Harus Ya, Kayak Gitu?

Belakangan ini grup kantor kami sedang hobi bikin acara kumpul-kumpul. Berawal dari sebagian orang yang beranggapan bahwa kita ini kan sudah capek menyiapkan launching ini launching itu, yang bikin sakit kepala setiap hari, muka ketat karena dikejar revisi ini itu, pulang telat terus, sehingga our boss – yang katanya gajinya luar biasa gede – diharapkan memberi apresiasi sedikitlah untuk kita para staff yang mati-matian ini.

Maka waktu itu diusulkanlah bahwa kita akan makan-makan di restoran seafood terkenal di daerah Ancol, booking dulu dan sehari sebelum acara, menu makanan sudah harus dipesan. Bos kita menyumbang sekian jeti rupiah katanya dan sisanya akan pakai uang kas. Itu adalah acara hura-hura pertama dalam rangka syukuran event yang (katanya) sukses. Eh sebenarnya sebelumnya juga sudah pernah ada acara hura-hura begini, tapi memang judulnya bukan syukuran tapi perpisahan seorang teman kantor – yang farewellnya menuai pro kontra karena dibikin di tempat karaoke dan para bos ditodong untuk menambahi uang kas. Farewell itulah cikal bakal akhirnya pemegang uang kas mengundurkan diri, soalnya dianggap terlalu sering foya-foya. Sudah, sudah, jadi intinya syukuran di tempat seafood itulah yang kita sebut sebagai acara bersama pertama.

Acara makan-makan itu lumayanlah, not bad. Kita happy karena kali ini kan acaranya makan-makan, jadi semua bisa makan, gitu. Kalau karaoke lagi, tak semua dapat kesempatan menyanyi. Yang ada, sebagian nyanyi, sebagian jadi tim hore, sebagian bengong, sebagian keluar ruangan untuk merokok, dan sebagian sibuk dengan gadget.

Nah sebelum liburan kemarin, ada usulan kumpul-kumpul lagi. Sudah bisa ditebak sih siapa tim hore yang paling suka hura-hura. Hura-huraaaa lagi, begitu pikir saya saat menerima email bahwa kita akan nonton bareng satu grup di Blitz pakai tiket gratis, dan untuk snack di dalam akan ditraktir oleh seorang head yang baru pindah ke tempat kami.

Seperti biasa, yang namanya kumpul-kumpul begini kan semua ikut voting, memilih dari pilihan film apa yang mau ditonton, lalu mulai dan selesai film jam berapa. Saya sempat komplen, kenapa sih kok bikin acara nobar di hari kerja, which is besok pagi-pagi sudah harus ngantor lagi. Udah gitu filmnya main jam tujuh malam pula. Alasannya pilih jam tujuh katanya karena bos-bos masih meeting kalau jam enam. “Kalau memang rencananya mau nonton bareng, sekalian aja berangkat jam tiga. Harusnya para bos-lah yang toleransi,” saya bilang begitu ke teman dekat yang kebetulan jadi panitia. Sejujurnya sih saya jengkel banget, karena sungguh tidak suka dengan acara-acara tidak jelas begini.

Saat lagi kumpul di kubikel, saya bilang, kalau nonton jam tujuh malam, sorry saya gak bisa ikut, soalnya selesainya saja jam berapa, lalu saya akan sampai rumah jam berapa. Lalu pada nanya, kenapa gak ikut aja sih. Saya katakan pada mereka, alasan utama saya adalah anak. Sudah beberapa waktu belakangan sering pulang malam karena pekerjaan, kok rasanya bersalah banget kalau pulang malam juga demi hura-hura. Dan kemudian tiba-tiba beberapa orang ikut berubah pikiran, langsung bilang kalau mereka juga akan batal saja, soalnya kemalaman. Maka saya berinisiatif menelepon teman saya yang sudah sampai di Blitz. Saya katakan bahwa di sini ada sekian orang yang membatalkan ikut nonton jadi jangan dulu dituker tiketnya. Aduh gimana dong, masa pada gak jadi? Gimana kalau voting ulang aja? So, voting ulang dilakukan, dan ternyata setengah dari satu grup setuju agar acara nobar dimajukan, terserah mau film apa. So, everybody happy, harusnya begitu bukan?

Something yang mengganggu saya adalah, beberapa orang yang dengan luwesnya menilai bagaimana seharusnya orang lain bersikap. Someone said like this, “Kenapa sih Bu Wur itu gak mau pulang malam? Anaknya kan udah esempe. Anak gue aja lebih kecil dia dari dia, gue gpp tuh. Yang penting kan udah izin.” Satu lagi bilang, “Embeerr… anak gue aja tiga, gapapa tuh. Kadang orang suka lebai deh ah.” “Iya, lagian sekali-sekali ini juga kita kumpul-kumpul.” Sungguh tidak enak hati mendengarnya, karena Bu Wur itu kebetulan baru pindah ke grup kami, jadi memang baru beradaptasi dengan gempitanya gaya hidup anak markom (yang belagu-belagu ini).

Bergosip di Belakang

Terpikir, bukannya seharusnya setiap mommy itu punya toleransi dengan sesama ibu? Setiap orang punya alasan sendiri kenapa dia bersikap begitu, dan sungguh buang-buang waktu berpikiran negatif tentang orang lain di belakang atau bersikap seolah paling tahu apa yang tepat untuk orang lain. Punya anak lebih banyak tak jaminan lebih senior dan menjadi lebih jago dalam urusan mengurus anak bukan?

Sikap mereka yang bicara seperti itu bikin saya mikir,”Ini pasti model ibu-ibu yang kalau di gerbong wanita, gak akan mau angkat pantat untuk ibu hamil!”

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

33 thoughts on “Harus Ya, Kayak Gitu?

  1. mulut ya.. emang doyan aja komentar. Semua orang kan punya prioritas. Ada yang setelah nikah masih senang sama teman ada yang lebih doyan sama keluarga. Udah ah.. kan pilihan masing-masing. Ga usah berisik ya.. hihi.

  2. Sama deh disini juga, masih mending lah disana yg kumpul orang2 kerja, lha disini yg kumpul ibu2 RT. Amplop deh, awalnya sih arisan, ampe ada 2 group arisan, anggotanya sama juga. Lalu tiap arisan gga di rumah lagi tapi di resto, dan masing2 saling tampil Okeh banget, dandanan, baju, sepatu, handbags. Semua diusahakan yg bermerek. Jadinya keliatan banget tuh hy untuk saling pamer, belum lagi heboh photo sana-sini dan lgs masuk ke FB. Terus-terang gw sih gga bisa deh ngikut2 pola hidup kayak gitu, norak banget. Tp mereka sih pada bangga tuh serasa the Real Housewife of bla bla bla. Pdhal bule2 sini, yg kaya2, tingkahlakunya malah sederhana sekali.

    • Zizy

      Iya sih, biasanya yang begitu itu yang kayanya nanggung or OKB. Di Indo sini juga begitu kan ya, ada beberapa kalangan yang sederhana saja meski aslinya tajir banget….

  3. Terpikir, bukannya seharusnya setiap mommy itu punya toleransi dengan sesama ibu? Setiap orang punya alasan sendiri kenapa dia bersikap begitu, dan sungguh buang-buang waktu berpikiran negatif tentang orang lain di belakang atau bersikap seolah paling tahu apa yang tepat untuk orang lain. Punya anak lebih banyak tak jaminan lebih senior dan menjadi lebih jago dalam urusan mengurus anak bukan?

    setuju dengan yang ini…

  4. oma

    setuju banget sama postingan ini!
    kadang orang lain suka ga ngerti dengan prioritas kita, kesannya kalau beda dengan mainstream itu sesuatu yang diharamkan -__-”
    waktu kan cuma 24 jam, masa semuanya harus untuk kantor

  5. sebenarnya kejadian seperti ini tidak hanya untuk ibu ibu saja… kasus seperti ini akan terjadi sama setiap orang yang punya tujuan hidup jelas. Artinya sudah punya dalam sudah mengerti mengenai prioritas. Penolakan penolakan karena benturan dengan prioritas sudah biasa terjadi.. dan itu adalah konsekuensi.

    Jadi omongan orang tetap harus diterima secara positif karena itu adalah bagian dari sebuah konsekuensi.

    Tulisan yang menarik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *