Bukan Tugas Mami untuk Membuat Hidup Ini Mudah, Anakku!

orangtua tidak bisa membantu membuat hidup mudah

Dua minggu yang lalu, ketika kita berada pada tanggal yang disebutkan sebagai Hari Ibu, saya melihat beberapa postingan remaja mengenai peringatan tersebut.

Beberapa dari mereka mengucapkan terima kasih kepada ibu atas kasih sayang yang selama ini telah diberikan, lalu sebagian lagi berterima kasih pada orangtuanya karena selama ini telah memberikan semua yang mereka inginkan. Sampai di sini saya ingin menggarisbawahi dua hal.

Satu, saya tidak memposting ucapan hari ibu, demikian juga anak saya. Sepertinya semua sudah tahulah bahwa tanggal 22 Desember pada dasarnya bukanlah hari untuk seorang ibu, tapi hari untuk perempuan Indonesia. Kalaupun makna di tanggal 22 Desember bergeser menjadi “hari ibu” itu pun rasanya tidak adil kalau kita harus menunggu tanggal 22 Desember agar bisa memberi perlakuan istimewa pada ibu kita, itu satu. Kedua, apakah mereka yang belum atau tidak mempunyai anak, atau mereka yang tidak memiliki ibu karena terlahir piatu, tidak berhak mendapatkan ucapan itu? Seharusnya defenisi peringatan tanggal 22 Desember itu lebih ditegaskan lagi, dikembalikan pada inisiasi awal dibuatnya yaitu untuk memperingati semangat kaum perempuan dalam meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.

Lalu, satu hal lain yang membuat saya menyunggingkan senyum di sudut bibir sebelah kiri adalah remaja yang berterimakasih pada orangtuanya secara terbuka di media sosial “karena telah memberikan semua yang diinginkan”. Yang ada di dalam pikiran saya adalah, sebuah simbol, sebuah status yang dibuat untuk menyenangkan mereka yang terlibat dengan pemberian semua keinginannya. Sekarang setiap keluarga atau siapapun harus terlihat super sibuk, yang bisa dilihat dari statusnya yang padat merayap. Seperti teman-teman saya dulu di telco, begitu sampai di tempat kerja atau event manapun langsung update status, bahkan sampai sekarang mereka masih begitu. Alasannya mulai dari “biar ketahuan kalau lagi kerja,” dan tentu saja “demi konten”.

Saya termasuk orang yang tidak terlalu peduli dengan status, bahkan cenderung menghindari. Saya pikir bisa jadi ini karena saya dibesarkan oleh orangtua pekerja keras sehingga pola didiknya juga cukup mempengaruhi saya. Pasangan saya juga begitu, sejak remaja sudah mandiri sehingga kami tidak termasuk pada orangtua yang memberikan segalanya untuk anak. Mungkin itu sebabnya kenapa postingan ini penting buat saya.

Kami lebih memilih membesarkan anak yang bahagia, dan berharap dia bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang tangguh secara emosional.

Ketika putri saya masih kecil, saya memberikannya banyak mainan dengan kebanyakan adalah mainan edukasi. Ketika dia sudah besar, saya tak pernah lagi membelikannya barang-barang yang tidak penting. Bila dia menginginkan satu barang populer seperti milik temannya, saya katakan dia bisa membelinya tapi dengan uangnya sendiri. Beberapa temannya mengira kami orang berpunya (which is not true), mungkin begitu pula beberapa teman saya, tapi anak saya hampir tak pernah mendapat uang jajan selama dia sekolah. Untuk apa kamu butuh jajan? Semua yang dibutuhkan ada di rumah ini.

Bila dia ingin uang, dia akan saya berikan barang-barang untuk dijual. Saya memintanya membereskan kamarnya atau mencuci piringnya sendiri bila dia ingin mendapatkan gaji. Dan itu sangat jarang, karena dia tidak terlalu peduli pada superficial thing. Tak butuh baju baru, sepatu baru, tas baru, kalau masih ada yang dia bisa pakai. Biasanya butuh uang jajan di sekolah, karena kepengen betul ingin makan sesuatu yang dia suka. Atau dia ingin membeli suatu barang signature idolanya. Itu saja.

Beberapa waktu lalu, dia dan teman-temannya berkutat pada projek kelompok yang mengharuskan mereka untuk membuat video band online yang berisi rekaman mereka bermain bersama. Saya lihat putri saya dan teman-temannya sudah saling membagi tugas, siapa yang main pianika, siapa yang main gitar (which is ini si Vay) dan siapa yang menyanyi. Karena mereka memang belum menjadi musisi beneren, tentu saja hasil rekaman tidak ada yang pas. Yang mau nyanyi bingung karena dia menggunakan lagu asli sebagai referensi. Saya pun mendapatkan pesan dari mom teman Vay yang kebagian jadi vokal, isinya meminta apakah anak saya bisa merekam ulang permainan gitarnya agar anaknya bisa mengisi suara dengan benar. Lalu kapan mereka bisa rekaman ulang agar tidak saling tunggu. Kemudian juga meminta nomor ponsel mom satu lagi, karena mau menyamakan jadwal.

I was like.. okay? So?

Saya hanya mengatakan, biar saja anak-anak berdiskusi sendiri bagaimana baiknya. Anak-anak sudah besar, mereka sudah bisa membuat pembagian tugas sendiri, dan saya tidak mau masuk untuk menyelesaikan urusan itu. Mereka pasti bisa menyatukan isi di kepala masing-masing, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak perlu juga untuk urusan ini orangtua harus memaksa agar jadwal anak lain mengikuti jadwal anak kita, mereka sudah bisa kok menentukan sendiri.

Ketika saya tanyakan ke putri saya mengenai kabar projek mereka (tanpa menyinggung soal pesan dari orangtua temannya), jawabannya singkat saja. Dia bilang saya tidak perlu khawatir, projek sudah mau selesai. Saya pancing lagi, apakah ada masalah? Katanya, hanya kurang pas saja saat semua rekaman terpisah dijadikan satu video, jadi mereka akhirnya akan melakukan rekaman ulang secara virtual dilakukan bersama-sama, dan waktunya juga sudah mereka sepakati kapan.

Saya tak peduli meskipun hasil rekaman mereka tidak bagus, karena saya yakin bagi anak-anak usaha mereka adalah yang terpenting. Meskipun mungkin kelompok mereka tidak akan masuk menjadi pilihan band yang akan tampil nanti, bukan masalah kalau anak kita akan merasa kecewa. Kita harus mengajarkan anak kita bagaimana menghadapi kekecewaan.

Sebagai individu kita semua sudah diprogram untuk berjuang, dan itu sebabnya saya selalu mengingatkan putri saya, bahwa suatu saat dia harus berjuang untuk dirinya, karena orangtuanya tak mungkin selalu ada untuk membantu. Karena itu yang perlu dipastikan dari kita sebagai orangtua adalah mempersiapkan alat baginya untuk berjuang nanti, meskipun dalam perjalanan ini nanti akan ada kesalahan dan kemudian kekecewaan yang dia alami.

menjadi remaja yang tangguh

Sebuah kejadian seminggu yang lalu sedikit membuat saya berpikir. Itu adalah ketika putri saya tanpa kami sangka-sangka memenangkan juara pertama kompetisi video berbahasa Inggris. Di postingan pengumuman pemenang, saya membaca beberapa komentar negatif dari orangtua yang “mengatasnamakan anak” seperti kenapa lomba tidak dibagi antara usia remaja dengan usia anak-anak, kan kasihan anak sudah ikut lalu tidak menang jadi kecewa, kemudian komentar sinis orangtua lainnya mengatakan bahwa penyelenggara memilih para pemenang ini karena para pemenang adalah orang-orang yang butuh dikasih les lagi, jadi memang harus dipilih yang tidak bisa berbahasa Inggris. Saya tak habis pikir membaca komen ibu-ibu netijen itu, sebelum mereka memberi komentar di media sosial, apakah mereka tidak terpikir bahwa anak-anak yang menang akan membaca komentar mereka itu? Mereka sadar tidak ya kalau range para pemenang adalah anak usia 8 – 15 tahun, ada beberapa yang masih duduk di bangku SD.

Itulah satu contoh bagaimana orangtua selalu berusaha memenuhi semua keinginan anaknya.

Saya tahu anak saya membaca komentar-komentar sinis dari ibu-ibu netijen itu, namun untungnya dia tidak terlalu ambil peduli. Dia tahu semua yang dikatakan ibu-ibu ngasal aja dan hanya karena emosi semata karena anaknya tidak berhasil menang. Anak saya mengemukakan alasan logisnya, tidak masuk akal kalau penyelenggara memenangkan orang yang tidak memenuhi kriteria, masa tidak bagus terus dikasih menang dan  dikasih duit lagi, begitu katanya.

Putri saya bertanya pada saya, apakah saya akan seperti ibu-ibu itu andaikan dia tidak menang?

Tentu saja tidak, kata saya. Menang atau kalah adalah biasa dalam pertarungan, mungkin saat ini dia menang tapi bisa saja besok-besok dia kalah, dan saya tekankan bahwa menang bukanlah tujuan utama. Tujuan utamanya adalah memperbanyak pengalaman. Dan sangat penting baginya untuk banyak belajar tentang kekalahan, tentang kekecewaan, karena dalam kehidupan nyata nanti perjuangan itu akan sangat keras. Saya katakan padanya, kita tidak berkewajiban membuat orang lain senang, demikian pula kita sendiri akan menemukan kekecewaan itu nanti.

Bukan tugas saya sebagai orangtua untuk membuat hidup ini mudah baginya. Akan ada banyakkk sekali micro moment dalam hidupnya yang harus dia hadapi nanti, dan dia yang melewatinya.

Saya tidak berharap anak saya mengucapkan terima kasih karena saya telah memberikan semua yang dia inginkan. Justru saya ingin suatu saat dia akan berterima kasih karena hal-hal yang tidak saya lakukan untuknya.

-zd-

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

2 thoughts on “Bukan Tugas Mami untuk Membuat Hidup Ini Mudah, Anakku!

  1. Pingback: 9 Cara Agar Dekat Dengan Anak yang Beranjak Remaja | Life & Travel Journal Blogger Indonesia

  2. Iya ya mbak, jadi mikir kita ada untuk apa?

    Kalau aku seh maunya aku ngajarin kemandirian, jadi aku hadir untuk menemaninya belajar mandiri. Karena goals aku ke anak adalah dia bisa hidup mandiri seperti mencari uang sendiri tanpa bantuan aku sebagai ibunya. Jadi kalau apa-apa dikasih dan ngaruh ke kemandiriannya rasanya sayang banget.

Leave a Reply to irni Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *