drama naik pesawat

Dua Drama Sebelum Naik Pesawat

Teringat pada perjalanan pesawat terakhir saya, saat mau pulang ke Jakarta sehabis mengelilingi Danau Toba.

drama naik pesawat

Drama pertama terjadi saat kami harus jalan dari Tongging menuju Medan, untuk mengejar pesawat. Sejak awal, ketua rombongan sudah mengingatkan agar semua peserta memesan jadwal penerbangan di atas jam tujuh malam agar kita masih ada waktu untuk mampir ke Duren Ucok dan kemudian meluncur ke bandara. Namun salah satu peserta yang kami sebut Pak Dokter malah memesan tiket jam lima sore (alasannya karena besoknya dia harus kerja). Bah! Semua orang pun besoknya kerja, lho.

Bayangkan saja, itu hari Minggu dan untuk turun ke Medan itu jalur hanya satu, jadi kalau sudah terjebak macet, kelarlah. Dan memang demikian! Jam dua belas siang kami mampir sebentar untuk makan siang, lalu setelah itu driver kami tancap gas segila-gilanya demi bisa sampai di Medan, nanti rencananya Pak Dok akan diturunkan di Simpang Pos Medan, lalu naik taxi  ke bandara. Driver harus ngebut karena waktunya mepet, lalu ternyata macet pula karena arus balik yang liburan di Berastagi sekitarnya sudah jalan balik ke Medan. Potong sana potong sini dan rem mendadak. In my opinion, Pak Dok seharusnya naik mobil kecil satu lagi, biar saja dia duluan sampai ke bandara daripada bikin semua orang repot.


Psst: Baca perjalanan saya mengelilingi Danau Toba di sini:

  1. Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati – Sunset di Bukit Indah Simarjarunjung

  2. Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati – Menyegarkan Pikiran di Bukit Gajah Bobok

  3. Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati- Sunrise di Tele Terlalu Indah

  4. Indahnya Danau Toba Terasa Sampai Hati – Bukit Holbung Samosir


Saya mendapati rekan di sebelah saya menahan napas karena tegang. Sebenarnya bukan hanya dia, tapi sepinya suasana di dalam Hi-Ace adalah bukti betapa suasana kemarin begitu tegang. Saya deg-degan tapi saya percaya driver kami sangat cakap, terlihat dari caranya menyetir. Dan tentu saja dia sudah menguasai medan, sudah hapal kelokan-kelokan dari Berastagi ke Medan. Leader kami Boto Saragih pastinya selow aja, soalnya dia orang Dairi, udah terbiasa juga. Jadi ya selama kebut-kebutan itu, yang saya lakukan adalah menandai kita sudah sampai di mana, dan dalam hati cuma bilang, “Duh ini sih masih jauh.”

Setelah kami akhirnya sampai dengan selamat di Simpang Pos, dan Pak Dok sudah naik taxi online menuju bandara, bapak driver berkata dengan lega, “Dari tadi aku pertaruhkan nyawa biar sampek mobil ini ke Medan.”

Setelah itu kami makan duren dulu di Duren Ucok, rekan-rekan fotografer penggila duren memuaskan dahaga di sini. Saya hanya beli beberapa kotak saja untuk dibungkus bawa ke Jakarta. Sebenarnya saya ingin mampir ke rumah, mau ketemu mami dulu, tapi gara-gara sudah sore sampai Medan, lalu jalanan Medan juga suka macet saya jadi ragu untuk pulang ke rumah. Saya menelepon mami saya dan bilang saya gak mampir lagi ya (kan sebelum keliling Danau Toba sudah pulang dulu ke rumah) dan langsung akan ke Kualanamu.

Drama berikutnya terjadi saat di Bandara Kualanamu. Sebenarnya kami tiba tepat waktu (artinya masih ada cukup waktulah buat saya untuk mencari oleh-oleh aksesoris buat Vay, atau minum kopi, dan lain-lain). Jadi sebelum masuk ke ruang tunggu, kami saling berpisah sebentar untuk keperluan, entah ke toilet atau membeli sesuatu, baru nanti barengan masuk ruang tunggu.

Dan, ketika kami masuk ke ruang tunggu, dan backpack kamera harus masuk mesin X-Ray, di situlah kasusnya. Layar x-ray menunjukkan ada suatu benda kecil memanjang di dalam backpack saya. Dan saya harus membuka backpack saya dan mencari benda kecil apa itu. Emosi langsung, soalnya ini namanya membongkar susunan yang sudah pas. Mengeluarkan filter, flash, pouch berisi trigger, baterai cadangan, dan kunci-kunci. Ternyata benda mencurigakan di layar x-ray itu adalah beberapa kunci L. Itu biasa saya bawa di dalam tas kamera untuk kebutuhan mengetatkan L-plate.

drama naik pesawat terbang

Menurut petugas benda itu tidak bisa dibawa ke pesawat. Lalu saya katakan, itu kan perlengkapan fotografi. Saya berangkat dari Jakarta dengan backpack ini, isinya juga sama. Bahkan L-plate itu sudah ada di dalam pouch sejak lama, jadi mau tukar backpack sekalipun, itu satu set di dalam pouch, pasti saya bawa terus setiap berangkat. Ke Bali tahun lalu juga saya bawa, ke Medan akhir tahun juga saya bawa, dan ke Medan lagi awal tahun kemarin juga saya bawa, dan selalu aman. Jawaban petugas, mungkin tidak terlihat di mesin x-ray di bandara Soeta.

“Ya sudah, lalu bagaimana?”

“Ini masukin bagasi saja Bu, Ibu balik lagi ke counter.”

Nah, kan itu namanya bikin marah. Itu barang kecil lalu kita disuruh antri ulang di counter (yang sudah panjang oleh antrian) hanya untuk masukin barang kecil itu. Lalu nanti masuk ke bagasi, apa iya selamat itu barang kecil sampai ke tujuan? Mungkin pas meluncur ke bagasi aja udah hilang dia.

Semestinya untuk barang-barang seperti ini bisa diberikan tag khusus seperti untuk troley baby yang akan dilipat begitu akan naik ke pesawat. 

Karena saya cukup lama di situ, Boto Saragih datang menghampiri. “Kenapa, Kak?” Saya menjelaskan masalahnya.

Tapi petugas bandara memang katanya tidak bisa membantu untuk mengambilkan nomor ke counter,  padahal itu akan jauh lebih efektif dia yang ke sana mengambil nomor bagasi ketimbang penumpang harus mengantri ulang.

Saya bilang, “Ya sudahlah, Mas. Ambil aja ini buat apa kek.”

Mungkin kunci L ini harganya tidak seberapa, tapi yang bikin saya kesal adalah karena kenapa sekarang jadi masalah setelah beberapa kali pergi naik pesawat tidak pernah jadi masalah. Petugas bandaranya yang tidak teliti atau mesin x-ray di Kualanamu lebih canggih, atau sebenarnya benda kecil ini bukan masalah? Beuh!

Gara-gara kunci L akhirnya waktu cukup terbuang, dan akhirnya saya tak sempat mau nongkrong ngopi. Sudah tiba saatnya untuk boarding naik pesawat. Hmph.

Begitu naik pesawat, saya langsung pasang bantal leher pijat yang suka saya bawa kalau bepergian naik pesawat. Syukurlah ada bantal ini, jadi lelahnya saya karena lelah di jalan dan lelah karena marah kehilangan kunci L (hahahaa) terbayar oleh nyamannya istirahat di pesawat. Bantal leher adalah satu barang yang wajib saya bawa kalau traveling, biar enak tidur di perjalanan kannn….

NB: Tenang, saya masih punya banyak kunci L di rumah. Besok-besok saya coba lagi nanti bawa kunci L di backpack.

Question! Kalian punya drama saat naik pesawat? Terus apa barang yang wajib dibawa kalau mau traveling jauh naik pesawat atau kereta?

Salam,

-ZD-

3 Comments

  1. Zam

    bepergian dengan rombongan begini kadang ngeselinnya kalo satunya ngga punya rasa kebersamaan, bahwa kalo dia telat, semua bisa kena masalah..

    soal barang yang harus ditinggal di bandara, saya pernah nyesek waktu dari Singapura, ngga pake bagasi karena pake penerbangan murah, beberapa botol Nutella dan Ovomaltine yang saya beli untuk oleh-oleh harus dikeluarkan dari tas dan dibuang ke tempat sampah oleh petugas karena selai termasuk barang cair yang tidak boleh masuk bagasi. saat itu saya ngga tau kalo selai dianggap cairan. nyesek, tapi aturan ya aturan.

    menurutku, petugas bandara tersebut sudah cukup tegas. tapi yang kadang bikin kesal ya itu, kadang di bandara A bisa, eh di bandara B tidak boleh. saya pernah lihat di bandara Berlin Schönefeld, ada ibu-ibu bawa anak, di dalam tas kabin dia bawa botol berisi air. oleh petugas dilarang dibawa masuk, dan harus ditinggal, atau air dibuang. si ibu memohon-mohon untuk diperbolehkan membawa botol air tersebut dengan alasan untuk anaknya, tapi petugas dengan tatapan dingin dan tegas tetap tidak meloloskan. karena memang aturannya kan begitu, tidak boleh membawa cairan lebih dari 100 mL.

    sejak saat itu, aku bener-bener persiapkan barang-barang mana yang bakal dibawa kalo traveling, terutama naik pesawat. mending bawa barang yang tidak berlebihan. kalo ragu, bisa masuk kabin atau tidak, masukkan ke bagasi semua. apalagi aturan penerbangan di Eropa lebih ketat, yang untungnya informasinya bisa diakses dengan mudah.

    kebiasaan lain yang juga saya terapkan adalah datang ke bandara jauh lebih awal (minimal 2 jam dari jam keberangkatan) demi mengantisipasi hal-hal tak teduga seperti ini. selama belum masuk ruang tunggu, rasanya belum tenang.

    • Zizy Dmk

      Rasanya prinsip kita sama soal harus sampai lebih awal di bandara. Biar tenang gitu jadi apapun kejadian kita sudah di bandara. Dan sangat sangt setuju, urusan satu orang yang bikin repot orang lain. But eniwei, sayang sekali ya Nutella dibuang begitu, kadang petugas2 memang tak mau repot atau empati ke penumpang. Mestinya itu tinggal disegel saja, atau dikirim ke bagian bagasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *