mulu dari tadi. Buat gw emosi aja.” “Hah? Masa.” “Iyee….. yang ada gw hampir jatuh ke depan. Jadi gw omelin deh.”

Sebenarnya cara kami kemarin itu termasuk tidak tepat. Menurut petunjuk keselamatan gempa di gedung bertingkat, saat gempa terjadi, semua harus berlindung di bawah meja. Ini untuk menghindari apabila gempa yang terjadi sangat kuat dan berlangsung lama. Setelah lima menit, ketika gempa sudah reda, baru kita turun melalu tangga daraurat. Ini waktu yang pas untuk memperhitungkan gempa susulan. Kalau beramai-ramai turun saat gempa, justru berbahaya. Well, salah satu bos kami sudah mempraktekkan itu. Dia berlindung di bawah mejanya selama beberapa saat. Dan ketika gempa mulai reda, dia bisa turun lewat tangga darurat tanpa kena macet atau didorong-dorong kayak saya.

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

91 thoughts on “Gempa Woi… Gempa…

  1. Saya jadi ingat waktu gempa Jogja, 27 Mei 2006. Tapi waktu itu saya ndak lari keluar. Selain karena malah membahayakan diri sendiri, juga karena saya masih mengantuk berat karena begadang menggarap tugas kuliah.

    Akhirnya saya jalan pelan-pelan saja keluar kos sambil melindungi kepala dengan bantal. Takut kalau ada bagian dari bangunan kos yang rontok karena gempa.

  2. waktu kejadian, aku lagi di lt.5 RS PIK. aku bilang ke papaku yg memang gak bisa bangun dari tempat tidur, jangan panik dan takut, jakarta bukan epicentrum (*sok tau aja*) gempa di jakarta biasanya kena imbas dari daerah garut, sukabumi atau sekitarnya. ada oom yg sekamar sama bokap,udah tua bangget, diabetes dan jantungan, udah nyabutin salah satu alat deteksi di badannya. tapi di lengannya masih ada infus dan kabel2/alat2 deteksi lain. dia cuman berdiri bengong dan gak tau mesti gimana nyabut segitu banyaknya. kebetulan anak2nya belum pada besuk. jadi sama kayak aku bilangi ke papaku juga, jakarta kena imbas doang. suster2nya bukannya nengokin atau nenangi pasien, malah ngerubungi ruang perawat dan heboh sendiri. ada lagi pasien thypus dan anemia, infus di lengan kiri dan kanan. kakaknya pegang infus yg kanan, mamanya pegang infus yg kiri. langsung lari lewat tangga. gak tau yah, aku waktu itu sama sekali gak panik dan gak takut, main yakin aja gak kenapa-napa. mungkin lebih condong ke pasrah aja. kalo memang gempa gede di jakarta, gak bakal sempat lari (kalo posisi di lantai 5), justru malah bahaya kalo di tangga. kalo di china, anak2 sejak kecil sudah diajarin kalo ada gempa dan gak sempat lari, langsung ke toilet yg spacenya sempit, reruntuhan langit2 gak akan terlalu parah dibanding di ruangan luas.

  3. sekedar sharing, aku pas gempa itu lagi di proyek perpustakaan ui yang baru. Pertama saat baru gempa saya di direksi kit, saya merasakan getaran yang cukup besar, saya kira itu pengaruh tower crane yang sedang mengangkat beban, tapi semakin lama – semakin membesar getarannya. Saya dan beberapa teman keluar dari kantor dan menuju zona evakuasi. saat keluar ke zona evakuasi gempa masih besar – besarnya. dari tempat evakuasi itu saya melihat dgn mata kepala saya sendiri bangunan perpus yang baru dibangun baru sampai lantai 5 itu, ujungnya seperti digoyang – goyang, subhanallah itu mengerikan, mana teman-teman pelaksana dan ratusan tukang ada diatas, mungkin hanya ada beberapa pekerja yang bisa turun. Mana kolom – kolomnya masih barusan di cor. Kalau saja durasi gempat itu beberapa detik lama entah apa yang terjadi!!!!!!

  4. kalau saya menilainya… sejak tsunami aceh, orang sudah kurang mandiri lagi..
    sedikit2 minta bantuan. kalau dulu setau saya gak ada yg minta bantuan.. mengandalkan kerja keras sendiri.

    tapi yah.. walau gimanapun.. mereka dalam bencana..
    bisa dibilang wajar, bisa dibilang gak..
    tergantung orang menilai..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *