Ternyata saya belum melanjutkan cerita satu lagi perjalanan saat berwisata ke Danau Toba awal tahun ini. Di postingan terakhir saya sudah cerita bahwa karena kami memutuskan untuk tidak naik kapal ferry menyeberang ke Tiga Ras, akhirnya kami melaju dengan Hi-Ace saja. Boto Saragih cukup bilang, “Gaskan ya Bang!” Dan driver kami, orang Jawa Siantar langsung tancap gas setancap-tancapnya, LOL.
Ya beginilah memang kalau landscaper yang ngetrip. Kemana matahari pergi, ke situ kami kejar. Bagi yang belum terlalu aware dengan istilah landscaper, ini adalah sebutan buat para fotografer pengejar foto pemandangan.
Jam empat sore, hujan mulai turun menaungi perjalanan kami. Saya mulai khawatir, bah kalau hujan derasnya lama, gimana ini kita mau foto sunset? Gak mau rugi. Soalnya, kejar-kejaran dengan matahari di Danau Toba ini bukan seperti di Bali yang jarak antar pantai dekat, jadi habis kejar sunrise, lalu bisa explore jalan-jalan dulu, lalu muter dikit udah bisa menikmati sunset. Kalau di Sumut ini, mau menikmati sunrise dan sunset dengan latar Danau Toba artinya harus memutari danau.
Sebelumnya, sempatkan waktu untuk membaca cerita perjalanan saya menyusuri keindahan Danau Toba di sini:
- Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati – Bukit Holbung Samosir
- Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati- Sunrise di Tele Terlalu Indah
- Cerita Kampung Kanibal Huta Siallagan
Handphone bergetar, ada pesan dari mami saya. Nanya, sudah sampai mana? Saya celingak-celinguk memandang keluar jendela, ini udah masuk Karo belum ya? Kedua orang tua dan abang saya memang sangat bersemangat begitu saya bilang saya sama teman-teman kang foto mau kelilingin Danau Toba. Maklumlah, saya sudah dua belas tahun jadi orang Jakarta, dan kalau pulang ke Medan waktu pasti terbatas, karena tidak bisa libur terlalu lama, disesuaikan dengan jadwal anak sekolahlah, atau jadwal cutilah (dulu pas masih kerja kantoran), jadi tidak sempat berkeliling dalam arti benar-benar berkeliling. Sementara Papi, dulu waktu belum pensiun memang aktivitasnya di Siantar, dan selalu turun langsung ke lapangan bahkan sampai mengelilingi Danau Toba dengan kapal untuk mengetahui batas wilayahnya sampai mana dan juga berapa kedalaman maksimal Danau Toba. Abang saya juga begitu. Kalau pas mudik (dulu waktu belum ada tol) barengan nyetir mau ke Siantar, eh dia dong yang duluan nyampek, ternyata lewat jalan kampung jadi gak mesti kena macet di jalan lintas. Bah, curang kali!
Ibaratnya adalah, kalau saya cuma tahu kulitnya, mereka sudah tahu dalam-dalamnya. Kalau saya salah sebut, sama Papi dibetulkan haha.. Contohnya ya itu kayak di postingan terakhir yang saya bilang bahwa kita rencana berangkat dari pelabuhan di Simarjarunjung, langsung diralat sama Papi. Pelabuhan yang benar itu Tiga Ras, dan itu adalah wilayah Kabupaten Simalungun. Ini memang mesti tahu, karena ada tujuh kabupaten di Sumut yang memiliki Danau Toba, dan tiap daerah memiliki kebanggaan atas bagian Danau Toba-nya, gak boleh lho diklaim.
Jadi kalau ada teman yang (suka bolak-balik) cerita betapa indahnya liburan terakhir dia ke Toba, saya akan mengingatkannya lagi biar gak salah info aja gitu. Apakah yang dia maksud dengan Toba adalah Kabupaten Toba Samosir? Atau yang dia maksud Danau Toba di Parapat? Ternyata maksudnya adalah liburan ke Parapat. Hoooo oke kalau begitu, Danau Toba yang di Parapat itu masuk wilayah Simalungun, dan itu memang kawasan wisata utama Danau Toba yang sudah populer sejak jaman-jaman baheula. Kirain udah nyebrang ke sisi lain Danau Toba.
Oke lanjut ya. Kira-kira jam lima tiga puluh, hujan berhenti, dan kami pun tiba di Bukit Indah Simarjarunjung. Sudah mulai gelap, maka kami semua dengan sigap mengeluarkan peralatan perang.
Saya tak mau repot. Backpak ditinggal saja di mobil, jadi hanya nenteng kamera yang sudah dipasangi wide lens dan filter holder, tas filter sudah dicangklong, dan nenteng tripod. Oiya kali ini saya bawa tripod yang ringan dari bahan carbon, buatan China. Ini biasa saya pakai juga kalau moto cityscape karea kakinya bisa dijeberin. Tapi ini bukan untuk mantai, jadi kalau ke pantai harus bawa tripod satu lagi yang berat itu. Nah sekarang sebenarnya ada merek baru, bahan karbon, tripodnya kokoh banget kuatlah kalau dipakai foto di pantai. Tripod Leofoto. Saya sudah cobain punya teman saya, tapi belum beli, soalnya masih punya yang ini. Tapi itu pasti jadi pilihan kalau yang sekarang ada sudah rusak. Asli rekomen banget bagi yang sedang nyari tripod ringan tapi kuat dan kokoh.
Bukit Indah Simarjarunjung
Bukit ini berlokasi di Jl. Simarjarunjung, Butu Bayu Pane Raja, Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Akses jalan ke sini gampang saja, cuma memang jalanan menanjak, jadi kondisi mobil haruslah prima.
Pada dasarnya, tempat di Sumatera Utara yang lagi hits ini adalah sebuah spot berfoto dengan latar belakang lanskap Danau Toba. Saat saya turun dari mobil, saya melihat banyak konsep foto yang unik khas milenial di sini, seperti gardu pandang, rumah pohon, sky bike, ayunan, yang memang kalau saya baca informasinya, diadaptasi dari Kalibiru.
Kami berpencar, menempati gardu pandang untuk mengambil foto. Saya ikut dengan Boto Saragih ke satu gardu pandang, sempit-sempitan karena tripod juga ikutan berjejer. Eniwei, kalau dibandingkan dengan gardu pandang di Air Terjun Kedung Kayang, gardu pandang ini kelihatannya sih aman ya, tidak terlalu serem, maksudnya jarak antara gardu dengan tanah di bawahnya tidak terlalu jauh seperti Kedung Kayang. Setelah itu saya pindah ke gardu pandang satu lagi, sementara ada teman-teman yang juga pindah ke spot selfie.
Saya tak punya pula foto diri di spot selfie, sebab sore itu ada yang jauh lebih indah. Danau Toba yang berwarna biru kehijauan dikelilingi bukit-bukit dan pepohonan warna hijau gelap. Pendaran matahari di balik awan masih bisa terpantul pada permukaan danau. Sebuah keindahan yang sanggup membius mata. Aahh…
Setelah hari sudah sangat gelap (sudah jam tujuh malam dan memang tak ada penerangan di sana), kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan, yaitu ke Tongging. Rencananya kami akan menginap di sana untuk mengejar matahari terbit keesokan harinya di Bukit Gajah Bobok.
Cerita ini sudah saya tulis duluan di sini: Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati – Menyegarkan Pikiran di Bukit Gajah Bobok
Oh iya, yang agak susah ditemukan dalam perjalanan kami dari Bukit Simarjarunjung ke Merek adalah tempat makan yang layak dan juga halal. Sempat ketemu satu warung di pinggir jalan, kami mampir sudah duduk eh katanya habis, yang ada cuma mie rebus, padahal tadi pas di depan masih ada. Ternyata temannya kebur melayani orang yang datang takeaway. Lalu pindah tempat lagi, dan ada satu yang mirip rumah makan padang, so ya sudah kita makan di situ, gak ada pilihan lagi. Soalnya sudah terlalu malam juga.
Dan ya, akhirnya badan baru terasa rontok begitu sampai hotel jam 10 malam. Luar biasa terasa lelahnya badan. Tapi tak apalah, demi bisa menikmati pemandangan indah Danau Toba.
Salam saya,
-ZD-
Pingback: Bukit Bawang di Terasering Panyaweuyan Itu Indah Banget! | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: 6 Tempat Wisata Ini Cocok Jadi Pilihan untuk Refreshing Setelah Pandemi COVID-19 | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
Pingback: Drama Sebelum Naik Pesawat | Life & Travel Journal Blogger Indonesia
aduh saya jadi teringat rencana saya tahun gagal karena corona
udah planing mau ke berastagi terus ke danau toba
aku pengen banget foto foto di sana
apalagi habis liat serial TVRI Anak Siampudan makin pengen
indah banget mbak
Begitu corona berlalu, segera tancap gas lah ya…