Dari Working Mom become Stay-at-Home Mom. Bagaimana Rasanya?

working mom become stay at home mom

Sebenarnya saya tidak pernah terpikir untuk menjadi stay-at-home mom dengan cepat. Bayangan saya adalah saya akan mulai jadi SAHM itu ketika anak saya Vay sudah mulai masuk SMA, namun kemudian karena satu dan lain hal saya memutuskan untuk mencoba menjadi stay-at-home mom.

Dan sekarang, sudah hampir dua tahun lho saya menjadi stay-at-home mom. Luar biasa sih terasa-nya bagaimana jadi ibu yang di rumah saja, terutama karena pandemi ini yang bikin stress luar biasa. LOL.

Kuartal pertama 2018, saya memutuskan untuk resign dari perusahaan telco tempat saya bekerja sekian tahun. Saat itu saya sudah berdiskusi dengan ayah Vay, apakah saya tetap bertahan di sana namun dengan posisi pindah ke sales (which is saya merasa kurang suka) atau saya sebaiknya mengajukan diri untuk pensiun dini saja. Lalu akhirnya kami sepakat, saya mengajukan pendi agar saya bisa punya waktu untuk anak saya Vay yang saat itu sudah masuk upper class.

Bagaimana rasanya pertama kali jadi stay-at-home mom?

Pertama kali, rasanya aneh, haha.

Selama bekerja kantoran, saya terbiasa dengan rutinitas yang teratur: bangun pagi, lalu bikin sarapan dan kopi untuk dibawa di mobil, lalu berangkat begitu Vay sudah dijemput driver jam 6.20, lalu tiba di kantor jam 8 kurang. Lalu beraktivitas sepanjang hari sampai sore, dan kembali ke rumah setelah maghrib. Dan saya bekerja sudah lebih dari enam belas tahun! Gilingan gak itu.

Hari pertama saya menikmati jadi pensiunan (demikian kami lulusan telco menyebut diri kami sebagai pensiunan) saya isi dengan benar-benar menikmati liburan. Libur tanpa rasa bersalah karena biasanya kalau saya cuti pun saya pasti kepikiran pekerjaan.

Tapi setelah sebulan dua bulan, mulai mati kebosanan nih. Masalahnya karena sudah terbiasa beraktivitas, rasanya kok sayang gitu kalau selama anak sekolah saya bengong saja. Saya pun beli buku-buku baru deh, lalu mulai lebih rutin lagi motret sama komunitas.

Mengerjakan project kecil-kecilan

Dua bulan pertama resign, saya jadi team mantan bos saya, ngerjain project. Kerja project pertama ini membuat mata saya terbuka. Ya ampun kenapa saya haru menunggu lama untuk resign ya, hahaha…

Karena kalau kita sudah di luar, kita bisa melihat peluang apa saja yang bisa kita ambil, at least itu menurut saya. Kalau terlalu lama di dalam kotak, ya fokusnya hanya ke situ terus.

Eh terus saya kerja lagi, batal deh jadi stay-at-home mom

Di bulan ketiga setelah resign, ternyata saya berjodoh kembali bekerja untuk sebuah OTT. Saat itu saya ditawarkan bekerja freelance buat mereka, dan saya dengan senang hati menerimanya, karena berarti saya tidak perlu masuk setiap hari kan. Jadilah saya hanya bekerja empat hari dalam satu minggu, bebas mau masuk hari apa. Seperti biasa jam delapan kurang saya sudah di sana, kembali dengan rutinitas.

kegiatan ngopi di kantor

saat masih ngopi di kantor pagi-pagi

Tapi kemudian setelah dua bulan kerja, mereka nego agar saya bisa kerja full. Soalnya company yang ini memang benar-benar baby dan mereka butuh saya bisa full-time di sana. Saya pun menyanggupi, namun saat itu saya sudah berjanji pada diri sendiri bahwa saya tak akan terlalu lama lagi kalau bekerja full time, paling lama satu tahunlah.

Masalahnya, kerja di tempat baru ini saya harus pulang di atas jam delapan malam setiap hari. Saya adalah orang yang sangat berkomitmen pada pekerjaan, jadi tidak bisa main tinggal kerjaan meski sudah lewat jam kantor. Salah satu contoh tak tega meninggalkan tim kreatif yang sedang mengejar deadline. Kadang kalau mereka butuh kerja di luar pas weekend, saya dampingi juga, biar kita semua sama-sama semangat. Brainstorming bareng jadi kerja lebih cepat selesai.

Tapi di sisi lain, anak saya mulai masuk masa-masa persiapan ujian akhir nih kan, dan saya juga merasa bersalah karena di tempat baru ini malah benar-benar tak pernah sempat menemani dia belajar lagi. Masa weekend juga ditinggal.

Pilihannya: mau penghasilan lumayan tapi tidak ada waktu buat anak, atau bisa punya waktu seluang-luangnya untuk anak, tapi pendapatan mungkin seadanya?

Lalu resign lagi dan jadi stay-at-home mom lagi

Dan akhirnya, masuk kuartal kedua tahun lalu saya mendapat kesempatan untuk  resign lagi.

Lalu setelah itu, sampai sekarang, bisa dikatakan sudah 20 bulan, saya benar-benar menjadi seorang stay-at-home mom.

Aktivitasnya apa aja nih selama jadi stay-at-home mom

Menjemput anak pulang sekolah.

Cuma sesekali saja saya menjemput Vay ke sekolah. Dia lebih memilih pergi dan pulang dengan mobil jemputan, dan saya dapat mengerti alasannya, sudah masuk pra-remaja kan dia, pergaulan itu yang utama. Pertama, biasanya ada spare waktu setengah jam sebelum driver datang, jadi dia ada waktu untuk main dengan teman-temannya setelah jam sekolah selesai (kalau dengan saya kan harus on time). Kedua, kalau di mobil jemputan dia bisa ngobrol dan seru-seruan sama teman-temannya, kalau dengan maminya ya udah cuma gitu aja, hahaha…

Saya biasanya jadi driver cadangan aja. Contoh, dia keasyikan main di library sama temannya, entah di sudut mana, jadi driver datang ke library nyari dia gak ada, ya udah ditinggal dong, nanti balik lagi dijemput. Lalu dia nelpon saya dari sekolah, minta pertolongan dijemput, soalnya dia tinggal sendiri. LOL.

Belajar baking.

Saya mulai belajar bikin kue sederhana saja, yang gampang-gampang, tanpa stress, yang penting mengisi waktu untuk belajar. Butuh beberapa kali latihan baru berhasil, dan saya happy. Dulu waktu masih kerja, belajar baking aja pake emosi, gak sabaran.

Saya membeli buku-buku baru.

Agar pagi hari tidak bengong, saya membeli buku-buku baru dan menghabiskan waktu dengan membaca.

Baca juga:Apa Sih Tiga Buku Favoritmu? Kasih Tahu, Dong!

Mendampingi anak belajar.

Nah, sejak tahun lalu sampai awal tahun menjelang persiapan ujian akhir kelas 6, saya pun lebih teratur mendampinginya belajar. Asli ini gak gampang sih, sebab semua subject Kinderfield kan in English, jadi kalau saya mau mengajarkan dia juga berarti saya harus sangat cakap kan, which is tentu saja tidak. Kalau saya cakap, saya sudah jadi guru di sekolahnya, hehe. Maka saya harus mencari source yang sesuai dengan yang dia pelajari di sekolah jadi bisa jadi bekal untuk mendampingi dia.

Sekarang setelah hampir delapan bulan school from home karena pandemi, saya bersyukur juga saya jadi stay-at-home mom, soalnya bisa full time menemani dia belajar. Meskipun penuh emosi yaaa…. 😀

Jadi pekerja paruh waktu.

Setelah resign dari perusahaan OTT itu, saya meniatkan diri untuk benar-benar jadi freelancer. Adalah beberapa proyek pekerjaan kecil yang saya kerjakan selama beberapa waktu, gak jauh-jauh dari digital marketing dan content, meski pendapatannya belum bisa mencapai angka saat kerja in-house.

Namun kerja paruh waktu ini bagi saya lebih menantang dan juga sekaligus berbagi ilmu, karena ada tim kecil yang membantu. Ada yang dari mantan tim dulu di OTT, lalu ada juga yang baru. Sekarang kebalik. Kalau dulu saya yang kasih brief ke ahensi, sekarang kebalik saya yang terima brief dan harus menerima feedback dari klien bila ada yang kurang puas. Cara pikir harus di-switch total, lalu harus bisa sefleksibel mungkin.

Berkebun.

Pandemi memang jelas memutar-balik semuanya. Banyak rencana yang tidak terlaksana (saya yakin sih banyaklah yang bernasib sama), pekerjaan juga tidak ada. Demi mengisi waktu, ya sudahlah saya berkebun saja.

berkebun

Selama jadi working mom, saya kan jarang melihat halaman. Sekarang jadi lebih rajinlah. Merapikan yang ada saja, seperti repotting (kasihan lho pot udah pada hancur-hancur) sama tambah media tanam. Tanaman-tanaman lama yang selama ini terbengkalai, seperti anakan-anakan kamboja yang terbengkalai, saya gabung-gabungin dua dalam satu pot dan dipenuhin tanahnya. 

Lalu ada tanaman lidah mertua yang sudah gede-gede kayak hutan terpaksa saya babat separoh, dibuat sebaris aja. Lalu pohon lemon cina yang sudah tua ditebang, sama daun suji yang sudah banyak juga dibuang. Duh sayang banget ya? Gpp sih, soalnya si lidah mertua itu akarnya udah kemana-mana, sebulan lagi juga udah tumbuh entah di mana dia. Penjaganya ada nih, di foto di bawah ini. :p

lidah mertua

Saya bikin green house kecil-kecilan di tempat itu. Isinya sih baru pot-pot pohon cabe dan sayuran. Cabe hijau, udah ada sejak lama nih, ditanam di tanah samping depan dan ada beberapa yang di dalam pot, itu sudah berbuah. Saya lagi nunggu yang baru ditanam, cabe rawit dan cabe merah, udah umur dua bulan nih, dah tinggi tapi yang baru ada bunganya si cabe merah. 

Terus kan, sebulan ini saya pun lihat ada tanaman yang baru tumbuh,  sejenis caladium yang cantik, nama latinnya saat saya foto pakai Picture This: Heart of jesus, padahal saya gak pernah tanam itu lho sejak dulu. Yang duluuuu ada cuma keladi polos yang daunnya sampai 1 meter, dan sudah dibabat juga karena SUDAH KAYAK HUTAN. Keladi yang polos itu tumbuh terus, bibitnya masih banyak di dalam tanah, gak berhenti-henti muncul.

Nah, caladium dengan daun  hijau dan urat pink di daunnya ini mungkin tumbuh berkat bibit dari burung-burung yang main ke halaman. Memang banyak burung suka main ke sini, lha bibit cabe saya aja dimakan habis (emosi!), makanya bikin green house biar aman. Pinter pula ini tumbuhnya, dekat dengan batang bekas pohon giawas yang sudah saya lilitin daun rambatan.

caladium heart of jesus

Di pot depan juga saya ketemu satu caladium lain, jenisnya Florida Clown kata Google, yang bercak pink gitu, tumbuh bareng tanaman lain satu pot. Dipindahkan langsung ke pot kosong, dan sekarang sudah tumbuh cantik.

Lalu tadi juga ketemu pohon Xanadu Philodendron, tanaman hias yang bentuk daunnya kayak jari-jari itu. Tumbuh di tanah, masih kecil, tapi akarnya sudah dalam sekali. Ketahuannya pas saya lagi mindahin pot bunga yang baru distek, eh kok ini ada pohon cantik yang kayaknya sedang hits juga. Ya udah saya pindahkan ke pot biar rapi. Entah dari mana bibitnya, saya pun tak tahu. Begitulah kalau selama ini kerja, jadinya gak tahu punya apa saja di kebun hehe…

Tanaman yang dibeli mami saya dulu, Taro, spesiesnya Elephant ears, juga sudah saya pindah letak dari belakang ke depan, biar cakep. Itu umurnya udah ada sepuluh tahun deh sepertinya, saya gak ingat lagi. Ngangkat potnya aja mesti dua orang, beraattt.

Lalu tadi habis cutting batang pohon buah naga, mau ditanam baru di samping. Pas banget ketika cek ke belakang, ada kerangka besi dan tiang yang gak kepakai, jadi bisa dibikin untuk pohon naga. Ya soal berbuah apa gak urusan nantilah, hahaha… Pengen beli tanaman hias yang lagi hits tapi kok harga lagi mahal gitu ya. Stop kalau gitu, kan hematttt…

Perasaannya bagaimana?

Selama belasan tahun mandiri secara finansial, ketika sekarang kehilangan sumber penghasilan tetap itu rasanya campur aduk. Sebab selama ini tak pernah terbiasa meminta pada pasangan untuk hal-hal pribadi, jadi mau tak mau memang harus berhitung super cermat. Yang tidak terlalu penting harus dikesampingkan. Yang biasa dua tiga kali sebulan, sekarang jadi satu kali sebulan atau dua bulan sekali. Sumpah saya hemat banget sejak jadi stay-at-home mom apalagi sejak pandemi. Sebenarnya green house itu termasuk tertier sih, tapi saya merasa ini memang harus ada, kan sayang kalau sayuran rusak dimakan tikus atau burung.

Ketika ada teman yang teriak di WAG, “Horeeee… besok jadi cuti bersama!” Saya dan mungkin beberapa teman yang dalam tanda kutip bukan pekerja kantoran tidak kasih komentar apa-apa. Lha wong rasanya sama saja kok, hahaha…

Di satu sisi, saya sering rindu sama suasana kantor, karena bekerja itu bukan melulu soal penghasilan tapi juga tentang belajar. Itu sebabnya ketika beberapa kali saya dapat penawaran in-house saya selalu mempertimbangkan apakah ada yang bisa saya pelajari di sana. Yang saya rindu juga berpakaian dan dandan tiap pagi kalau mau pergi ke kantor, meskipun sebenarnya dulu ngantor juga dandan ala kadarnya, tapi kan tetep beda ya. Sekarang selama di rumah kan hanya pakai pelembab saja. 🙂

Namun di sisi lain, menjadi stay-at-home mom ini saya syukuri, karena di saat anak saya pubertas begini saya bisa menghabiskan waktu untuk mengenal karakternya, mengikuti perkembangan fisik dan psikologisnya, dan juga mengenal kemampuan diri saya sebagai seorang ibu.

Masih ingin bekerja lagi gak kira-kira?

Saya tak pernah bisa menolak sebuah tawaran yang menarik. Dalam arti selain offering, juga apakah saya bisa belajar banyak (seperti tadi saya bilang di atas), dan juga waktunya. Kalau dibilang enakan mana, ya enakan kerja freelance karena waktunya fleksibel, hanya saja dengan fleksibelnya itu, bisa jadi penghasilannya pun tidak sebesar kerja in-house.

Tips jadi stay-at-home mom

Buat mommies yang biasa bekerja lalu memutuskan untuk resign, bagaimana biar bisa tetap waras dan tidak kehilangan rasa percaya diri?

Berhenti membandingkan dan berdamai dengan diri sendiri

Saya selalu mengatakan ini ke diri saya, bahwa kehidupan saya bulan di sana lagi. Saya harus ikhlas bahwa ini memang pilihan saya, dan saya memang sudah jadi SAHM. Jangan banding-bandingkan dengan teman yang masih kerja di sana, karena nanti jadi stress dan merasa kurang percaya diri.

Selalu bersyukur

Kalau perasaan sedih itu datang, saya mulai mencoba melihat dari sisi yang berbeda. Bersyukur lebih banyak, karena ternyata ada saja hal baru yang bisa saya dapatkan karena saya menjadi SAHM. Seperti, sekarang jadi punya waktu lebih banyak dengan anak.

Tiga bulan lalu, saya keluar rumah untuk rapat serah terima pekerjaan dengan klien. Menghabiskan waktu lama di jalan, pergi dan pulang, membuat saya berpikir bahwa inilah yang membuat saya tidak kangen kerja kantoran: terjebak macet! Jadi SAHM dan kerja paruh waktu membuat saya benar-benar bisa mengalokasikan waktu dengan baik.

Support system dari keluarga dan teman

Bila ingin menjadi stay-at-home mom tentu harus sudah melalui banyak pertimbangan, termasuk berdiskusi dengan pasangan. Bagaimanapun, penopang akan hilang satu, karena itu pastikan sudah sama-sama sepakat dengan kondisi yang terjadi nantinya.

Kemudian jangan pernah lepas dari pertemanan. Saya punya beberapa kelompok teman, mulai dari teman dari kantor lama sampai teman motret bareng. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja in-house, sebagian adalah freelancer. Memiliki teman dekat adalah bagian dari cara membuat diri tetap waras. Berbagi lelucon, curhat, membuat kontes kecil-kecilan antara teman, berbagi resep, akan membuat hati selalu senang dan bisa menghilangkan stress.

Ya, begitulah kira-kira rasanya hampir dua tahun menjadi stay-at-home mom, penuh suka duka. Menjadi working mom, kemudian menjadi stay-at-home mom, sudah saya rasakan kelebihan dan kekurangannya.

Melepas “jabatan” memang tak mudah, tapi sebenarnya kita bukan melepas jabatan, tapi hanya pindah jabatan saja. Dari working-mom yang biasa menej pekerjaan, sekarang jadi stay-at-home mom yang full menej keluarga.

Dengan jabatan baru sebagai stay-at-home mom, sebenarnya ada banyak hal baru yang bisa dipelajari lho! Contohnya ya saya. Dulu sih udah biasa jadi produser dan director kalau bikin konten video buat campaign, sekarang di rumah juga sama, cuma istilahnya aja beda. Mandor, untuk proyek kerjain ini kerjain itu. 🙂

Bagaimana? Siapa yang juga dulu working mom terus sekarang sudah jadi stay-at-home mom? Sharing dong.

-ZD-

Sharing is Caring

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

11 thoughts on “Dari Working Mom become Stay-at-Home Mom. Bagaimana Rasanya?

  1. Indah

    Bagus banget tulisannya Mba. Saya juga sedang mempertimbangkan resign setelah bekerja 11 tahun, untuk anak2 juga. Baca blog ini jadi terbayang kira2 seperti apa nantinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *