medan

Minggu Lalu Saya Ada di Medan

Di satu sisi, Medan tidak banyak berubah. Di sisi lain, perubahan juga terasa. Minggu lalu saya ada di Medan, pulang karena papi sakit dan opname. Ada masalah dengan ginjalnya, mengakibatkan tangan kaki bengkak dan sesak napas. Solusinya adalah hemodialisis, atau cuci darah. Dari dulu sudah disarankan oleh dokter, tapi papi saya bertahan tidak mau.

Bayangan mengerikan tentang cuci darah membuat orang takut. Padahal ketika sudah dilakukan, tidak seseram yang dibayangkan. Malah papi sekarang sudah lebih segar. Yang penting harus kuat makan agar stamina terjaga, karena proses hemodialisis opung Vay ini sampai lima jam.

Hari keberangkatan Selasa 11 Juni

Setelah memastikan semua kebutuhan untuk Vay lengkap, baru saya berangkat ke bandara Halim. Setiap hari ada asisten yang datang bersih-bersih jadi sekalian bisa bantuin masak untuk makan siang. Ada rendang, ayam ungkep, telor, tempe, nugget. Alhamdulillahnya lagi, tante saya yang tinggal dekat dari sini juga bilang bakal ngecek-ngecek Vay. Token listrik juga sudah diisi, jaga-jaga kalau saya harus lama di Medan.

Penerbangan dari Halim memang tidak banyak, tapi ini lebih dekat dari rumah. Dapatnya Batik Air, berangkat jam 12 siang. Bandara Halim masih begitu-begitu saja, kecil dan bersahaja. Yang menunjukkan bahwa itu adalah bandara karena ada kedai kopi Starbucks.

Saya nongkrong di satu kedai kopi lain yang saya lupa pula namanya haha. Harga makanan minumannya lumayan mahal, khas bandara. Saya pesan americano, kata mbaknya yang available ukuran medium, yang kecil lagi tidak ada. Padahal begitu cupnya datang saya lihat airnya hanya dua pertiga.

ngopi di bandara halim

Tiba di Bandara Kualanamu jam tiga, saya masih harus menunggu jadwal KA bandara 1 jam lagi. Kalau ke Medan atau Kualanamu, sendiri atau berdua, lebih hemat naik KA bandara, duduk nyaman, tidak kena macet di Tj Morawa. Sampai di stasiun Lap. Merdeka Medan, tinggal dijemput. Tapi kalau ramai-ramai memang mending naik Grab langsung dari bandara.

Papi saya dirawat di RS Murni Teguh, yang berada di belakang stasiun. Enak betul, keluar stasiun abang saya sudah jemput dan kita cuma geret koper aja kira-kira 50 meter.

Pas keluar, ada ibu-ibu langsung nawar becak minta diantar ke RS. Abang saya bilang, “Buk jalan aja itu di depan RS-nya.”

“Tahunya aku di situ rumah sakitnya. Aku sakit aku… gak kuwwatt aku jalaan.” Padahal tetap saja nanti becaknya gak bisa masuk ke lobby, ibu itu harus jalan lagi dari gerbang masuk yang berundak-undak itu.

Saat saya tiba, Papi lagi diuap karena sesaknya. Jadwal cuci darahnya malam, jadi saya menunggu di situlah sampai malam.

RS Murni  Teguh ini memang ramai nian. Kamar tidak pernah kosong, malah orang harus bertahan ngantri di UGD biar bisa dapat kamar. Tadinya Papi sudah datang hari Rabu seminggu sebelumnya, tapi kamar VIP tidak ada yang kosong, dan kalau mau menunggu harus standby di UGD, tapi kan capek ya. Asistennya Papi mau tidur di mana, tidak ada ruang tunggu. Alhasil pulang saja sambil berharap ada lagi di minggu depan.

Tapi pas Sabtu sore Papi sudah sesak banget, mau ngomong aja sesak napas. Jadi langsung ke RS, nunggu di UGD dulu baru kemudian masuk kamar Kelas I, pas lagi ada yang kosong. Berdua dengan pasien lain yang mau operasi empedu. Ya tak apa-apa kan sekamar berdua, justru enak karena jadi tidak sepi. Ada tetangga bisa saling menguatkan dan mendoakan. Cuma ya untuk pendamping gak ada kasur atau sofa, jadi kita harus menyewa tilam lipat tipis, biayanya 150 ribu untuk 3 hari.

Waktu saya datang, tetangga Opung Vay sudah ganti orang. ASN, mau operasi empedu juga kayak pasien sebelumnya, dan orang Siantar juga. Istrinya tidur berdua saja berhimpit di ranjang sama suaminya, cukup.

Kita bersyukur sekali karena dokter spesialis ginjal yang handle Papi itu sepupunya Aturang Vay (istri abang), jadi waktu hari Minggu kemarin itu dia sempatkan datang visit Papi meski jauh. Biasanya Sabtu-Minggu dokter kan libur, yang ada di RS hanya dokter-dokter muda yang masih takut.  Kalau kata abang saya, “Takut kali ditanya, begitu datang periksa bentar buru-buru kabur orang itu.”

Saya balik ke rumah jam delapan malam, bawa mobil Papi yang diparkir tulangnya Vay di luar RS. Tulang Vay sudah pulang duluan ke Siantar karena ada rapat besok pagi, pulang bareng mobil temannya. Jadi saya yang akan pulang pergi rumah – rs setiap hari. Alam standby di RS menjaga Papi, karena memang dia yang tahu bagaimana menghandle Papi.

“Bisanya, Bang?” Saya dengar PS tukang parkir berkata begitu ke Alam, supir Papi.

“Udah biasa.” suara Alam.

Kang Parkir itu rupanya mengomentari saya yang akan menyetir mobil Camry. Mobilnya besar, orangnya kecil. Mobil Papi ini sudah tua, usianya lebih tua dari usia Vay, dulu bekas mobil pas Papi menjabat. Tapi asli masih enak banget. Beda memang sih tarikan mobil cc besar terus manual, dibandingkan mobil biasa. Dibandingkan mobil saya yang umurnya masih muda aja, ini lebih enak.

Susahnya RS ini adalah parkirnya. Di dalam selalu penuh, kalau mau ya di luar, parkir dengan PS-PS. Sebenarnya parkir di Medan yang tidak ada sistem elektronik itu gratis, jadi parkir-parkir liar di tempat seperti ini tuh harus kuat-kuatan ngegas.

Di hari ketiga tukang parkir minta 20 ribu, gila apa, kenapa jadi sama dengan biaya parkir di dalam RS kalau seharian? Saya kasih 10 ribu dia komplen. Katanya dia harus setor.  Saya gak peduli meskipun dia merepet-repet. Udah syukur dia gak diangkut.

Banyak orang muda lagi cuci darah.

Saat saya menemani papi saya cuci darah, saya kaget juga melihat banyak pasien muda-muda sedang tindakan. Rata-rata empat puluhan tapi ada yang sekitar awal 30 tahun. Mereka pasien lama, rutin datang seminggu beberapa kali.

Selama di Medan saya tidak kemana-mana, hanya rumah dan rumah sakit saja. Sepanjang jalan kalau ke RS, saya menangkap banyak kenangan saat masa kecil dulu. Seperti saat melewati Kolam Renang Deli di Jl Sutomo yang entah apakah masih terawat atau tidak, lalu saat melewati Sambu.

Ternyata Medan memang masih begitu-begitu saja.

Saya pulang hari Sabtu.

stasiun kereta medan merdeka

Tidak tega juga meninggalkan Vay terlalu lama di rumah sendirian. Meski dia berani tapi untuk makan malamnya yang repot. Vay pilih-pilih kalau jajan, jadi selama beberapa malam saya order GrabFood dia mulai bosan karena pasti akan itu lagi itu lagi.

Alhamdulillah hari Sabtu kemarin saat saya masih di RS menunggu jam naik KA Bandara, sudah ada izin pulang dari dokter untuk Opung Vay. Sekalian sudah diberi rujukan untuk kedatangan cuci darah berikutnya, jadwal untuk Papi itu Selasa dan Jumat.

Pertama cobain KA Bandara Soetta.

Beberapa tahun lalu saya sudah pernah naik KA Bandara Soetta ini, dalam rangka motret untuk Railink. Waktu itu stasiunnya masih sampai Stasiun BNI yang dekat dari tempat saya. Tapi sekarang kan sudah sampai Manggarai, berarti sudah jauh lebih dekat ke rumah saya di Duren Sawit.

Tiba di Terminal 3 jam 18.40, saya bergegas mencari  jalan ke Kalayang. Ini adalah kereta yang menghubungkan ketiga terminal, dan Stasiun Bandara ada di tengah-tengah Terminal 2 dan Terminal 1.

Semua penumpang terburu-buru berjalan karena KA jam berikutnya adalah jam 19.42. Saya ragu, ini beli tiketnya di mana ya kok tidak ada petunjuk apa-apa seperti di KA Bandara Kualanamu?

Ada seorang mas-mas yang sepertinya paham ada ibu-ibu bingung, dia jalan pelan-pelan. Lalu saya hampiri dia dan tanya ini beli tiket apa harus online atau bagaimana. Masnya ngasih tahu kalau di dalam nanti ada mbak-mbak yang bantuin. Ah makasih!

Ohhh iyaaa!  Benar saja. Begitu masuk ke dalam stasiun, baru deh saya ingat lagi kalau dulu pernah ke sini, dan di situ ada vending machine ntuk tiket.

Saya mengantri di belakang bapak-bapak yang jugaa baru pertama kali mau naik KA Bandara Soetta. Dibantu sama seorang anak muda petugas Railink di sebelah mesin. Aman sudah saya akhirnya bisa pegang tiket, dan tinggal menunggu beberapa menit lagi untuk naik KA. Biayanya 70 ribu sampai Manggarai.

Stasiun Manggarai adalah tujuan terakhir. Satu jam kemudian saya sampai di Manggarai, dan mengikuti penunjuk arah ke arah pintu keluar Pasaraya. Untunglah pulangnya pas wiken, jadi tidak kena horornya cerita Stasiun Manggarai itu, meskipun saya juga tidak tahu ada di sebelah mana.

Pesan Grab, hanya 45 ribu saja sampai ke rumah. Wah ini sih hemat lebih 60% dibandingkan naik taxi, seperti yang biasa saya lakukan selama ini. Perjalanan total dari Bandara ke rumah hampir 2 jam, ya biasalah.

Kesan saya terhadap KA Bandara Soetta? Lancar, nyaman, bersih, kerenlah pokoknya. Mungkin di keberangkatan berikutnya saya akan naik KA saja ke Bandara.

2 Comments

  1. Mba Izzy ????… Dah lama ga mampir sini.

    Baca lagi udh ttg Medan , aku kangen juga Ama Medan ?. Cuma kesana Krn nemenin papa berobat ya Mbaaa. Semoga kondisi papa semakin sehat setelah cuci darah yaaa ?

    Masalah anak muda yg juga udh banyak cuci darah, aku pun sereeem mba. Kenapa yaa, apa Krn keseringan konsumsi manis, atau gimana ?. Aku sampe ngebatasin skr kopi susu yg aku minum.

    Aku malah blm cobain yg kereta api bandara di KNO ataupun CGK. Abisnya stasiun trakhir jauuuh dr rumah ?. Lebih praktis taxi Krn keluar tol Rawamangun langsung masuk rumahku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *