Stop Complaining

Kemarin malam, di grup WhatsApp (yeah siapa pula yang gak punya grup WA ya? Kalau masih pakai feature phone, sih mungkin), orang-orang tua berbagi pendapat mengenai kapan sih COVID-19 ini selesai. Kapan sih situasi menjadi benar-benar normal? Kenapa pemerintah kesannya tetap memaksa untuk melonggarkan PSBB, meski kemudian angka penderita positif corona virus menaik tajam. Kemarin tembus di atas 1300.

Oiya, saya sebut orang-orang tua karena memang sebagian besar udah kepala empat, sudah berkeluarga, sudah punya anak.

Lalu lanjutin soal wfh “work from home”. So karena sebagian orang di grup kami ini memang masih karyawan yang berangkat pagi pulang petang atau malam, sementara mungkin hanya ada tiga orang (termasuk saya) yang kerja mandiri sebagai pekerja lepas, atau kalau bahasa kerennya adalah freelancer, jadi kami yang sedikit ini termasuk sering mendengar keluhan mereka yang bekerja.

Sebagian dari kami terbagi dalam dua pendapat, ada yang menikmati wfh tapi ada juga yang tidak. Eh sebenarnya obrolan ini awalnya dimulai dari pendapat saya mengenai toleransi yang harus diberikan kepada mereka yang terpaksa harus keluar demi mencari nafkah. Ya contohnya kurir, supir taxi, supir angkot, penjual keliling, karyawan pabrik, bahkan bos pun tetap harus keluar seminggu beberapa kali untuk monitor kantor. Jadi kondisi yang mana tak semua orang bisa wfh harus sama-sama dimaklumi, karena ketika kita mengeluh bosan di rumah terus, yang di luar malah pengen banget bisa tetap di rumah dan terima gaji tiap bulan.

“Kalau aku sih sudah lebih suka begini, kerja dari rumah. Tapi kalau memang harus ke kantor ya bagaimana, namanya juga berjuang hidup. Haha…” Orang tua satu.

“Iya dong…. Gak semua orang punya pilihan untuk wfh kaaan?” Saya menyahut.

“Tapi aku malah rindu ngantor, Kak. Udah mau gila aku dengan kerjaan di rumah. Kerjaan rumah kayak gak habis-habis.” Orang tua dua.

“Gw sih udah gak kangen sama sekali, udah sangat menikmati di rumah, hahaha…” Orang tua satu lagi. Aku setuju ini.

“Sebenarnya ngantor tuh yang dikangenin bukan kerjanya, tp aktivitas2 sampingannya wkk.” Anak muda satu. Oke aku juga setuju.

“Apa tuh aktivitas sampingan? Lunch sama gebetan?” Orang tua tiga.

“Aku gak tertarik lagi ngantor. Emosi jiwa baru keluar udah kena macet. Rasanya pengen kutabrak-tabrakin aja semua yang bikin macet itu.” Ini saya. LOL.

“Tapi lu kan enak, Pak, di rumah diurusin. Kalau kita emak-emak, udah ngerjain kerjaan kantor, plus ngerjain kerjaan rumah, pening. Apalagi yang anaknya tiga.” Orang tua empat. So doi ceritanya berkata mewakili dirinya dan mewakili satu teman lagi, emak-emak anak tiga. Nah, ini yang saya gak setuju banget.

Stop Complaining

Ada yang salah dengan kalimat di atas. Itu kalimat curhat yang seolah-olah menyiratkan kita sebagai ibu bekerja yang tak ikhlas mengurus keluarga dan anak. Saya bukan mau judging lho ya, karena saya pun dulu ada dalam kondisi itu. Hidup ini kan berjalan seperti adanya, dan dalam hidup selalu ada pilihan.

Dan menurut saya, apapun pilihan yang ada, maka yang utama pastinya adalah keluarga. Kalau ibunya harus bekerja dan anak tidak ada yang menjaga, pilihannya apa? Satu, mencari caretaker apakah keluarga terdekat atau mbak. Kedua, kita sebagai ibu ya berhenti kerja dan mengurus anak. Itu sudah jelas kok.

Lalu kalau kondisinya seperti sekarang harus wfh, sementara anak juga pasti harus belajar dari rumah dan tidak bisa dititipkan ke keluarga terdekat seperti biasa, pilihannya apa? Sama saja. Cari caretaker, untuk membantu meringankan pekerjaan rumah. Kenapa? Karena meskipun kita sebagai ibu ada di rumah, tapi kita tetap karyawan yang punya tanggung jawab sama perusahaan. Gak boleh mengeluh, kerjaan di rumah gak habis-habis padahal tetap harus meeting. Masih juga mengeluh karena terpaksa harus pasang internet khusus di rumah? Jangan. Kan kalau dihitung-hitung pengeluaran itu masih lebih murah dibandingkan ongkos transportasi ke kantor.

Membandingkan repotnya pekerjaan mengurus anak sambil harus tetap meeting itu gak adil, lho. Betapapun beratnya, ya nikmati saja. Saya selalu mikir, di luar sana banyak yang belum dikasih rezeki punya anak, maka ketika kita diberikan tanggung jawab itu oleh Yang Di Atas, berarti itu adalah selalu menjadi pilihan utama.

Saya bukannya tak pernah mengeluh. Ketika anak harus belajar di rumah sejak Maret kemarin, mau gak mau kan harus didampingi, tapi pekerjaan sampingan yang kecil-kecil juga butuh konsentrasi. Belum lagi ketika si mbak pulang, maka kerjaan tambah banyak kan? Karena saya harus melakukan semuanya sendiri, yang ada saya marah-marah. Tapi meskipun marah-marah, saya pun tahu saya masih ada pilihan. Pilihan untuk tidak membersihkan rumah setiap hari biar gak capek, misalnya. Bisa kan? Lalu pilihan untuk delivery makanan saja biar gak repot masak. Bisa juga. Tapi kan kalau begitu, rumah jadi kurang bersih terus dompet pun koyaklah yaaa kalau beli gopud terus. Hahah….

Tapi tetap pilihan lain, yaitu manage waktu dan berbagi tugas dengan Vay. Selama bisa disiplin ngikutin jadwal, mestinya semua lancar, itu prinsip saya. Memang gak gampang sih buat Vay, karena sudah terlalu lama di rumah akhirnya kebiasaan bangun siang, dan itu pastinya bikin maminya emosi.

Kalau sudah begitu bagaimana? Ya sudah, nikmati sajalaahhh… sambil ngopi cantik pakai kopi hitam enak.


Baca juga: Alasan Minum Kopi Sehat Bagi Wanita


Kopi Hitam Enak

Jadi kesimpulannya apa? Ya intinya adalah, jangan mengeluh pada keadaan atau kondisi, perbanyak pilihan saja.

-ZD-

Sharing is Caring
  • 2
    Shares

by

About Zizy An emotional mother of one daughter who likes to share her life journey. Passionate in travel, photography, and digital content. Drop your email to hello@tehsusu.com to collaborate.

3 thoughts on “Stop Complaining

  1. Aku gak pernah merasa WFH, hahaha. Tapi aku gak kebayang seh kalau harus 4 bulan di rumah aja sama anak mbak. Gimana ya kondisinya sekarang.

  2. Halo Mbak Zizy, sudah lama tidak berkunjung ke tehsusu nih.
    Iya sih, wfh memang tergantung orang, pekerjaan dan keadaan di rumah untuk bisa dinikmati atau tidak.
    Soalnya kan wfh itu bukan berdiam diri di rumah, tapi melakukan pekerjaan yang biasanya di kantor, menjadi di rumah.
    Saya sendiri 3 bulan awal pandemi, full wfh. Baru bulan ini ada tugas piket ke kantor beberapa hari dalam seminggu.

    Saya menikmati wfh walaupun tidak bisa fokus mengerjakan tugas kantor karena ada anak. Anak saya belum genap 3 tahun umurnya, jadi belum mengerti, kalau melihat orang tuanya di rumah mungkin dipikirnya weekend kali ya, jadi maunya main bareng. Hehe.

    Sehat selalu Mbak.

    • Zizy Dmk

      Halooo….
      Lama gak bw-an.
      Setuju banget, kalau parents wfh berarti ada kerjaan dobel (*dalam tanda kutip) karena anak yang masih kecil tentu gak tahu apa itu wfh, yg penting dia lihat ayah ibunya di rumah. Memang harus belajar menikmati keadaan…. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *