Sunset Pertama 2024 di Obelix Sea View. Ini adalah lanjutan cerita liburan saya dan Vay ke Jogja, untuk hari kedua di Jogja, tanggal 1 Januari 2024.
Postingan awal-awal bisa dibaca dulu di sini agar ceritanya bisa lebih lengkap karena saya menulisnya berdasarkan lini masa.
- Cerita gak kebagian tiket naik ke Candi Borobur
- Melihat Tabung Gas Meleleh di Museum Mini Sisa Harta Merapi Lava Tour
- Ketemu Kelelawar Saat Cave Tubing Goa Pindul
Saya sedang dalam mood yang baik untuk menulis, setelah sekian lama. Beda rasanya menulis artikel dengan menulis jurnal pribadi di blog, menulis jurnal membuat saya bisa release stres, dan jadi lebih aware dengan perasaan saya. Saya juga masih rajin menulis tangan di buku daily journal yang ada tanggalan, karena ternyata ini sangat membantu untuk kita dalam melatih pikiran dan mempertajam otak.
Seindah apa sebenarnya pemandangan dari Obelix Sea View?
Itu adalah pertanyaan di kepala saya ketika beberapa bulan lalu saya melihat banyak postingnya di TikTok. Karenanya, saya minta Baho memasukkan destinasi ini ke dalam itinerary family traveling saya dan Vay kemarin.
Selepas membuang uang Rp 375 ribu di kedai lobster di Pantai Timang, kami balik arah untuk tancap gas ke Obelix Sea View. Saya ingin ada di sana sebelum sore, karena tempat ini katanya menawarkan experience untuk menikmati keindahan Pantai Parangtritis dari ketinggian, terutama saat sunset.
Cuaca masih terik dan gerah. Baho memacu kendaraan sementara saya dan Vay tidur di kursi belakang. Sesekali saya terbangun dan melihat kami sudah di mana (padahal di mana pun tepatnya saya gak tahu juga haha), dan melihat kanan kiri bukit dan pepohonan seperti saat mau ke Berastagi atau ke Geurutee di Aceh.
Perjalanan dari Pantai Timang ke Obelix kurang lebih satu setengah jam, saya tidak tahu jalur mana yang dipakai oleh Baho tapi perjalanan kami termasuk lancar tanpa macet. Kepadatan mulai terjadi sekitar dua kilometer dari lokasi, ini karena kendaraan-kendaraan yang memang mau menuju ke Obelix, semua mengantri.
Obelix Sea View ini berada di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Kalau dihitung jaraknya dari kota, saya cek di Google katanya dua sampai tiga jam.
Setelah beberapa lama mengantri dalam kepadatan jalan raya menuju lokasi, kami tiba di Obelix Sea View. Wah ternyata ramai sekali. Saya baru sadar, ini kan tanggal 1 Januari, pantas saja tempat ini ramai.
Saat membeli tiket masuk seharga Rp 50 ribu per orang, saya tanya ke kasirnya, Obelix ini apa sebenarnya. Saya heran kenapa pakai tiket masuk, bukannya hanya ada kafe-kafe saja seperti di m bloc space ya, begitu pikir saya tadi. Sepertinya karena saya hanya terpapar oleh video di media sosial yang hanya mengekspos pemandangan dari satu spot saja di tempat ini.
Ternyata saya salah. Obelix Sea View ini adalah kawasan wisata, di dalamnya ada restoran, kafe dan tenant, lalu ada spot-spot foto yang dibuat sedikit thematic.
Ah, suasana berbeda langsung terasa begitu masuk ke dalam. Lebih sejuk (baik dari udara ataupun pemandangannya), dan karena ini bukan destinasi outdoor activity seperti sebelum-sebelumnya, ini lebih mirip seperti terasa berada di spot wisata di luar negeri, deretan kafe di atas tebing yang menghadap pantai.
“Mami butuh kopi, Dek.” kata saya begitu melihat sebuah bangunan cantik ala kafe, selurusan dengan gerbang masuk. Petit Paris Boulangerie.
Antriannya mengular sampai depan pintu, kemudian meja kursi di sisi luar juga penuh. Oh ternyata di luar sini bebas saja mau duduk di mana, meskipun kamu tidak beli apa-apa dari tenant di depannya. Gampangnya adalah, dengan bayar Rp 50 ribu saja sudah bisa piknik di dalam sambil bikin konten.
