cat cat village

Vietnam Trip, Menyapa Cat Cat Village

Menyapa Cat Cat Village: Pesona Desa Adat di Kaki Pegunungan Sapa

Perjalanan dari Hanoi ke Sapa dimulai pagi hari sekali. Kami bangun cepat, lalu turun sekaligus dengan semua koper. Koper besar dititip di lobi hotel yang sempit – dan langsung terlihat full sementara koper kecil dibawa ke bus. Saya dan Vay sarapan dengan cepat, agar bisa bergantian juga dengan tamu lainnya. Seperti kemarin, Vay hanya makan mie goreng dan telor rebus.

Cuaca Hanoi pagi itu juga masih sama dengan kemarin malam saat kami di Old Quarter. Hujan dan gloomy. Perjalanan akan ditempuh sekitar 5 sampai 6 jam karena itu kami akan berhenti dua kali untuk toilet time, baru kemudian makan siang, dan baru ke Sapa. Terdengar melelahkan ya? Tapi memang begitu kan traveling. Harus lelah, dan penuh cerita.

Bicara soal toilet, selama berjalan-jalan di Hanoi, kami beruntung karena rata-rata toiletnya ada penyemprot. Yang tidak ada justru toilet di bandara. Toilet-toilet di rest area ada yang berbayar ada juga yang tidak. 4000 VND.

Di pemberhentian kedua, karena di situ ada swalayannya saya pun berkeliling melihat-lihat barangkali ada yang bisa dibeli untuk snack. Ternyata tidak ada yang menarik, kecuali satu. Mie gemes Enak, dari Siantar Top! Hahah. Jauh juga perjalanan mie gemes kita ini sampai ke Vietnam.

Perjalanan kami diiringi oleh mendungnya awan. Sudah terlihat jelas bahwa hari itu akan jadi hari yang basah sepanjang hari.

Lauka, Vietnam

Jam 12:00 Mampir ke Lauka untuk makan siang

Perjalanan ke Sapa tinggal satu setengah jam lagi ketika kami berhenti untuk makan siang di Lauka. Sebuah restoran yang lebih mirip rumah makan rumahan, karena yang datang hanya grup travel saja. Sepertinya model rumah makan seperti ini tidak menerima visit on the spot, karena mereka masaknya berdasarkan set menu yang sudah dipesan.

Kali ini kami bergabung lagi dengan keluarga lain. Selain ibu dan putrinya, satu lagi keluarga Batak 5 orang dan satu lagi 2 orang perempuan asal Bangka. Makanan hari itu enak sekali, saya mencoba semuanya untuk menunjukkan ke Vay kalau ini tuh enak lho. Tapi tentu saja Vay tetap tidak mau coba, dia hanya makan telor dadar dan ayam suir saja, which is fine.

Dan ternyata dua orang perempuan asal Bangka itu juga tidak makan, karena ragu mengenai halalnya makanan, jadi praktis hanya makan buah saja. Kalau berhenti di satu tempat, mereka saya lihat membeli roti untuk dimakan di jalan.

Setelah sholat dulu di sudut ruangan, kami baru bergerak kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan.

Tiba di Sapa: Kota di Atas Awan

Perasaan penasaran dan excited muncul di dada begitu bus kami tiba di Sapa. Ah! Kota ini terlihat sangat indah, sangat khas. Seharusnya kami akan mampir dulu ke Sapa Church, sebuah gereja tua peninggalan sejarah, tapi karena hujan sudah terlalu deras, tak mungkin untuk kami turun dan foto-foto di depannya.

Kami berhenti di sebuah lapangan untuk berganti kendaraan. Karena untuk masuk ke kota Sapa menuju Cat Cat Village jalannya kecil, bus besar kami harus ditukar dengan bus kecil.

Maka pindahlah kami semua ke bus kecil. Urusan barang-barang dari Hanoi tak perlu dipusingkan, semua  kami tinggalkan di bus besar. Nanti driver yang akan bawa langsung ke hotel, mungkin setelah kami didrop, bus kecil kembali untuk ambil koper-koper dan bawa ke hotel.

Fenomena Sapa

Sapa terletak di provinsi Lào Cai, Vietnam utara. Tempat ini sering dijuluki “kota di atas awan” sebab berada di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut.

Hal unik yang membuat Sapa istimewa adalah fenomena empat musim dalam satu hari. Katanya sih di pagi hari biasanya terasa seperti musim semi, ada kabut tipis dengan udara segar. Kemudian sianag hari berganti menjadi musim panas yang hangat (panas) dan cerah. Menjelang sore, suasana berubah menjadi sejuk seperti musim gugur. Lalu, malam hari menghadirkan dingin yang menusuk seperti musim dingin.

Perubahan cuaca yang cepat ini membuat setiap momen di Sapa terasa berbeda dan tak terduga, sebuah pengalaman yang sulit dilupakan bagi siapa pun yang berkunjung.

Sapa juga menawarkan lanskap pegunungan yang dramatis, sawah bertingkat yang hijau membentang sejauh mata memandang, dan udara pegunungan yang sejuk serta segar. Tidak hanya alamnya yang memukau, Sapa juga kaya akan keragaman budaya. Di sini, wisatawan bisa bertemu langsung dengan berbagai kelompok etnis minoritas seperti Hmong, Dao, dan Tay yang masih mempertahankan tradisi, bahasa, dan pakaian adat mereka.

Salah satu daya tarik utama Sapa adalah Cat Cat Village, sebuah desa tradisional Hmong yang mudah diakses dari pusat kota. Desa ini terkenal dengan rumah-rumah kayu sederhana, aliran sungai jernih, air terjun cantik, dan kerajinan tangan lokal.

Selain Cat Cat, Sapa juga menjadi pintu gerbang menuju berbagai jalur trekking yang menantang, termasuk menuju puncak Fansipan — gunung tertinggi di Indochina yang sering disebut sebagai Atap Indochina. Nah, kami akan ke Fansipan di hari keempat.

Tentang Cat Cat Village

Cat Cat Village terletak di lembah Muong Hoa, hanya sekitar 2–3 km dari pusat kota Sapa, Provinsi Lao Cai, Vietnam Utara. Desa ini berdiri sejak abad ke-19 dan menjadi rumah bagi komunitas Hmong Hitam (Black Hmong). Masyarakatnya dikenal dikenal sebagai pengrajin ulung, terutama dalam menenun kain tradisional, membuat perhiasan perak, dan memproduksi kerajinan tangan yang diwariskan turun-temurun.

Daya tarik utama Cat Cat Village adalah lanskapnya yang spektakuler: sawah bertingkat yang membentang sejauh mata memandang, rumah-rumah kayu sederhana, dan sungai kecil yang mengalir jernih di tengah desa. Saat berjalan kaki di sini, kita akan melihat bagaimana kehidupan tradisional tetap terjaga di tengah modernisasi pariwisata.

Hari itu cuaca kurang mendukung

Bisa dikatakan sebagian besar dari kami agak salah kostum. Saya terbalik ketika membaca daftar pergi, sehingga hari itu saya kira kami akan ke Fansipan dan membiarkan Vay mengenakan celana panjang karena saya kira akan dingin.

Suasana di Sapa memang dingin, tapi juga hujan cukup deras sehingga kami pasti akan basah juga meskipun memakai payung. Tahu begitu kan pakai celana pendek saja dia.

Beruntung saya bawa 1 payung, tapi karena repot kalau jalan berdua 1 payung, maka saya membeli satu buah payung tambahan seharga 30.000VND. Dan yang tak kalah penting harusnya kami membeli pembungkus sepatu (dan ini saya baru ingat karena lihat rombongan ibu-ibu lansia yang pakai sarung sepatu plastik, jadi sepatu mereka tidak basah.

Budaya dan Tradisi Hmong

Yang menarik dari desa ini adalah warga desa masih mengenakan pakaian tradisional yang dibuat secara manual dari kain hemp yang mereka tanam, warnai, dan jahit sendiri. Katanya proses pewarnaan menggunakan indigo alami, dan ini menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin melihat langsung proses pembuatannya.

Beberapa anggota grup kami menyewa baju adat untuk dipakai selama berkunjung ke Cat Cat Village. Saya tawarkan ke Vay apakah juga mau berpakaian tradisional suku Hmong, katanya tidak mau. Mungkin dia sudah merasa ribet karena kondisi hujan deras.

Menyusuri Jalan Menurun yang Meliuk-liuk

Kami mendapatkan tiket satu-satu dan turun ke bawah, mengikuti tour leader. Letak gerbang ada di sisi kiri. HTM 150.000 VND.

Begitu melewati gerbang masuk Cat Cat Village, langkah kaki langsung diarahkan pada jalan setapak yang menurun perlahan, meliuk-liuk mengikuti kontur lembah Muong Hoa. ekilas seperti masuk tempat wisata di Bandung, tapi sebenarnya di balik gerbang itulah terletak desa adat yang mempesona.

Aspal berganti menjadi batu alam yang tersusun rapi, dan di kiri-kanan terbentang sawah bertingkat berwarna hijau keemasan, tergantung musimnya. Udara pegunungan yang sejuk terasa menyapa wajah, sementara kabut tipis turun perlahan, menambah kesan magis di setiap sudut pandang.

Vay jalan duluan di depan, membawa ransel yang juga berisi tas kamera. Syukurlah ada dobel tas, kalau tidak bisa-bisa kamera juga basah oleh rembesan air.

jalan menurun di cat cat village

Licinkah? Herannya, tidak. Dengan begitu derasnya hujan dan air yang mengalir turun, ternyata batu-batu alam itu tidak licin sama sekali. Saya sudah tak terlalu peduli dengan sepatu atau celana yang basah oleh terpaan hujan.

Di beberapa titik, terlihat rumah-rumah kayu sederhana milik warga Hmong, sebagian difungsikan sebagai kios kecil yang menjual kerajinan tangan seperti syal tenun, tas sulam, dan perhiasan perak. Penjualnya, perempuan Hmong dengan pakaian adat warna gelap berpadu motif cerah, tersenyum ramah sambil menawarkan dagangan. Langkah demi langkah, perlanan penat di pikiran hilang, digantikan oleh ritme tenang desa pegunungan.

Iringan Suara Alam

Semakin jauh menuruni jalan, suara gemericik air mulai terdengar samar, seperti undangan untuk terus berjalan. Jalan setapak ini memang menjadi jalur utama menuju air terjun Cat Cat yang terkenal. Di sepanjang perjalanan, burung-burung berkicau dari pepohonan, ayam-ayam kampung bebas berkeliaran, dan sesekali terdengar bunyi palu dari bengkel kerajinan logam milik warga.

Berjalan di tempat ini seperti semua pancaindra jadi bekerja lebih intens. Mata kita dimanjakan oleh pemandangan hijau dan coklat, telinga mendengarkan suara-suara alam, dan hidung disapa oleh aroma kayu bakar. Sensasi yang bisa didapat bila kita pergi traveling ke tempat yang jauh dari kota..

Bertemu Wajah-Wajah Desa

Saya mengitarkan pandangan ke kanan dan kiri, untuk menikmati wajah-wajah penduduk desa. Dalam hati saya, wah persis ya seperti di film-film yang ada tokoh orang Vietnam.

Kita juga berpapasan dengan anak-anak lokal yang sedang bermain di jalanan setapak. Ketika bertemu mereka yang mengenakan pakaian adat seperti di atas, agak sulit sedikit membedakan mana suku asli dan wisatawan bila kebetulan berkulit dan berwajah mirip-mirip. Tapi lama-lama saya lihat, baju yang dipakai oleh penduduk asli beda dengan model baju yang disewakan. Jadi mungkin saja ada wisatawan lokal yang juga menyewa baju adat untuk berfoto.

Bisa dibilang, Cat Cat Village bukan sekadar destinasi wisata, tapi juga ruang hidup yang nyata bagi komunitas Hmong. Begitu kami tiba di area yang lebih rendah, jalan mulai bercabang menuju berbagai spot menarik. Ada jembatan gantung, area pertunjukan musik tradisional, dan yang paling utama adalah air terjun. Si ikon desa adat.

air terjun di cat cat village

Pak Tom mengarahkan kami ke titik dekat jembatan. Acara bebas, kami boleh kemana saja, dan diberi waktu kurang lebih 2 jam.

Rasa lelah karena menuruni jalan yang panjang seakan lunas dengan pemandangan indah di depan mata. Bayangkan rumah-rumah yang seolah dibangun di gunung dan pepohonan, ah asli keren banget.

Belum lagi suara ombak dari tumpahan air terjun yang deras,  seolah tak mau kalah dengan suara berisik para manusia.

cat cat village

Berfoto di sini bisa gak puas-puas

Pe-er lainnya kalau berlibur ke tempat ikonik begini adalah ramainya manusia yang mau berfoto. Saya sampai mengantri lama karena turis India di depan kami yang terus saja jepret-jepret pakai hape gak berhenti. Ganti gaya berkali-kali, ganti pasangan foto, padahal spotnya itu juga. Kayaknya kalau memori belum full mereka gak akan berhenti.

Si istri mengarahkan tangan menyuruh saya minggir karena sepertinya saya masih masuk di layar kamera mereka, tapi saya tidak mau minggir. Itu lokasi begitu luas, seharusnya dia yang menyesuaikan diri.

Namun, mereka tidak kunjung paham kalau tempat itu bukan milik pribadi, Vay jadi jengkel dan membentak. Hahah! Si suami langsung malu hati, dan memberi kode pada istrinya. Mereka pergi. Dugaan saya dalam hati pada gedumel: “Turis dari negara mana sih itu? Gak pengertian banget!” Hahaha!

Cat Cat Village - Sapa

Kemudian kami lanjut duduk di sebuah rumah kayu besar tempat semua wisatawan mampir, berteduh dan beristirahat. Meski hujan masih awet, tak menyurutkan orang-orang untuk bermain air dan berfoto.

Serombongan anak kecil berpakaian adat hitam, datang dan bergerombol mengobrol. Sepertinya baru pulang sekolah. Orang-orang pun menyapa dan memotret mereka. Sesekali ada juga orang-orang tua yang keluar untuk berkegiatan.

Keluar dari desa, harus naik tangga lagi

Tiba saatnya untuk kembali ke kenyataan. Kami berjalan mengikuti trek yang ada, untuk keluar dari desa. Menaiki tangga yang sama curamnya dengan ketika kami turun di awal, tapi tentu saja ini lebih terasa karena kami bukan turun, tapi naik.

Sampai di atas, sudah ngos-ngosan. Syukurnya, di atas ada amobil golf yang akan mengantar wisatawan ke titik parkiran mobil. Seperti angkot, kami bayar 10.000 VND per orang. Naik, duduk dan diantar.

Kalau berjalan kaki lagi kurang lebih 10-15 menit, kata Pak Tom. Tapi saya yakin siapapun yang sampai di atas dengan ngos-ngosan pasti memilih naik mobil.

“Dilarang duduk kalau tidak beli!”

Di tempat parkir mobil, mbak penjual air kelapa dan minuman lainnya melarang orang-orang duduk di area kafe dia kalau tidak beli. Sebab memang rata-rata orang duduk karena menunggu mobil jemputan, dan tak semua mau beli minuman.

Dari situ kami pun lanjut untuk check in di hotel.Sepanjang perjalanan ke hotel, saya merasa sangat nyaman dan tenang dengan suasananya. Ternyata benar, semakin sore, semakin berkabut. Kota Sapa terlihat begitu dramatis, dengan udara yang dingin dan kabut menutupi jarak pandang, air hujan yang terus mengucur, lampu warna-warni dari hotel dan resto. It’s like, I can live in here forever!


Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.