traveling ke sapa vietnam

Vietnam Trip Traveling ke Sapa Pesona Malam Hari

Sa Pa, di ujung utara Vietnam, selalu punya cara untuk memikat hati. Siang harinya penuh warna, mulai dari hamparan sawah bertingkat yang berlapis-lapis bak tangga naik ke surga, sampai kabut setengah tebal melingkari pengunungan Fansipan.

Tapi, menjelang malam tiba, Sapa berubah wajah. Lampu-lampu jalan menyala temaram, membentuk kilauan hangat di tengah hawa dingin yang menusuk kulit. Apalagi bila cuaca lagi hujan seperti ketika saya ke sana kemarin itu.

Tentang Traveling ke Sapa

Liburan dan traveling ke Sa Pa bukan hanya tentang mencapai sebuah destinasi wisata, tapi juga tentang menikmati perjalanan itu sendiri.

Sapa ada di mana? Sa Pa merupakan sebuah kota kecil di perbatasan sebelah barat daya Vietnam, tepatnya di Provinsi Lao Cai. Jaraknya sekitar 350 km dari Hanoi atau sekitar 8 – 9 jam perjalanan naik kereta api.

Baca juga: Kenapa Vietnam? Cerita Ini Dimulai dari Rasa Lelah yang Tak Terucap

Sapa pernah menjadi saksi bisu pergulatan sejarah. Di awal abad ke-20, kota ini mulai dikenal oleh bangsa Prancis yang jatuh hati pada kesejukan udaranya dan panorama pegunungan yang dramatis. Mereka membangun vila-vila dan stasiun penginapan bergaya kolonial, meninggalkan jejak arsitektur yang hingga kini masih bisa dilihat di beberapa sudut kota. Nuansa itu berpadu manis dengan budaya lokal yang kuat, dan percampuran inilah yang membuat Sapa terasa berbeda dan unik.

Penduduk asli Sapa sebagian besar berasal dari kelompok etnis minoritas seperti Hmong, Dao, dan Tay. Mereka hidup dari bertani, menanam padi di sawah bertingkat, memelihara ternak, serta membuat kerajinan tangan yang kaya warna dan motif. Hasil kerajinan ini sering dijajakan di pasar malam atau di jalan-jalan utama, menjadi magnet bagi wisatawan.

Bagi yang ingin traveling ke Sapa dari Hanoi, perjalanan umumnya dimulai dengan kereta malam menuju Lao Cai, lalu dilanjutkan sekitar satu jam dengan bus atau mobil. Alternatif lainnya, ada bus langsung yang memakan waktu enam hingga tujuh jam, melewati jalur berliku dengan pemandangan spektakuler. Begitu tiba, udara sejuk dan hamparan gunung yang menjulang seolah langsung memeluk setiap pendatang, membuat lelah perjalanan seketika terbayar lunas.

Perjalanan Malam di Sapa: Dari Bora Hotel ke Jalanan Kota

Setelah dari Cat Cat Village, hanya satu hal yang saya dan Vay inginkan. Ke hotel untuk bersih-bersih. Kami balik dari desa adat dengan sepatu basah (sepatu saya setengah basah), dan itu sudah pukul 6 sore.

Check in di Bora Hotel

Hotel ini cakep banget! Berada tepat di pusat kota, dekat jalan turunan ke rumah-rumah atau homestay, hotel ini menurut saya sangat kayak jadi inceran turis. Menginap di sini akan memudahkan kita untuk eksplorasi sekitar dengan berjalan kaki.

Udara dingin langsung menyambut di depan pintu, membuat langkah terasa lebih cepat untuk segera masuk ke lobi. Interior hotel cukup mewah, hangat, dengan suguhan welcome drink minuman jahe (langsung rasanya jadi oma-oma lol).

Proses check-in tidak lama karena kami tinggal terima kunci saja, dan tak lama kami sudah berada di kamar yang menghadap ke pusat kota. Kabut semakin tebal, dilapisi oleh hujan yang terlihat enggan berhenti, malam itu pemandangan membuat ingin cepat ke tempat tidur.

Review Bora Hotel di Sapa

Bisa dikatakan menginap di Bora Hotel memberi pengalaman yang nyaman setelah perjalanan panjang menuju Sapa. Kamarnya hangat, bersih, dan ditata dengan cukup estetik dan mewah, cocok untuk melepas lelah di tengah udara dingin pegunungan.

review bora hotel sapa

Dari jendela, saya bisa melihat pemandangan kota kecil Sapa yang tampak syahdu dengan lampu-lampu malamnya. Hospitality staf hotel juga patut diapresiasi, mereka ramah, cekatan, dan selalu siap membantu (termasuk mengembalikan ponsel saya yang ketinggalan!). Atmosfernya homey, rasanya memang ingin terus berlama-lama di kamarnya. Cocok sih jadi tempat untuk beristirahat sebelum melanjutkan eksplorasi Sapa di malam hari.

review kamar hotel bora sapa
view hotel bora sapa

Mengeringkan sepatu dulu

Saya sebenarnya bawa satu sepatu cadangan, tapi karena saya pikir kami hanya menginap 1 malam di sini, saya malah tidak terpikir untuk membawa sepatu backup itu ke Sapa. Tak menyangka kalau bakal hujan dan basah-basahan soalnya. Awalnya saya malah  berniat bahwa 2 sepatu dari Jakarta, tapi karena saya pikir biasanya kami traveling itu satu sepatu cukup, maka saya hanya bawa satu saja. Untuk Vay.

Eh udah cuma bawa 1 malah ditinggal di Hanoi! Tapi saya dapat ide, yaitu mengeringkan sepatu di kamar mandi dengan menyalakan lampu yang otomatis menyalakan exhouse fan. Dengan begitu lembab kamar mandi hilang, sepatu juga bisa cepat kering.

So setelah mandi, sholat maghrib, sepatu saya masukkan di kamar mandi.

Malam itu sebenarnya saya diajak keluar sama ibu-ibu yang sama putrinya itu, juga dengan 2 mbak asal Bangka. Saya sudah okay kita akan keluar habis maghrib.

Begitu jam 7 malam saya turun ke lobby, eh ternyata hujannya semakin deras. Vay mulai gak mood, dia gak mau keluar basah-basah hanya untuk cari makan. Ya mungkin Vay begitu orangnya, tidak mau ribet. Sementara saya kan ingin keluar, tapi di satu sisi saya juga cukup lelah. Dan kalau anak saya tidak mau keluar, mungkin kali ini saya mengalah saja.

Saya mengirim teks ke si ibu, bilang kalau saya tidak jadi ikut. Pada akhirnya mereka juga cuma keluar bertiga, karena 1 mbak yang asal Bangka tidak ikut juga.

Makanan di Bora Hotel porsinya besar tapi lumayan rasanya

Karena kami berdua sudah sangat lapar, akhirnya saya putuskan untuk makan di restoran hotel saja. Saya lihat ibu asal Bangka dengan dua anak remajanya sudah makan duluan, ada hotpot ukuran besar di tengah meja.

Malam itu saya memesan 1 porsi chicken kari, lalu 1 porsi grilled chicken. Nasi dan kentang goreng diberikan gratis. Untuk berkomunikasi agar kuah kari dipisah dari ayamnya, Vay menggunakan aplikasi Google Translate. Adik perempuan berbaju hitam putih – sepertinya anak magang – mengangguk setelah membaca hasil translasi.

Eh ternyata porsinya besar! Dua pesanan datang dan itu seperti untuk 4 orang. Saya sampai bingung bagaimana menghabiskannya, karena kalau tidak habis kok rasanya tidak enak hati sama yang masak. Tapi memang banyak banget porsinya.

restaurant at hotel bora sapa

Dan dari kedua menu itu, yang Vay makan hanya grilled chicken (yang sebenarnya pesanan saya), sementara chicken kari pesanannya tak disentuh. Alhasil saya harus sedikit aduk-aduk kari, minimal dimakan beberapa potong.

Di sisi sebelah sana, keluarga Manado juga lagi makan. Tadi papasan dengan saya dan katanya juga mau keluar tapi karena hujan sangat deras dan akhirnya mereka juga pesan makanan di hotel.

Belakangan, ketika kami berbagi cerita, dia juga cerita kalau mereka kaget-kaget  dengan porsi yang sangat besar. Mereka sempat pesan banyak menu karena mereka berlima, takutnya kurang. Eh ternyata datangnya berlimpah sampai bingung ini habisinnya gimana. Untuk perut orang Indonesia, kita langung keblenger. Mungkin beda kalau untuk wisatawan Arab atau India.

Menjelang Malam di Sapa

Kalau siang hari tadi jalanan ramai oleh wisatawan, malam itu suasana sekitar hotel menjadi lengang. Ditambah dengan hujan yang terus turun dan mulai agak reda di jam delapan malam, sepertinya wisatawan juga lebih suka sembunyi di kafe dan bar atau di kamar hotel, ketimbang menyusuri jalan.

Sebenarnya bila mendengar cerita dari tour leader, bila cuaca lagi baik, pusat kota akan sangat ramai. Pasar malam Sapa menjadi jantung kegiatan, di mana kios-kios menjajakan kain tenun, perhiasan perak, hingga aneka kuliner khas.

Aroma daging yang dipanggang di atas bara api bercampur dengan harum kopi dari kedai-kedai kecil yang mengundang untuk singgah. Ya mungkin bisa dikatakan bahwa  malam hari adalah waktu terbaik untuk mengeksplorasi sisi kuliner Sa Pa.

Selain berburu makanan, turis juga bisa menikmati pertunjukan musik tradisional yang kadang diadakan di alun-alun, atau sekadar berjalan menyusuri jalan berbatu sambil menikmati lampu-lampu yang memantul di kabut tipis.

Lanjut jalan kaki.

Setelah membayar makanan kami, Vay kembali ke kamar. Dia mau meneruskan membaca novelnya di kamar. Sementara itu saya memutuskan untuk keluar berjalan-jalan di area sekitar hotel, mengeksplorasi sejauh mana kaki bisa melangkah. Sebenarnya kalau mau ekplor enaknya dimulai tadi sekitar jam 7 malam, agar lebih mudah mendapatkan taxi. Tapi kan hujan ya.

Jadi mari kita manfaatkan saja waktu yang semakin gelap  untuk menikmati Sapa di malam hari.

Saya diikuti seorang anak gadis kecil berpakaian adat, dia berbahasa Vietnam, menawarkan jualannya, tas-tas khas merchandise. Lalu tak lama, seorang perempuan yang menggendong bayinya juga menawarkan jualannya.

Aduhhhh. Saya kasihan dan ingin beli, tapi masalahnya uang Dong saya sudah habis. Tinggal 100.000 VND saja, saya belum sempat tukar uang. Karena mereka kesulitan dengan bahasa, saya kurang yakin bila harus berbelanja dengan USD.

Dari situ, saya kembali jalan. Dan sebelum kembali ke hotel saya cari swalayan untuk membeli air mineral dengan sisa-sisa uang Dong. Sapa memang seperti bergerak pelan, tapi pasti. Sungguh sebuah ritme yang membuat hati terasa damai.


Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.