Vay masuk ke dalam Petit dan langsung menuju sebuah meja dekat jendela sisi luar kafe, duduk. Di dalam kafe juga penuh dengan pengunjung, tapi untungnya masih ada satu meja yang kosong yang tadi diincar Vay.
Saya tanya apakah Vay ingin gelato. Katanya tidak usah, dia cuma agak lapar dan cuma ingin air putih. Vay memang tidak terlalu suka yang manis-manis, dia lebih memilih air putih, lebih aman ketimbang mencoba minuman-minuman hits yang dia tidak akan suka rasanya.
Saya lihat bagian dapur sangat sibuk dengan banyaknya pesanan, belum lagi antrian di depan kasir, kok tidak ketahuan ya mana jalur antrian yang benar? Mulai dari depan display pastry atau dari jalur kasir, atau di mana?
Saya melihat seorang perempuan muda yang sudah berdiri lebih lama di depan deretan display gelato & pastry. “Halo Kak, ngantrinya benar di sini ya? Atau beda sama yang kopi?”
“Oh, beda Buk. Kalau yang di sini untuk gelato.”
Oh syukurlah, berarti masih cukup aman, pikir saya. Sambil mengantri, saya memotret beberapa pastry di display untuk ditunjukkan pada kasir nanti, khawatir saja begitu tiba giliran saya yang malah lupa. Jenis minuman kopi gak mungkin lupa karena hanya itu-itu saja, tapi pastry bisa macam-macam. Dan dalam kondisi ramai seperti cendol kemarin itu, akan lebih efisien bila kita sudah ready dengan apa yang ingin dipesan.
Betul saja. Begitu tiba giliran saya, tak sampai empat menit saya sudah selesai. Satu hot americano, satu air mineral tidak dingin, tiga pastry yang saya sudah tidak ingat lagi namanya, tapi satunya chocholate croissant, untuk Vay.
Berkat kopi panas dan pastry ukuran besar, saya kembali bertenaga untuk berkeliling Obelix ini. Vay sendiri juga sudah aman, karena dia masih cukup full dengan indomie tadi siang di Goa Pindul, ditambah nasi dengan sedikit cubitan ikan bakar saat di kedai lobster, lalu sepotong croissant coklat.
Harus berani nyenggol biar dapat sunset
Bagi yang ingin berfoto-foto, di sini ada tempat temaktik untuk berfoto seperti Kampung Maroko, The Stairs, Sky Deck, Amphiteater, dan spot-spot unik lainnya seperti Puncak Del Luna, lalu Gua Purba. Lalu ada yang paling favorit, yang muncul di video-video media sosial, sunset dari Resto Element di depan Infinity Pool atau di Sky Deck.
Saya hanya mengikuti saja ke mana kami lihat orang-orang berjalan, karena semua orang hanya fokus pada satu hal, matahari terbenam. Ada sebuah teras cantik mengarah ke Goa Purba, penuh dengan pengunjung yang sedang bersantai, baik yang bersama keluarga atau juga para anak muda yang duduk dengan laptop, barangkali sedang merapikan konten.
Keramaian membuat saya susah mengambil foto tanpa bocor, tapi hal ini dapat dimaklumi, karena ini libur Tahun Baru dan semua orang juga ingin menikmati momen-momen ini. Saya melihat ada keluarga yang terdiri dari dua orang tua, beberapa anak dan cucunya, terus menerus mengulang mengambil foto dengan latar belakang sunset di lokasi depan Gua Purba. Pertama, dengan jari love, kedua dengan jari love lagi, ketiga jari love model lain, keempat kelima dan begitu terus. Saya sebenarnya hanya ingin mengambil foto Gua Purba itu, tapi tentu tidak bisa karena mereka mendominasi tempat itu, yang memang sempit.
Saya mengajak Vay pindah dulu ke atas, melihat-lihat sambil membuat Google, mencari tahu spotnya ada di mana saja.
Tujuh delapan menit kemudian kami kembali, ternyata mereka masih mengulang juga, mungkin kurang puas dengan hasil foto yang tadi. Dan, akhirnya saya dengan sengaja membocorkan diri di samping bapak ibu yang masih bergaya, dan berhasil. Mereka akhirnya sadar bahwa mereka harus berbagi juga dengan orang lain.
Kami kemudian turun ke bawah. Ke Mozaic Amphitheter. Hari sudah mulai gelap, dan suasana mulai warm, cahaya sunset jadi lebih indah di jam-jam ini. Mereka menyediakan banyak beanbag dan meja kursi, juga rumput sintetis, jadi pengunjung bisa puas bersantai, entah sambil menonton acara, atau sambil melamun.
Kami lanjut dan menemukan wahana The Nest dan The Swing. Ahhh kenapa tadi tidak langsung ke sini ya, saya mengeluh ke Vay. Karena ketika kami sampai situ, The Swing sudah tutup.
Saya lalu mampir juga sebelahnya, ke The Nest. Ah ternyata juga sudah tutup. Kata petugas yang jaga, karena sudah jam enam sore, wahana itu sudah tutup. Saya coba berdebat bahwa ini masih lima menit lagi ke jam enam, bolehkah tambah satu lagi. Dua penjaganya sempat ragu, bingung mau iya atau tidak. Saya rasa itu karena mereka sudah sempat menolak pengunjung sebelumnya, tentu tak enak kalau mendadak ada masuk antrian baru, meskipun masih ada sisa lima menit. Jadi meskipun saya berharap tapi juga tak ingin memaksa. Lalu kata salah satu petugasnyanya, kalau Vay mau berfoto dari tepian nest masih boleh, cuma untuk masuk dan bermain sudah tidak bisa karena sudah tutup.
Sekilas tempat ini mengingatkan saya akan satu tempat di Sentosa Island, dan saya lihat Vay menikmati juga keramaian dan kepadatan yang seperti cendol ini. Saya katakan padanya kalau beginilah liburan, ramai dan padat adalah hal biasa karena itu nikmati saja. Berlibur dalam kondisi peak begini juga jadi salah satu sarana untuk mengenal banyak sifat dan karakter orang.
Seperti ketika kami mengantri untuk ke toilet. Setelah dari The Nest tadi, Vay bilang kalau dia ingin ke toilet dulu baru kita cari makan bener. Di depan toilet antrian cukup panjang ke belakang, dan kami berdua mengantri sampai cukup mengular ke luar. Saya lihat di dalam ada empat bilik. Jadi sebenarnya kalau semua bilik berfungsi, kita semua akan cepat dapat giliran masuk.
Di depan saya ada tiga antrian, di belakang saya Vay, lalu di belakang Vay ada seorang oma-oma, lalu di belakangnya ada dua ibu-ibu muda, satunya bercelana pendek, satu lagi berkerudung. Ibu muda yang berkerudung terlihat tidak sabar, dan memaksa agar orang-orang mengantri di depan tiap-tiap bilik.
“Kenapa gak masuk aja? Kan banyak.” Katanya. Saya lihat Vaya mulai jengkel dengan tingkah ibu-ibu itu. “Bagaimana sih? Ini kan semua mengantri memang seperti ini,” Vay menggerutu ke saya.
Ibu-ibu itu kembali merepet. Dia kemudian menyuruh oma-oma dan ibu di depannya untuk langsung potong antrian dan berdiri di depan tiap bilik. Si oma kelihatan bingung tapi barangkali karena “dipaksa” dia jadi masuk dan memotong antrian. Beserta dua orang di belakang Vay.
“Langsung saja masing-masing biar lebih cepat.” katanya lagi dengan santai dan dengan wajah tidak bersalah.
“Gak boleh begitu. Itu namanya gak adil buat orang lain yang sudah ngantri.” Vay membalik badan dan langsung mendebat ibu-ibu tadi.
Ibu-ibu itu langsung berubah mukanya, terlihat tengsin karena ditegur anak kecil di depan orang banyak. Semua orang di toilet terdiam. Lalu si oma yang tadi disuruh maju-maju sepertinya jadi tidak enak juga, dan berkata lembut sambil tersenyum, “Iya gak apa-apa nanti masuk duluan saja ya. Maksudnya itu biar gak panjang mengantri di luar.”
Dan ketika toilet terbuka, si oma tidak masuk juga dan membiarkan Vay untuk masuk duluan. Sementara saya sudah dapat giliran dari bilik paling kanan.
Akibat ulah ibu-ibu tadi, akhirnya antrian jadi tidak jelas. Dan ibu cerewet tadi akhirnya malu juga, ketika bilik di depan dia terbuka dia akhirnya mengizinkan si oma masuk duluan karena urutannya memang tadi si oma ada di depan dia.
Ketika sudah di luar toilet, Vay masih mengomel. Katanya kasihan oma-oma tadi, gara-gara ibu-ibu gak jelas itu. Padahal oma-oma itu sudah mengantri dengan benar. Eh malah ikut kena semprot sama Vay kan jadinya.
Saatnya mencari makan malam. Berkeliling mencari tenant yang tidak terlalu ramai, ternyata tetap sama ramainya. Kami coba ke Element Restaurant by Petit Paris. Ini adalah restoran ikoniknya Obelix Sea View karena memiliki pool dengan viewnya langsung menghadap ke pantai. Dikenal dengan nama infinity pool.
Ramai sekali, tapi saya tetap ingin coba karena Vay kepengen makan, sudah mulai lapar. Saya lihat di depan dekat pintu ada banyak orang menunggu seperti menunggu untuk masuk tapi seperti tidak ada siapa-siapa yang ada untuk melayani mereka. Namun ketika saya sudah hampir dekat, langsung seorang pramusaji keluar dari dalam restoran. “Buk, maaf kami sementara sudah closed order dulu. Karena sudah full sekali.”
Tak usah heran kalau ramai, bahkan yang duduk di depan kolam renangnya saja sudah seperti orang lagi nonton konser. Di dalam kolam masih ada pengunjung yang berendam tapi lebih banyak yang duduk di bawah meja tenda.
Kami kembali berkeliling, tapi tenant lain terlihat tak begitu menarik menu makanannya. Ada mie-miean tapi kan tadi siang Vay sudah makan mie. Saya bilang, bagaimana kalau kita sudahi saja acara di Obelix Sea View ini, langsung pulang cari makan yang dekat hotel. Vay langsung setuju. “McD aja ya Mi. Biar cepat” Hahah… memang paling aman sih McDonald.
Saya mengirim pesan ke Baho, “Di mana? Balik kita? Tempat makan penuh semua.”
“Hahah. Oke Zy. Nunggu di pintu masuk aja, biar kusambar ke sana.” Jawabnya. Katanya parkiran juga macet jadi dia akan makan waktu juga untuk ambil mobil. Sebelum keluar, saya mampir kembali ke Petit, beli Cappucino dingin buat Baho dan air mineral untuk saya dan Vay.
Untuk keluar dari Obelix, pengunjung harus melewati toko souvenir. Ya mirip seperti di tempat-tempat wisata lainlah. “Adek mau apa?” tanya saya ke Vay. Dia menoleh sebentar dan menggeleng, kelihatannya tidak terlalu tertarik dengan souvenir-souvenir yang ada.
Begitu sampai di luar, saya minta Vay menyalakan hotspot di ponselnya. Sinyal Indosat jelek sekali di Obelix, jadi saya harus menumpang ke nomor Telkomsel Vay agar bisa menghubungi Baho, menginformasikan bahwa kami sudah di luar.
Banyak mobil besar dan bus yang membawa rombongan ke tempat ini. Dan ternyata ada satu rombongan yang tadi juga habis dari Pantai Timang. Saya ingat karena ketika kami keluar dari kedai lobster yang B aja itu, mereka baru masuk.
Kemarin itu Obelix ramai sekali. Kami bahkan harus menunggu di depan tangga itu sekitar dua puluh menit, sampai mobil Baho tiba di depan kami. Dalam kondisi begini saya bersyukur bahwa ada teman baik di Jogja yang bisa menemani private trip kami. Dia sudah tahu semua tempat-tempat dan jalan-jalan potong, termasuk juga punya banyak teman sesama pelaku wisata sehingga lebih aman saja rasanya.
Menurut saya pribadi, memang tempat ini cocok sekali jadi tempat bersantai di sore hari dengan keluarga dan sahabat. Hanya saja tempat ini lumayan jauh dari kota. Dan apakah tempat ini bisa bertahan hingga beberapa tahun ke depan? Semoga saja.
Untuk detail aktivitas apa saja yang bisa dinikmati di tempat ini, boleh diklik dari link berita Sleman ini.
Trus, jadi ke McDonald?
Jadi dong. Setelah menempuh waktu dua jam lebih, dengan kemacetan yang sangat panjang, kami tiba juga di kota. Saat itu sudah pukul setengah sepuluh malam. Melihat Baho yang sudah capek, rasanya tak mungkin juga memaksa untuk makan di tempat.
Setelah tiba di McDonald Jalan Sudirman, Baho memarkirkan mobil, dan saya bersama Vay turun untuk membeli di konter. Kami juga tidak jadi membeli via drive thru karena antrian mobilnya juga panjang sekali. Benar saja, membeli langsung di konter jauh lebih cepat. Tidak sampai lima belas menit, paket nasi untuk Vay dan paket cheese burger untuk saya dan Baho sudah selesai.
Kami sampai di lobby hotel jam sepuluh malam. Baho langsung pamit untuk pulang, kami sepakat besok pagi mulai jalan dari hotel jam delapan tiga puluh.
Saya mengambil laundry yang sudah bersih, dan langsung ke kamar. Menghempaskan semua baju kotor bekas dari Goa Pindul, mencuci dan menjemur, sekaligus juga bersih-bersih.
Sementara itu Vay sudah duduk di depan meja sambil menikmati McD tercintanya. Ternyata gampang saja ya menyenangkan anak. LOL.
Cek tiket pulang dulu, kita jadinya pulang naik pesawat karena kehabisan tiket KA
Ketika beli tiket KA untuk ke Jogja, saya memang belum membeli tiket untuk pulang. Sekarang ini saya memang lebih menyukai membeli tiket apapun dekat dengan hari H, karena selalu merasa bahwa bisa saja ada kejadian yang tak terduga dan bahwa tiket akan selalu ada.
Malam pertama di hotel, saya langsung buka Traveloka, mencari tiket pulang ke Jakarta untuk tanggal 2 Januari. Oh, ada, tapi waktunya kurang pas, karena kalau kurang malam artinya saya bisa sampai di Jakarta tanggal 3, jam tiga pagi. Saya tidak langsung booking, saya menduga bahwa besok pagi mungkin akan ada KA tambahan lagi dengan jam baru, dan juga masih ragu karena saya sempat kepikiran untuk extend semalam lagi di Jogja, biar di malam terakhir bisa santai-santai dan tanggal 3 pagi baru berangkat, sampai di Jakarta sore. Vay juga setuju.
Ternyata dugaan saya salah. Ketika kami kembali dari dinner malam tahun baru, dan saya buka aplikasi lagi, eh tiket yang tadinya masih ada sekarang sudah habis. Semua tiket KA tujuan Jakarta di tanggal 2 Januari sudah habis!
Saya geser tanggal ke 3 Januari. Lho, habis juga. Tiket KA yang tersisa hanya tiket panoramic, yang harganya Rp 1.300.000. Bah! Untuk apa pulak naik KA seharga tiket pesawat?
Langsung saya switch, cek tiket pesawat, dan masih tiga penerbangan Yogyakarta tujuan Jakarta di tanggal 2 Januari malam. Satu tujuan mendarat di Halim Perdanakusuma dengan harga lebih murah dua ratus ribu dari tiket panoramic tadi.
Pilihan pulang naik pesawat sudah paling tepat untuk liburan kemarin itu. Kalau memilih extend dan naik KA, maka biaya jadi lebih besar karena selain tiket KA nya panoramic, ada biaya tambahan untuk hotel dan sewa mobilnya Baho jadi empat hari. Sementara kalau naik pesawat, biaya-biaya di atas jadi tak perlu keluar lagi.
Maka malam itu sepulang dari Obelix, saya mengecek ulang tiket kami untuk memastikan kalau tidak ada perubahan dan apakah sudah bisa online check-in. Aman. Berarti besok, sehabis jalan di hari terakhir berkeliling Jogja, kami langsung ke bandara.
Besoknya mau kemana?
Untuk hari ketiga, kami akan ke Candi Prambanan dulu, lalu mampir ke tempat pembuatan kaos Jogja.
Demi foto yang bagus ya, kadang orang gak peduli bikin orang lain nunggu sampai bermenit-menit. Kok bisa ya gak canggung, sementara aku liat orang mau difoto di spot yang sama aja auto deg-degan, hahaha 😀
Good job buat Vay yang berani bicara waktu ada sesuatu yang salah 😉
walah.. ku baru tau ada tempat namanya Obelix ini.. jadi, kenapa namanya Obelix?