Menghitung Waktu

Sebuah tulisan lama dari blog lama yang sudah ditutup. Pindah posting ke sini untuk menyimpan semua kenangan, dan buah pikir.
Diposting pertama kali pada 3 Sept 2009, so mari kembali ke 11 tahun lalu!

Malam ini aku lelah sekali. Hampir enam belas jam aku habiskan di luar rumah, dan kembali ke rumah di saat badan sudah letih dan teriak-teriak minta istirahat.

Hidup di Jakarta memang harus gesit, harus pintar kejar-kejaran dengan waktu. Buatku waktu begitu berharga sehingga setiap menitnya pun aku hitung dengan teliti. Salah satu teror yang menyeramkan, sampai menitpun aku hitung.

Sore tadi ada acara buka puasa bersama dari kantor kami di Ballroom Djakarta Theater. Waktu berbuka di Jakarta adalah pukul 17.54. Aku sudah tiba duluan tepat jam 17.00, tapi itu kan tidak masuk hitungan. Jam acara tentunya dihitung pas ketika ceramah agama sudah dimulai.

Dan tepat ketika saat berbuka tiba, aku langsung melihat jam tanganku. Mulai menghitung waktu. Berapa lama aku harus makan dan minum dan berapa lama aku harus mengobrol dengan teman kantor. Karena aku sedang berhalangan puasa, aku tidak hitung waktu untuk sholat.

Pertama ambil waffle. Balik ke meja dan ngobrol sambil makan. Selesai makan waffle, aku lihat jam lagi lalu kembali ambil bakso. Begitu juga ketika aku akan ambil dua potong dimsum. Untunglah semua kudapan itu porsinya kecil jadi bisa puas dicicipi.

Tepat jam 18.20, aku berbisik ke temanku. Aku bilang aku mau pulang. Temanku bilang ya tidak apa-apa. Pulang saja, toh tidak ada yang melihat. See? I just need 26 minutes to eat & chit chat. Berarti sekitar 1 jam 26 menit aku ada di acara itu. Diam-diam aku kabur keluar dari ballroom, menyeberang ke Sarinah, dan mengirim pesan text ke pak supir agar menjemputku di lobby belakang.

Kadang aku berharap aku bisa seperti teman-teman yang lain yang bisa meninggalkan anaknya sebentar saja untuk bersenang-senang atau menghadiri acara kantor, tapi aku tidak bisa. Aku pasti merasa sangat bersalah kalau pulang terlalu malam dan hanya bisa mendapati anakku sudah tidur saat aku pulang. Apalagi malam ini bukan cuma acara berbuka puasa saja yang harus aku kejar, tapi aku juga ada janji ketemu orang.

Untunglah rekanku itu mau mengerti. Di pertemuan kami sebelumnya aku mengusulkan agar kami bertemu di Buaran Plaza saja, karena itu jelas lebih dekat dari tempatku dan juga tempatnya. Hanya 5-10 menit dari rumah. Bertemu di La Piazza memang kesannya keren, tapi termasuk jauh dan macet kalau sudah jam pulang kantor. Bisa makan waktu sejam hanya untuk pergi saja. Ingat, aku perhitungan soal waktu kan?

Supir kusuruh sedikit ngebut. Aku sudah janji pada suamiku bahwa aku akan pulang dulu ke rumah untuk bawa anakku ikut ke Buaran. Suamiku sedang ke luar kota, dan sesuai perjanjian kami, kalau salah satu berhalangan pulang cepat maka yang satu harus berusaha duluan sampai di rumah untuk menemani anak.

Menghitung Waktu

Anakku menatapku tanpa ekspresi. Dia memang selalu begitu kalau dilihatnya maminya pulang kemalaman. Aku menggodanya dan dia langsung berlari minta digendong. Sambil aku gendong, tangan kirinya mulai plak plak. Hmm. Aku menangkap tangannya dan menegurnya pelan. Anakku memang berbeda, dan aku berusaha agar tidak salah dalam menyikapinya. Setelah itu dia memelukku dan mulai ngoceh-ngoceh lagi.

Sebenarnya mataku sudah penat sekali. Cepat-cepat aku mengambil kapas dan membersihkan mataku dari eyeshadow. Lalu cuci muka biar sedikit segar. Mengganti baju dengan blus coklat favoritku yang nyaman, lalu keluar kamar dan menggendong si kecil Vaya. Sepuluh menit lagi jam 8, itu adalah waktu janji temu dengan rekanku. YM ku berbunyi, dari dia. Katanya dia sudah sampai di JCo. Ok, balasku.

Tiba di Buaran Plaza terlambat tiga menit dari jam 8. Hmm. Ini akan jadi diskusi yang lumayan lama. Minimal satu setengah jam. Sambil kami berdiskusi, anakku mulai rewel. Mungkin karena mengantuk. Dia ingin selalu dekat denganku, tapi karena orang yang kutemui ini merokok, aku tidak ingin anakku terlalu dekat. Kalau rokoknya habis, baru aku ambil anakku. Tadi dia menghujaniku dengan ciuman penuh iler. Hmm… sudah lama lho dia tidak mencium aku atau ayahnya. Suka gengsi kalau disuruh. Baru tadi dia dengan keinginan sendiri mencium maminya.

Aku baru ingat. Aku tadi  tidak pesan apa-apa waktu duduk di Jco. Hahahaha…….. aduh jadi gak enak, kok kayaknya aku hemat banget ya? Udah gitu dengan pedenya aku keluarkan termos minum dan aku seruput isinya.

Tahu kenapa aku tidak memesan? Karena kalau aku berdiri dan mengantri, itu berarti aku akan menghabiskan waktu lagi untuk hal yang kurang penting. Targetku tentu pertemuan itu harus segera kelar, biar kami bisa pulang dan istirahat. Mestinya si pegawai Jco itu berinisiatif untuk menawarkan menu, kayak di Bakoel Koffie La Piazza. Tapi ya sudahlah, toh minggu sebelumnya aku juga beli kok.

Jam setengah sepuluh lewat lima menit, kami pulang. Vaya tertidur pulas di pangkuanku, popoknya sudah bocor karena tadi terlalu lasak main kesana kemari. Kucoel-coel pun pipinya dia diam saja. Sudah lelap ternyata.

Aku melihat jam tanganku lagi. Lalu melihat keluar. Daerah Buaran masih agak ramai. Tapi sebentar lagi pasti sepi. Para pengemis dan pemilik topeng monyet yang biasa mangkal di lampu merah sudah tidak ada. Oh ya, di Buaran sini tidak ada chicken fillet, itu sejauh pengamatanku sih.

Bila ingin tahu apa itu chicken fillet, akan kutulis lain waktu.


Baca juga:

  1. Kutakut Jadi Sombong
  2. Makan Nasgor Pake Emosi
  3. Nguping Kata Orang Aceh di Warkop Elizabeth Medan

Capek sekali. Sekarang sudah saatnya tidur. Tak peduli jam berapapun aku tidur, jam bangunku tetaplah harus sama. Begitu pula dengan jam berangkat ke kantor. Seperti kubilang, hidup di Jakarta memang harus kejar-kejaran dengan waktu, hingga ke menitnya pun aku hitung.

Gud nite….

 

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *