[Lombok Trip] Sunset di Pantai Selong Belanak

[Lombok Trip] Sunset di Pantai Selong Belanak

Pantai Selong Belanak
Pantai Selong Belanak

Ketika ke Lombok beberapa waktu lalu, ada satu pantai lagi yang membuat saya jatuh hati, selain Tanjung Aan Beach.

Namanya Pantai Selong Belanak, yang berada di Desa Selong Belanak, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah. Kalau dari bandara, dekat. Jadi misalnya nih ya, pesawat kita tiba di bandara siang, cocoknya makan siang dulu di dekat situ kemudian ke pantai ini untuk menikmati sunset. Inilah tepatnya yang kami lakukan kemarin, berburu sunset ke pantai ini.

Benar. Kalau ditanya, apa yang bisa membuat suasana hati lebih baik? Buat saya, pastinya sunset. Meski hati sedang gundah, tapi sunset yang indah selalu bisa membuat mood menjadi sedikit lebih baik. Inilah nikmat dari Tuhan yang bisa dinikmati kapan saja, tanpa bayar.

Jam empat sore kami bertiga (saya dan dua teman) tiba di Pantai Selong Belanak, setelah menempuh perjalanan satu setengah jam dari kota Mataram. Menukar sepatu dengan sandal jepit, menenteng tripod dan membawa tas kamera. Tak lupa membawa pecahan uang untuk keperluan minum atau toilet.

Pantai sudah tidak terlalu panas, dan suasana pun tidak terlalu ramai. Ada segelintir saja wisatawan asing yang baru selesai berenang di pantai, dengan kulit gosong akibat terpapar matahari.

Ombak-ombak ukuran sedang menjilati bibir pantai. Tidak terlalu besar. Airnya pun jernih. Saya langsung bisa membayangkan Vay berenang sore-sore di sini. Ternyata di pantai ini ada dua sisi pantai yang bisa dipilih. Ada sisi yang ombaknya cukup tenang (sepertinya sih sisi yang kami datangi ini termasuk yang tenang) sehingga cocok untuk berenang, serta sisi yang ombaknya cukup kuat sehingga bisa dipakai untuk berselancar.

Ah semoga nanti bisa ke sini bawa Vay ya! Eniwei, yang unik dari pasir Pantai Selong Belanak ini adalah, ketika terkena air menjadi padat. Makanya sepeda motor pun bisa lalu lalang di sini. Kalau siang banyak sapi lalu lalang, tapi kemarin kita datang sore dan tidak ada sapi di sana.

Kami bertiga berjalan menyusuri pantai. Mulai mencari-cari tempat yang asyik untuk memotret. Bibir pantainya luas sekali, jadi siapa pun akan kebagian tempat bermain di pasir dan ombak. Garis pantainya juga lumayan panjang, didampingi bukit-bukit hijau di sekitarnya. Kalau mau, kita bisa menyeberang ke sisi sebelah sana dengan perahu, untuk menikmati pemandangan bukit-bukit atau pemandangan tepi pantai dari sisi laut.

Tapi pantai ini memang ngademin sih kalau menurut saya. Semakin sore, makin banyak warga yang datang. Sebagian ada yang duduk-duduk di jembatan galon sambil mengobrol, sebagian lagi yang membawa anak langsung main air. Pemandangan paling menarik adalah nelayan yang beramai-ramai mendorong perahu mereka ke tengah laut. Mau melaut pasti, pikir saya.

Seorang nelayan yang lewat memberi tahu, kalau makin malam nanti kita akan melihat laut jadi lebih indah, karena akan terlihat titik-titik lampu di tengah sana.

Akhirnya sunset pun tiba. Ya ampun, sumpah indah sekali. Awan-awannya yang bergulung membuatnya sangat dramatis. Siangnya, dalam perjalanan kan sempat hujan, dan kami berharaplah semoga saat tiba di pantai hujan sudah berhenti dan langit bersih tanpa awan. Tapi ternyata awan tetap bergayut. Meski demikian, justru itulah yang membuat lukisan langit jadi begitu indah. Dan benar kata nelayan yang tadi, dari tengah laut terlihat lampu-lampu dari perahu nelayan, seperti bintang. Meski tidak terlalu kelihatan jelas karena ada awan yang bergayut, tapi tetap indah.

(Gak percuma berdiri tiga jam di pantai menunggu sunset)

(Kami takut mataharinya lari, jadi dijaga terus, hahah)

Dua orang pemuda baru datang menjelang gelap, dan duduk di jembatan. Mereka membawa bungkusan makanan, yang kemudian dibuka dan mereka pun duduk untuk santap bersama. Sadar saya sedang mengamati mereka, keduanya menganggukkan kepala, yang saya balas dengan senyuman. Saat saya akan menyeberang melewati jembatan, salah satu berkata, “Maaf ya Mbak, kami alay.” Yang saya balas dengan kibasan tangan, “Eh gpp lho Mas. Silakan.”

Mungkin mereka malu kali ya, takut saya mikir mereka gimana gitu karena duduk-duduk di pantai sambil makan nasi bungkus? Lha justru saya dalam hati iri gitu, lho. Cara mereka menikmati hidup ini dengan apa adanya, dengan spontanitas, dengan kehangatan pertemanan, itu mahal sekali. Ya, mahal. Saya tidak seperti mereka lagi, tidak punya pantai dekat rumah seperti kecil dulu. Tak bisa setiap saat duduk di tepi pantai sambil makan goreng pisang dan minum kopi. Tak bisa setiap saat melompat ke laut bila mau. Momen kamu ini mahal, Kawan!

Saat hari semakin gelap dan ketika kami beranjak akan pulang, seorang bapak nelayan menghampiri kami. Kami berbincang-bincang sebentar, dan dari beliaulah saya tahu bahwa nelayan yang menyeberang ke sana itu sedang menebar benih lobster. Saat kami tanyakan kenapa tidak ada sapi yang jalan-jalan di pantai, ternyata karena ada jembatan galon itu. Itu seperti pembatas, sehingga sapi tidak bisa masuk ke sisi sini.

Saya sempat menanyakan juga hotel dan homestay sekitar sini, karena kalau dilihat-lihat suasana sudah senyap dan gelap. Tapi tentu saja, menikmati malam di tepi pantai itu pun rasanya sesuatu. Siapa tahu kan nanti mau ke sini lagi. 🙂

-ZD-

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *