Ada teman yang bilang wajah saya ini wajah yang tidak mudah kena tipu. Dia bilang begitu gara-garanya begini. Suatu pagi, ketika sedang jalan ke kantor, seperti biasa saya suka lihat kanan kiri. Nah, saya lihat di depan sebuah toko yang masih tutup, kok, ada tiga sepeda motor berbaris dengan posisi menghadap jalan dan pengendaranya sudah ready mau jalan. Yang satu berbaju hitam — kulitnya pun hitam dan wajahnya kaku kayak tampang kriminal — menatap saya. Saya memandangnya balik, menganalisa. Dan sejurus kemudian orang itu menjalankan motornya dan mengiringi mobil saya. Oow, saya langsung waspada. Jangan-jangan saya mau dikerjai dengan modus ban kempes. Sudah tahu kan modus ini? Jadi ada satu atau dua pengendara yang bergantian menunjuk ban mobil — umumnya target mereka perempuan — lalu saat mobil menepi dan pengemudinya turun, seorang rekannya yang lain langsung mencopet tas dan barang-barang dari sisi mobil. Seorang teman saya sudah kena tuh, di Menteng, sekitar awal tahun ini.
Dan benar, si preman tadi langsung menunjuk ban kiri depan saya. Lalu saya lihat dari spion kanan — menunggu mana nih temannya — dan ternyata seorang lagi temannya, mengenakan jaket kulit — wajahnya biasa saja kayak tampang orang baik-baik, berjalan di sebelah saya, menunjuk ban juga, lalu berlalu cepat dengan motornya. Tapi mbok ya cerdas dikit kek, masa temannya nunjuk ban kiri, dia nunjuk ban kanan? Aduuuh.. kelihatan deh gak profesional.
Jengkel, saya buka kaca jendela kiri dan langsung membentak — maaf sebelumnya buat pembaca — “Apa kau, Kambing?” Entahlah si preman tadi dengar atau tidak. Yang pasti mereka berdua belok ke kiri, ke arah Jalan I Gusti Ngurah Rai, dan saya mengikuti juga, sambil menyalakan kamera handphone, pengen jepret gitu maksudnya kalau dapat. Dan, saya melihat kedua penipu tadi sedang parkir di turunan, yang dekat tukang jual-jual lemari di Klender itu. Mungkin mereka berharap saya akan termakan modus mereka dan menepi. Maaf, yaa…. Anda tidak beruntung.
Saat saya cerita ke teman saya itulah, dia kemudian memberi komentar itu. Tampang saya, tampang yang tak mudah ditipu. Padahal, kalau menurut saya, banyak yang menyangka saya ini akan mudah dikelabui.
Seperti kemarin, saat wiken saya ke Kota Kasablanka Mall. Kebetulan waktu lewat lantai LG, saya tertarik ingin singgah ke salah satu toko elektronik besar di situ, toko yang slogannya “ngasih solusi elektronik”. Ingin lihat, harga lensa 18-200mm untuk Samsung NX berapa harganya? Nah, seorang pegawainya bilang, mereka tidak punya lensanya, karena hanya jual unit saja. Tapi lalu dia suruh saya menunggu, dia mau tanya dulu ke dalam. Ya saya pun menunggu. Tak berapa lama dia kembali, dan mengatakan ada barangnya. Saya diajak ke bagian customer service, dan di sana ada temannya. Mereka membuka majalah product dan menunjukkan gambar lensanya, dan mengatakan kalau harga untuk 18-200 itu Rp3,3juta. Saya tanya, barangnya adakah? Kataya ada. Lalu si temannya itu menganjurkan saya beli lensa Tamron saja dan pakai converter. Ih, ini nih yang saya gak suka, model penjual yang terlalu ngajarin orang. Mungkin dipikirnya saya ibu-ibu impulsif kali ya. Saya menolak, dong. Saya bilang begini ke dia, kalau saya mau pakai yang berat, saya sudah punya di rumah. Yang saya cari yang memang untuk ini, bukan lensa merk lain. Mereka berdua berusaha merayu saya agar saya membeli tapi saya ragu karena di majalahnya itu tidak ada yang warna pink, dan harganya kan mahal ya jadi harus compare dulu dong dengan toko lain. Saya bilang ingin lihat barangnya, katanya belum ada, sore baru ada. Oh, mungkin maksudnya mau diambil dulu ke gudangnya, pikir saya.
Saya bilang ya sudah nanti saja deh. Nah, lalu si pegawai yang pertama itu tadi melihat NX2000 saya dan kemudian ngeh kalau belum pakai filter. Dan dia menawarkan. Oh iya, saya mau deh, kata saya. Saya juga baru sadar, kok saya belum belikan filternya ya? Lalu pegawainya itu pergi ke dalam ruangan dan kembali dengan kotak filter. Dia bilang ke saya, garansi seumur hidup, tapi kotaknya jangan hilang. OK, kata saya. Saat dia berlalu mencari screen protector — ini pun belum saya pasang — saya mendapati kalau kotak filternya itu sudah jelek. Itu kotak lama. Loh? Apa ini? Dia mencoba jual barang bekas ke saya? Saya langsung curiga, jangan-jangan dia sedang mengambil product baru di depan, kemudian menukar isinya.
Orangnya kembali dan bilang ternyata tidak ada screen protector yang pas. Ya sudah, berarti hanya filter saja. Saya tanya, berapa harga filternya. Katanya tiga ratus lima puluh ribu dan bayarnya di situ. Saya bilang, saya mau bayar pakai credit card. Lalu katanya tidak bisa, harus cash. Oke, sampai di sini saya sudah paham. Ini dua orang pegawai ini mau curang, sudah jelas. Mau menjual barang bekas mereka ke calon pembeli, dengan trik menyuruh pembeli menyimpan kotaknya seakan-akan itu garansinya. “Lho, Mas. Jadi ini bukan barang jualan di sini?” Tanya saya. Dia pun menjawab, “Bukan, Bu. Ini memang barang kami, soalnya di sini tidak dijual. Kita memang bantu pelanggan, kalau ada yang cari.” Alis saya naik dua-dua.
“Mas, yang benar aja. Kalau tidak ada struk, bagaimana saya bisa klaim, kalau nanti ada masalah?”
“Saya kasih nota, bisa gak Bu? Nanti Ibu simpan saja kotaknya. Nanti Ibu bisa simpan nomor handphone saya. Nomor saya gak ganti-ganti kok.” Nah kan? Menurutnya saya akan percaya kali ya dengan alasan itu? Kenal juga enggak. Tahu-tahu besok dia sudah gak kerja lagi di sana.
“Kalau yang lensa tadi gimana? Bayarnya harus cash juga atau bisa pakai credit card?” Pancing saya. “Harus cash juga, Bu.” Bah, sudah gila memang kawan ini. Ternyata mereka mau ambil barang dari luar dan dijual diam-diam di situ. Mana mungkin saya mau beli dari dia, cash! Mending beli di toko langganan di GI, jelas garansinya.
Udah mau meledak rasanya mengetahui mereka mau mencoba mengelabui saya. Tapi saya tahan. Tidak mau langsung menuduh dan menyemprot dia. Dan tidak ada juga supervisornya karena itu masih pagi, mall baru buka juga. Saya katakan saja, saya tak bisa beli barang tanpa struk jelas pembelian, karena ini harus saya klaim ke kantor. Lalu dia membuka lagi filternya itu sambil bilang itu hanya ada satu. Sukak kaulah, macam betul aja cuma kau di Jakarta ini yang jual itu.
“Ayo, Sayang. Pergi kita dari sini. Sama sekali gak dapat solusi di sini, yang ada mau ditipu.” Saya gandeng Vay dan langsung pergi. Syukurlah, mereka tidak beruntung dengan saya. Mudah-mudahan pun tak beruntung juga dengan calon pembeli lain.
wah baru tahu ada modus seperti ini,,thanks sharingnya mba…