Parcel Lebaran

Budaya mengirimkan parcel atau bingkisan hari raya kepada bos di kantor, sanak keluarga, atau untuk rekanan bisnis sudah ada sejak lama. Saya tidak tahu persis kapan kebiasaan ini menjadi tradisi di negara kita ini, but saya pertama kali kenal parcel ketika baru pindah dari Biak ke Medan yang pastinya juga baru pertama kalinya merayakan Idul Fitri di Medan.

teaset.jpg

Masih terbayang betapa noraknya saya waktu itu (yeah, secara baru masuk esempe gitu loh), setiap ada parcel untuk ayah saya diantar ke rumah, langsung saya intip isinya apa aja, mana aja yang menarik trus kira-kira apa aja yang akan saya tekel duluan sebagai hak milik (karena bakal rebutan sama abang saya). Dan semakin mendekati hari Lebaran, semakin banyak juga keranjang berisi macam-macam makanan yang datang. Dan bukan hanya keranjang parcel, ada juga yang mengirim kue basah, dari jenis bika ambon, lapis legit, sampai blackforest. Mata dan lidah saya waktu itu betul-betul dibuat kenyang dengan kelimpahan itu. Tapi kue-kue dan parcel itu juga akhirnya sebagian kami bawa untuk oleh-oleh ketika mengunjungi saudara di kampung, soalnya sebanyak itu tidak akan mungkin habis dimakan sendiri.

Esema sampai saya kuliah, kebiasaan mengirmkan parcel malah semakin ramai. Dimana-mana parcel. Toko-toko di Kampung Keling memajang keranjang-keranjang kosong warna warni di luar untuk menarik pembeli. Supermarket dan swalayan berlomba-lomba menawarkan parcel harga murah, dengan jasa antar ke tempat. Dan kali ini isi parcel lebih variatif, tidak melulu makanan. Mulai ada parcel pecah belah (tea set), parcel sarung dan sajadah. Ibu saya paling senang kalau sudah dapat parcel pajangan bunga, jadi meja-meja di dalam rumah bisa dihias. Saat itu, saya sudah tidak begitu nafsu lagi melihat makanan-makanan itu, hehehe… sudah bosan. Dan di tahun-tahun itu juga saya mulai kebagian tugas dari ayah saya, disuruh membuat parcel untuk beberapa rekan bisnisnya. Sebab membuat parcel sendiri tentu saja bisa jauh lebih bermutu daripada membeli langsung di supermarket. Soalnya bisa pilih isinya sendiri, jadi tidak ada makanan-makanan yang ‘gak jelas’ di dalamnya.

Lalu, tahun berikutnya lagi, ketika saya mulai gawe, nah kini giliran saya yang menerima parcel. Beberapa mitra kantor kami waktu itu mengirim parcel ke kantor, tapi hanya untuk ‘segelintir’ orang saja, dan ternyata ini diam-diam telah menimbulkan kecemburuan sosial di kantor. Bisik-bisik tetangga pun terdengar, sampai mengadu kepada kepala cabang. Kordinator saya waktu itu bilang, itu memang sudah rejeki saya (dan rejeki dia juga tentu saja, karna dia kan dapat juga) jadi omongan-omongan itu tidak usah didengar. Mungkin ada benarnya, tapi lama-lama kok saya jadi gak enak hati sendiri. Saya pikir, apa saya akan dikirimin parcel juga seandainya saya gak ’megang’ posisi itu (unit kerja yang membuat kami harus dekat dengan mitra).

Lalu, kacab kami yang baik hati akhirnya mengeluarkan perintah agar semua parcel yang datang harus dikembalikan ke kantor, untuk nantinya dibagi secara merata. Beberapa orang keberatan mengembalikan parcelnya ke kantor, tapi saya memilih ikut peraturan. **kayak gak bisa beli saja, gitu pikir saya. Kebiasaan membagi rata ini akhirnya berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Tidak ada parcel yang saya bawa pulang, even di dalamnya ada sekotak coklat favorit saya. Tapi waktu pertama kali terima parcel itu, saya bawa pulang satu keranjang parcel kok, soalnya pengen dipamerin ke ayah saya! Hahahahahaa…!!

Well… Lebaran tahun ini juga masih begitu. Minggu kemarin beberapa dealer sudah menghubungi saya, minta alamat rumah. Ada yang terus terang dengan maksudnya, ada juga yang main halus, bilangnya mo maen ke rumah (mana mungkin…..!), lalu ketika didesak baru mengakui maksudnya. Tapi, seperti juga tahun sebelumnya, menjelang hari raya tiba, selalu ada Nodin dari manajemen yang isinya lebih kurang : direksi dan karyawan tidak diijinkan menerima parcel/bingkisan dalam bentuk apapun.

Nodin itu juga sudah di-fax ke all mitra. Tapi tentu saja masih ada yang giat berusaha. Secara halus saya sudah menolak niat baik para dealer, jadi mohon maaf ya kalau ditolak.

Bukannya menolak rejeki loh, tapi kok ya tetep aja rasanya not fair kalau diberikan personal. Makanya saya bilang ke mereka, kalau mau kirim parcel atau kue… kirim ke kantor aja yaa…biar bisa dirame-ramein untuk buka puasa.. 🙂

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

11 thoughts on “Parcel Lebaran

  1. koz

    untungnya di kantorku belum dilarang, selama itu dikirim ke rumah sah-sah aja kita terima, tapi kalo datengnya ke kantor..bakalan jd milik bersama..

  2. Zee

    ya…bener banged, ada jg yg tetep anter bingkisan. ada yg anter berkeranjang-2 buah trs jg kue lebaran, tp udah di-wraping kertas packing coklat, mksdnya biar ga mencurigakan,pdhl smp ktr ktauan jg, jdnya dibongkar dirame2in, ahahahaa…

  3. RMY

    persissss!!! dikantorku juga gitu, kita anti sogok menyogok jadi sama deh akhirnya mengirim fax surat ttg hal anti parsel dsb.. Tapi herannya masihhhh aja yang masuk..:)

  4. Iya rumah saya juga sering kebanjiran parcel tiap kali mo lebaran. Tapi semenjak pak SBY jadi presiden, pemasukan parcel itu(hehehe) semakin menurun…tapi baguslah. Itung2 juga membantu menghilangkan budaya sogok menyogok dan cari muka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *