Ternyata Ga Gampang Mecat Orang

Ternyata memecat orang itu tidak gampang. Mengucapkan langsung kata-kata “Anda kami berhentikan.” atau “Mulai besok lu orang gak usah kerja lagi.” ternyata tidak semudah waktu latihan ngucap di dalam hati.

Apalagi untuk saya yang jabatannya di kantor hanya anak buah, yang jelas tidak pernah punya pengalaman memecat anak buah. Lain halnya dengan hubby yang kebetulan punya hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap anak buahnya.

But, tadi siang, saya harus memberhentikan dua orang pegawai saya di rumah ini — dengan bantuan hubby, karena yang mo di-phk adalah pegawai laki-laki dan saya tidak merasa nyaman kalo saya yang harus bicara.

Setelah kedua pegawai itu pamit untuk pulang, hati saya merasa sangat bersalah. Walaupun keduanya diberi pesangon yang layak, tapi tetap saja saya merasa bertanggung jawab atas jobless nya mereka.

Jadi begini awal ceritanya. Ada lima orang pekerja di rumah ini. Satu driver (lelaki usia > 35thn), satu tukang kebun & kolam (laki2 remaja usia 17thn), dua cewek bedinde alias asisten rumah tangga, usia 35 dan 17 jg, dan satu babysitter (usia 33) untuk urus Vaya. Yah jadi bisa bayangkan bukan, di rumah ini, ada lebih banyak pegawai daripada majikan. Soalnya hanya saya, hubby dan anak kami yang tinggal di rumah ini.

Dua laki-laki itu sudah kerja setahun, tepatnya saat saya hamil tua. Jadi waktu itu papi saya buru-buru cari driver, katanya biar saya ada yang supirin ke kantor, kasihan lagi hamil kalo nyetir sendiri. Padahal saya sudah bilang tidak usah, toh saya juga akan segera cuti hamil, trus juga masih sanggup setir sendiri, secara saya sudah mulai nyetir sendiri sejak kelas 2 esempe. Jadi gak betah kalo disopirin kemana-mana. Nah, si driver ini menyarankan si Riki, anak tanggung itu untuk bantu-bantu di rumah sebagai pembersih kolam & halaman. Papi saya setuju saja, karena papi saya kasihan sama si Riki yang sudah putus sekolah. Si Riki ini pernah saya ceritakan di sini. Ya sudah, saya dan suami mengalah, walaupun kami gak setuju karena Riki itu masih anak tanggung, emosinya pasti masih meledak-ledak.

Nah 2 bedinde itu bergabung sejak lebaran kemarin, menggantikan 2 bedinde sebelumnya yang juga hanya betah 6bln. Ini adalah art kedua sejak bedinde yang buru-buru minta pulang kampung, tp lalu sms minta balik lagi. :p

Secara kualitas mereka semua di rumah ini kerjanya baik. Malah 2 bedinde inilah yang paling cocok menurut saya. Mungkin karena mereka diimport dari Siantar sana, jadi kita serasa keluarga karena sama-sama orang Sumatera.

But, hari Minggu lalu, pagi hari ketika saya baru selesai kasih makan Vaya,  salah satu bedinde, si Ayu yang masih usia 17, menghadap saya (halah bahasanya menghadap… kayak mo ketemu pejabat aja ya..).

Dengan mata berkaca-kaca, si Ayu cerita kalo selama ini dia diperlakukan tidak pantas oleh si driver dan si Riki itu. Tidak perlu saya jelaskan panjang lebar ya disini, tapi intinya kedua lelaki itu melakukan sesuatu yang sifatnya pelecehan seksual terhadap dia. Dan itu berlangsung sejak pertama kali mereka datang di Jakarta. Mungkin awalnya cuma bercanda, tapi lama-lama ya jadi menjurus.

Jadi kedua bedinde ini pun minta pulang (mereka ini sodaraan). Katanya mereka sudah cerita ke bapaknya Ayu di kampung, dan bapaknya langsung minta mereka segera balik saja. Terkejutlah saya mendengar ada kejadian seperti itu di rumah. Karena di depan saya, hubby dan keluarga kami, kedua lelaki itu selalu bersikap sangat sopan dan santun. Tapi itu belum selesai. Dari ceritanya kedua bedinde itu, saya baru tahu kalo selama saya dan hubby tidak di rumah, si Riki itu kadang suka terlalu bebas masuk-masuk rumah. Malah suami saya beberapa kali memergoki mereka suka minum minuman keras di garasi depan. Hmmm…

Saat itu juga saya bilang ke para bedinde, saya akan pikirkan dulu skenarionya seperti apa kalo saya mau pecat mereka. Sebenarnya kalo kedua bedinde ini pulang, lalu diganti dengan bedinde-2 baru yang sudah tua ato misalnya cari bedinde suami istri, pasti lebih aman kan?

Tapi bukan begitu pikiran saya. Yang pertama kali saya pikir adalah keselamatan anak saya di rumah selama saya dan suami ngantor. *Vaya memang di rumah sendirian dengan bedinde dan babysitter, karena gak ada opung atau sodara yang bisa jagain.

Kalo mereka saja sudah sering mabok-mabok begitu, lalu sudah berani masuk-2 ke rumah tanpa saya ada di dalam, lalu perilaku pelecehan seksualnya terhadap bedinde,  jelas sekali itu perlu dikhawatirkan. Apalagi beberapa waktu lalu si Riki pinjam uang ke saya, katanya untuk biaya pengobatan ayahnya. Saya kasih, dengan catatan potong gaji tentu ya. Nah, siapa yang bisa jamin dia tidak akan kalap, entah tiba2 lagi butuh duit lalu merampok? Huu… can’t imagine lah apa saja yang bisa dia lakukan. Memang salah kita juga, sudah tahu anak tanggung begitu tapi tetap dipekerjakan. Ya pasti kan dia juga mau pacaran, mau bergaul. Tapi di rumah kan dibatasi. Jadilah yang kena bedinde.

Buat saya, terserah saja kalo si bedinde tetap mau pulang. Ya, si Ayu bilang dia trauma. Jadi saya tidak memaksa mereka untuk tetap kerja, gimanapun juga kalo orang sudah tidak nyaman untuk apa dipaksa toh? Tapi teteeeepppp…. sebagai wujud tanggung jawab saya dan hubby terhadap para bedinde ini, saya mengambil keputusan untuk memberhentikan kedua laki-laki itu. Awalnya saya minta papi saya yang bicara, toh dua orang ini kan yang rekrut papi saya, tapi papi saya menolak karena katanya dia malas berurusan lagi dengan kedua orang itu.

Ya sudah, siapa lagi yang bisa disuruh ngomong kalo bukan hubby? Pengalaman dia memberhentikan orang sudah sering, jadi dia pasti sudah tahu bagaimana harus menyampaikan berita duka itu ke ybs tanpa membuat ybs merasa dipecat dengan tidak baik-baik.

Oh iya, kami sepakat untuk tidak memberitahukan alasan yang sebenarnya pada mereka. Pertama, kalo dikasih tahu alasannya karena pelecehan seksual, pasti keduanya menyangkal. Panjang cerita ntar. Kedua, saya menjaga keamanan si Ayu juga. Jangan sampai dua orang laki-2 tadi jadi dendam sama para bedinde, yang ada malah kita semua bisa diteror dan dimacam-macamin nanti. Si Ayu saja sudah ketakutan setengah mati kemarin itu, sampai-sampai hari Kamis kemarin dia ikutan ke pasar dengan bedinde yang satunya karena tidak mau tinggal sendiri di rumah. Takut tiba-tiba si Riki kalap, dia diterkam… Nah giliran saya yang was-was dengar kedua bedinde pergi, lha trus yang ngeliatan Vaya siapa? Gimana kalo si babysitter tiba-tiba nge-hang trus dapat ide untuk nyulik Vaya? Lagi heboh berita penculikan kan dimana-mana.

Jadi memang harus diphk baik-baik, karena gimanapun juga selama ini kerja mereka bagus. Hanya tersandung masalah yang kalo di koran-koran lampu merah dibilang : masalah arus bawah.

Dan siang tadi, dipulangkanlah kedua laki-laki itu ke rumahnya. Keduanya dikasih pesangon yang layak, lalu hutang si Riki juga kita anggap lunas saja. Hubby kasih alasan ke mereka, karena saya dan Vaya mau balik ke Medan, jadi kan otomatis gak butuh driver. Trus rumah ini juga mau dijual, walaupun tentu tidak bisa cepat kalo mo jual rumah. Tapi kan gak butuh banyak orang di rumah kalo nyonya rumah gak stay di rumah toh? Jadi siapa tau mereka berdua iseng ngecek apa rumah jadi dijual ato tidak, bisa saja kita kasih alasan, memang belum laku…. gitu.

Tapi tetap saja, sampai sekarang ini saya masih merasa bersalah karena sudah mem-phk mereka. Apalagi si driver juga ada keluarga yang harus dihidupi.  Tapi bagaimana lagi, membuat pilihan memang tidak mudah.

Suami bilang, saya tidak usah terlalu feeling guilty, karena biasanya orang seperti mereka itu justru lebih survive dan lebih gampang cari pekerjaan lain, karena buat mereka kerja apapun gak masalah yang penting bisa menghasilkan duit. Beda kalo yang dipecat itu orang sekolahan, yang pasti kalo mo cari kerja lagi milih-milih banged, mulai dari gengsi kalo kerja di tempat yang lebih jelek dari tempat kerja yang dulu, trus gak mau kerja kalo gajinya lebih rendah dari gaji di tempat kerja terakhirlah, padahal jelas-jelas dia jobless dan butuh kerja.

Hmm… ada benarnya juga kata suami itu. Yah, mudah-mudahan saja keduanya bisa segera dapat kerja lagi, yang tentunya lebih baiklah dari yang sekarang. Mudah-2an juga tidak sampai ada kejadian kayak begini lagi di kemudian hari.

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

68 thoughts on “Ternyata Ga Gampang Mecat Orang

  1. susah memang mbak. tapi saya pikir ini sebuah keputusan yang tepat.
    semoga lekas mereka menyadari kesalahannya.

    *lama tak berkunjung mbak. maaf*

  2. pengalaman saya mecat2 orang, justru yang berpendidikan lebih nerima kenyataan. orang2 berpendidikan rendah, kuli, driver, dan lain2 justru lebih ruwet. Terus terang saya sudah ngelihat yang namanya rumah disantronin 24jam ga mau pulang sampai digaji lagi, diteror malam2 lewat telpon, pakai dukun, dan sebagainya. kasus saya ke disnaker bersama gerombolan orang2 sepulau mba zee yang pernah saya posting itu merupakan salah satu best ending yang saya alami.

    tapi ga usah khawatir seh, selama mereka sudah nerima kenyataan kalau mereka ga dipekerjakan lagi, ya uwes case closed…

  3. Gak tega juga sih sebenernya, tapi kalo kita udah gak percaya sama orang2 yang tinggal/kerja di rumah yah mao gimana lagi… Moga2 mereka cepet dapet kerjaan baru aja…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *