Kira-kira seminggu yang lalu saya membaca sebuah status teman saya di Facebook. Jadi dia ini adalah teman sekelas saat SMA dulu, dan sekarang sedang ada di UK melanjutkan pendidikan doktor.
Teman saya bilang, dia mendapatkan banyak donasi semacam food bank, dari gereja dan juga sebuah lembaga. Dan yang dia pertanyakan, kenapa orang Inggris mengira dia dan keluarganya butuh bantuan saat pandemi COVID-19 ini, padahal meskipun teman saya dan keluarganya mungkin bukan crazy rich seperti yang sering diberitakan di media sosial, namun dia memang merasa masih cukup dan belum membutuhkan bantuan.
Menurutnya. memang biasanya mahasiswa internasional sering dianggap “kurang mampu” untuk ukuran orang sana, dan meskipun dia bertanya-tanya (dan entah apakah ada rasa tersinggung di dalam hatinya saya tak tahu), namun dia tetap menghargai niat baik dari orang-orang gereja, begitu katanya. Saya paham maksud teman saya ini, kalau melihat modelnya sejak SMA pun saya tahu dia bukanlah orang yang suka meminta-minta atau berharap menerima bantuan sementara dia masih mampu.
Dia suka bercerita tentang hidup mereka di sana, bahwa mereka memang terbiasa hidup sederhana, dan itu tak masalah. Bukan karena orang susah, tapi memang begitulah gaya hidupnya. Ketika lockdown pertama kali dilakukan di Inggris, semua supermarket diserbu dan dia hampir-hampir tidak kebagian stok makanan, namun dia tetap tidak merasa butuh bantuan dari food bank.
Mungkin di Inggris sana dia merasa tak sanggup menolak karena sudah menjadi sifat orang sana untuk berbaik hati pada pendatang, namun kalau dia di Indonesia, saya tahu dia akan menolak bila diberikan bansos. Alasannya satu, selama dia masih merasa bisa, masih cukup, untuk apa menerima bantuan itu? Kan lebih baik diberikan pada orang lain yang benar-benar lebih butuh.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Warga +62 saat ini memang terkenal dengan gaya hidup superficial demi media sosial. Ketika bansos diluncurkan, banyak yang seharusnya tidak pantas menerima juga menerima bantuan. Belum ada standar jelas pada range berapa orang itu pantas menerima bantuan sosial. Kalau ada yang sanggup beli alocasia atau monstera atau masih sanggup membeli mesin kopi murah untuk berjualan kopi manis, masa pantas? Ada ini, teman saya juga di Instagram. Dia memposting saat dapat bansos tapi kemudian juga memposting saat memiliki anakan tanaman hias yang kemudian akan dia jual lagi.
Ada pula yang menerima bantuan uang tunai tapi dipakai untuk kebutuhan sekunder tertier. Lalu ada juga yang sudah menerima bantuan sembako, kemudian bantuan yang diterima itu dijual. Ada ini.
Kira-kira empat lima bulan lalu, bu RT menelepon saya. Dia bilang begini, “Bu, ini kan ada ibu-ibu, janda, sudah dapat bansos dua kali, berasnya banyak banget, Bu. Tapi kan kalau beras saja yang diterima, dia gak punya juga uang untuk beli lauknya. Jadi dia mau jual berasnya. Kira-kira Ibu mau gak Bu?”
Sampai di sini saya bingung. Pemerintah kasih bantuan karena namanya ada dalam daftar penerima bantuan, dan kita tidak tahu ini kondisi akan sampai kapan. Bukankah seharusnya bersyukur karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk kebutuhan perutnya?
Lalu, saya beli gak berasnya?
Enggak. Itu bertentangan dengan prinsip saya. Saya ingat ibu saya dulu suka cerita, bagaimana keluarga opa oma saya dulu pun hidup sederhana dan bersahaja saat di Papua, namun anak-anaknya diajarkan untuk mengejar pendidikan yang baik dan jangan pernah menadahkan tangan, sebaliknya justru harus lebih banyak memberi. Kaya itu bukan materi, tapi perilaku, geng.
Kembali ke soal beras yang mau dijual itu. Itu beras bantuan dari pemerintah, dikasih gratis untuk penerima, tanpa penerima harus keluar biaya sedikitpun, kenapa dijual? Kalau memang tak butuh bantuan, mestinya minta dikeluarkan dari daftar penerima bantuan.
Kalau ada yang merasa tak butuh beras itu karena terlalu banyak bertumpuk di rumah, menurut saya lebih baik disedekahkan saja. Bisa dikasih ke pemulung yang lewat, yang biasa hanya makan dua bungkus mie rebus untuk sekeluarga. Janganlah dijual, karena itu sama saja mengkhianati orang lain yang semestinya dapat tapi tidak kebagian.
Lain cerita kalau dia menjual sesuatu yang memang dia produksi sendiri. Hasil sayuran di kebunnya mungkin, atau masker sederhana jahitan tangan, pasti akan lebih simpatik. Paket bansos dijual? Duh.
Kalian ada pengalaman yang sama seperti cerita di atas?
-zd-
6 thoughts on “Gak Semua Orang Suka Diberikan Bantuan Sembako”