Di Sebuah Kafe

Anak perempuan itu terus memainkan kerai plastik penutup beverage fridge. Penasaran setelah sebelumnya melihat seorang pria bule menjulurkan tangan mengambil sebotol minuman di dalamnya. Apalagi setelah tahu bahwa kerai itu bisa ditarik – dilonggarkan agar tangan bisa masuk ke dalam.

Srruuuttt!! Praakk! Mendadak pengait bawahnya terlepas dan kerai itu meluncur sukses ke atas. Fridge terbuka. Si anak perempuan terkejut lalu langsung menoleh cemas ke ibunya. Nah! Itu dia. Tolehan pertama pada orang yang ditujukannya menunjukkan aspek psikologis di dirinya. Ada dua arti sekaligus, cemas apakah dia akan dimarahi, sekaligus meminta toleransi atas perbuatannya. Setelah itu matanya mengarah ke atas, melirik malu dan ragu-ragu pada sepasang oom dan tante yang sedang mengantri di belakang ibunya. Si pria tersenyum dan tangannya mengusap cepat kepala si anak perempuan, maknanya tentu saja: tidak apa-apa, kok.

Kafe Bar

“Sini, sini. Udah, biarkan saja. Tangannya kejepit, gak?” Ibunya bersuara. Anak perempuan itu menggeleng dan langsung lari mendekat, membenamkan wajahnya di pinggang ibunya. Malu. Dan masih cemas. Dia sudah tahu bahwa perbuatannya itu mungkin akan berakibat sesuatu terhadap si display tadi, entah rusak atau apalah ketakutan yang ada di kepalanya.

Saya biarkan saja dia di pinggang saya. Vay ini, ilmu, kalau istilah orang Medan. Ngeles. Dia sudah tahu, maminya selalu mengingatkan agar tidak menyentuh barang-barang elektronik atau pecah belah saat berada di mana saja, kafe, restoran, supermarket. Tapi tetap saja, diulang terus.

Mood saya sedang baik. Biasanya kalau kelakuannya kelewatan, akan saya marahi. Tapi kalau masih so so ya biarkan sajalah. Anggap saja itu proses belajar dia. Saat anak terjatuh sekali, dia baru tahu kalau jatuh itu sakit. Jatuh kedua kali, dia mulai aware kenapa dia sampai terjatuh, apakah dia tidak hati-hati melangkah atau sepatunya yang bermasalah. Lengannya tergores saat main perosotan, dia akan menuduh perosotannya yang tidak bagus. Tapi esoknya masih juga main lagi di sana, dan tergores lagi, dan dia baru sadar bahwa bisa jadi dia tergores karena mencoba gaya aneh-aneh saat meluncur.

Pernah gak mengalami kejadian seperti ini? Sama anak pergi ke bakery shop. Roti pilihannya — contohlah muffin — udah diambil, diletakkan di atas nampan, sudah dicoel sedikit, eh tak berapa lama dia lihat muffinnya kok cobel, gak sempurna, eh dibalikin lagi ke tempatnya, ambil yang baru. Dia lupaaa kalau tadi dia yang coel!

Tapi memang anak-anak akan selalu begitu, kan? Meski sudah dikasih tahu ini dan itu, tetap harus diulang lagi. Kita tidak bisa mengandalkan anak-anak untuk langsung mengerti mana yang baik dan mana yang buruk buat dirinya. Orang dewasa saja sering lupa (atau pura-pura lupa). Sudah tahu tidak boleh terima hadiah dari klien, eh diterima juga. #uhuk

Dua antrian di belakang saya, ada seorang bapak dengan anak perempuannya, saya taksir sih sekitar dua tahun setengah umurnya. Anaknya jadi penasaran melihat isi fridge yang terbuka karena perbuatan Vay tadi dan tertarik mau memegang botol-botol yang ada di dalamnya. Lalu berjalan pelan-pelan mengikuti ayahnya yang juga sudah maju mengikuti antrian, menyamping senyum-senyum sambil memandang kagum isi di dalam food display.

“Nah. Nah. Ini, lihat ini. Kamu musti hati-hati, nanti kepalanya kena sudut meja ini!” Si ayah menegur anaknya. Suaranya keras, tapi tidak membentak. Anaknya menoleh ke atas, ternyata kepalanya sudah mau sampai di batas meja kasir. Aduh, kalau kena siku mejanya tentu sakit.

Ih, namanya juga dia sependek itu, gimana dia bisa lihat ada meja di atas kepalanya? Kalau saya, saat Vay kecil dulu, tangan saya selalu siap menutupi siku meja atau apapun yang tajam setiap Vay jalan mendekat. Anak kecil belum bisa mengukur dengan pasti jarak yang aman buat dirinya, jadi jangan diharapkan dia akan ngeh dengan batas meja. Dia kira masih jauh eh ternyata sudah dekat.

Hmm… kok malah saya yang sok paling benar ya. Padahal bisa jadi saat saya omeli anak saya di depan umum, ada juga orang lain yang mendelik ke saya sambil bergumam “Kejam” di dalam hati. Hahah…

Vay sudah kembali biasa. Sekarang dia panjat-panjatin kaki meja bar, mau bergelantungan. Gara-gara masih semangat gymnastic di Rock Star Gym tuh. Saya berdehem kuat. Eehmm!! Lalu dia turun sambil senyum-senyum ilmu lagi kayak tadi.

Thanks sudah berkunjung ke TehSusu.Com. Subscribe to Get More. Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

8 thoughts on “Di Sebuah Kafe

  1. Ah, saya tipe kayak ayah dengan anak dua setengah tahun itu.. Diana yang masih satu setengah tahun aja selalu saya cerewetin: “Diana, ati-ati, kalau jalan lihat meja, nanti kepentok, kepalanya sakit.”

Leave a Reply to silvi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *