Pengen cerita ah tentang Medan, kota yang saya tinggali sebelum Jakarta. Kalau dihitung-hitung, lama saya tinggal di Medan 20 tahun, lalu pindah ke Jakarta sampai sekarang sudah 13 tahun lebih.
Banyak teman lama di Medan bertanya, kira-kira saya masih ingin kembali tinggal di Medan gak nanti kalau sudah pensiun? Ya saya jawab belum tahulah, tengok situasi dululah ya kan?
Terus kan, meskipun udah lama di Jakarta, tapi kalau pas lagi nongkrong di mana gitu, suka ketemu aja gitu orang Medan yang langsung bikin saya kangen sama Medan.
Seperti bulan lalu saat saya dan Vay mampir ke kedai kopi di KoKas untuk membeli choco chip frappucino Vay. Saat itu kami sudah duduk di kursi yang memang sudah diatur jaraknya mengikuti aturan physical distancing. Lalu datanglah dua perempuan muda yang lalu duduk di seberang kami.
Tak lama mereka mengobrol, dengan suara sedang tapi gak terlalu pelan, dan telinga saya langsung terbuka. Keknya orang Medan ini, begitu batin saya. Eh malah saya keterusan mau nguping haha…
Lalu teringat juga pada kejadian setahun yang lalu. Waktu itu masih di kedai kopi yang sama, saya lagi duduk sebentar menunggui Vay yang sedang santai minum. Lalu sebelah kami, pas empat orang cowok cewek mengobrol dengan suara kencang. Telinga saya sudah kebuka dong pastinya, tapi yang harus digarisbawahi adalah anak saya yang langsung refleks menoleh ke arah mereka karena kaget dengan suara kencang dan dialek yang khas, lalu balik memandang saya sambil senyum lebar. “Teman Mami,” katanya. LOL.
Teman-teman dekat saya di Jakarta ini sering salah mengira kalau saya dan keluarga di rumah pasti ngomongnya pakai bahasa Medan (atau dikira mereka pakai bahasa Batak). Bisa jadi mereka pada mikir begitu karena selama bergaul dengan mereka saya rajin mengeluarkan sisi orang Medan saya, dan juga gaya bataknya. Ini baru kira-kira tujuh-delapan tahun belakangan saja saya semakin rajin balik ke gaya Medan, gara-gara saat itu ada anak baru asal Siantar, Bernad yang baru masuk divisi kami. Begitu dia tahu kami satu kampung, langsung keluarlah kan bataknya. Saya pun jadi ketemu teman, dan akhirnya bisa mengeluarkan kangennya ngomong Medan.
Lalu ketika ada teman sekantor, Nessa, dinas ke Medan dan dia ngomongnya “kebatak-batakan dan ke-medan-medanan”, orang Medan bingung kok bisa ini orang Jakarta jago kamus bahasa Medan. Dari mana dia belajar bahasa Medan? Terus teman saya bilang, “Tahu dari KakZy lah!” LOL. Terus yang di Medan bilang heran kok bisa semua jadi terikut-ikut karena si Zizy? Padahal selama di Medan dia gak terlalu kelihatan Medan-nya. Selolahhh….
Tapi sesungguhnya, di rumah tidak ada yang ngomongnya kek orang Medan atau kebatak-batakan, selain saya. Ayahnya Vay (meskipun Batak) aslinya besar di Jakarta jadi gak bisa dia sok-sok jadi orang Medan, pasti kaku, gak cocok. Mending gak usah sok jadi orang Medan daripada diketawain. Vay apalagi.
Di rumah opung Vay di Medan, kita ngomongnya campur, mixed antara bahasa Medan dan bahasa Papua. Buat yang belum tahu, mami saya keturunan Ambon dan sebelum pindah ke Medan kami tinggal di pulau indah di Papua, pulau Biak.
Bahasa Orang Medan bukan Bahasa Batak
Saya bilang begini karena masih banyak yang mengira Medan itu kota orang Batak. Padahal kota Medan itu terdiri dari banyak etnis, dan meskipun kita sering ketemu orang bermarga di Medan, belum tentu ngomongnya Batak. Kalau orang Medan pasti ngomongnya pakai bahasa Medan yang sudah tercampur dengan bahasa melayu, sementara kalau mau dengar orang Batak asli ngomong ya main-mainlah ke Pematangsiantar, itu yang paling dekat. Jadi bisa dikatakan kamus bahasa Medan itu ya campur-campurlah dengan kamus hokkien Medan, kamus melayu Medan. Karena memang orang Medan itu etnisnya sangat beragam.
Awal pindah ke Medan, saya dan abang saya yang masih bocah dibuat terkejut-kejut dengan bahasa ajaib orang Medan. Nanti di bawah saya akan tuliskan kosa kata bahasa Medan sehari-hari yang wajib diketahui sebelum kalian traveling ke Medan ya.
Nah. Sebelumnya saya akan menceritakan dulu pengalaman abang saya saat mau membeli sate di sebuah warung, di beberapa malam pertama kami menempati rumah di Komplek Gaperta, Medan.
Jadi di warung dekat rumah kami itu ada ibu-ibu tua yang menjual sate di panggangan kecil di lantai, jadi bukan dengan gerobak ya. Abang saya lalu bilang ke papi kalau dia mau mencoba sate itu, penasaran itu sate apa. Ya maklumlah kami dari kota kecil tentu sangat excited mencoba hal-hal baru di kota besar. Di Biak makan sate atau mie tiau adalah kemewahan, sebab yang jualan sedikit sehingga harga jual pun tinggi.
“Ya sudah sana, coba tanya,” begitulah kata papi waktu itu. Lalu pergilah abang saya ke sana. Eh tak sampai lima menit dia kembali dengan terengah-engah dan raut wajahnya penuh rasa terkejut.
“Kenapa?” Tanya Papi.
“Dong bilang itu sate kera, Pi!” Seru si abang. (dengan logat Irian yang kental)
Kami semua kaget mendengar itu. “Issh… orang Medan kejam-e… masa dong biking sate dari monyet?” (Bahasa Papua, dong = mereka, biking = bikin)
Tak lama kemudian papi kami mendapat info akurat, kalau itu bukanlah sate kera, tapi SATE KERANG! Hhahaha :))
Pada akhirnya kami pun tahu bahwa sate kerang adalah juga jajanan khas Medan yang terkenal. Tak jarang jadi bekal oleh-oleh selain duren, bika ambon, bolu meranti, teri medan, dannnn lain-lain. Gak usah kusebutlah semuanya ya, banyak soalnya kuliner Medan.
Baca ini juga ya woi: Tempat Wisata di Medan yang Wajib Dikunjungi
Sebagai bocah yang pindah dari pulau terujung Indonesia ke kepulauan yang juga paling ujung Indonesia, kami tentu beradaptasi dengan bahasa Medan yang kemudian sekarang melekat dalam diri kami. Kami juga bergaul dengan anak-anak Medan dengan ragam suku yang juga penasaran dengan kami, teman-teman baru yang baru datang dari pulau yang nun jauh di sana, Irian Jaya. Saat itu juga saya baru sadar bedanya Tionghoa Medan dengan Tionghoa di Biak atau Jakarta. Kalau di Medan mereka bicara pakai bahasa aslinya hokkien, tapi kalau di Biak, semua pakai bahasa lokal, ya kurang lebih sama dengan di Jakarta atau di Jawa.
Dan ternyata, orang Medan juga suka menyingkat-nyingkat kata seperti kami di Papua, tapi bahasa Medan jauh lebih beragam karena ada unsur melayu di dalamnya. Dan karena begitu beragamnya budaya di Medan, jadi sangat lumrah sikap kesukuan cukup kuat. Orang Tamil Medan bisa pakai bahasa sendiri, orang Tionghoa Medan juga begitu, tapi untuk sehari-hari semua pakai bahasa Medan yang sama.
Yang suka bikin saya mengernyitkan dahi adalah kalau ada orang Medan, di Medan, tapi sok becakap lu gue. Lu gue itu dipakai kalau kau di Jakarta, pas kau balek Medan, ya normal ajalah, kan kau orang Medan.
Mungkin ini sebabnya, ketika saya baru masuk hari pertama di SD Persit (murid pindahan tengah tahun), saat itu seorang teman baru, cowok berbadan gemuk berkulit putih mengajak saya mengobrol dengan bertanya-tanya seperti, “Irian itu di mana? Kamu tinggal di sana berapa lama?” dst…. lalu ada teman lain yang komplen. Katanya, “Pakek kau-kau ajalah ngomongnya… gak usah pakai kamu.”
Eh eh pernah nih, udah lamaaaa sekali, waktu saya masih di Medan, mau cetak foto, jadi saya masuk ke tempat cuci cetak, terus langsung ke bagian CS, karena kan memang gak ada nomor antrian. Itu ya terserah CS-nya nanti yang harusnya kasih nomor, dong. Waktu saya jalan ke depan, terdengar suara berbisik tapi cukup kuat berasal dari kursi berderet di dekat pintu masuk tadi. “Dasar orang Medan.” Maksud dia itu, karena dianggapnya saya gak tahu antri. Saya menoleh sekilas lalu balik lagi menghadap CS sambil berkata juga cukup kuat, “Hhmpph….yaelah kayak dia bukan orang Medan aja.” Gak usah tipulah, dari cakap kau aja udah tahu aku kau orang Medan. LOL.
Lagipula apa hubungannya orang Medan sama gak tahu antrian? Di mana-mana juga banyak kelakuan orang gak antri. Dan aku bukannya gak ngantri ya, memang gak ada penerima tamu di situ. *Jadi emosi awak kan?
Kamus Bahasa Medan dan artinya
Oke sekarang ini dia kamus bahasa Medan. Semoga cukup ini buat dihapal sebelum jalan ke Medan sekitarnya.
- Aci: boleh. “Enggak aci la woi kayak itu.” Gak bolehlah kayak gitu.
- Acek: sebutan untuk bapak-bapak Tionghoa di Medan.
- Alamak: seruan! Alah Mak. Ini kosa kata terikut-ikut film P. Ramlee yang memang terkenal di Medan berkat siaran TV3
- Alip: permainan petak umpet. “Main alip yok woi..”
- Anak mudanya: sebutan buat jagoan dalam film. “Weees datang anak mudanya.”
- Angek: iri, cemburu
- Apek: panggilan buat kakek-kakek Tionghoa. Sering juga dipakai untuk menggambarkan gaya orang, “Gaya kau kek apek-apek kutengok.” Memang di Medan sudah biasa campur juga dengan kamus hokkien Medan.
- Awak: saya/kamu juga bisa. “Awak masih di rumah ini, bentar lagilah meluncur.”
- Balen: bagi atau minta
- Baling: error, rusak. “Udah baling kawan itu, becakap sendiri dia kutengok.”
- Bang: abang. Di Medan memang biasa memanggil semua laki-laki muda dengan sebutan bang. Jadi bukan “mas”.
- Bandal: bandel, nakal
- Bedangkik: pelit
- Begadang: maksudnya adalah kerupuk kulit segi empat warna coklat, bukan begadang tidak tidur semalaman ya.
- Bedogol: bodoh, bego
- Belacan: terasi
- Bengak: bego
- Bengap: babak belur
- Betor: becak motor
- Bereng: melirik dengan tajam. “Alamak, diberengnya aku tadi.” Ini serapan dari bahasa batak.
- Berondok: sembunyi
- Berhanyut: sebutan untuk kegiatan main ban menyusuri aliran sungai.
- Beselemak: belepotan. “Beselemak kali kau makan.”
- BK: sebutan untuk mengatakan nomor polisi, “Berapa BK motormu?”
- Bocor alus: agak gila (sedeng)
- Bolong: lobang. “Banyak bolong jalan di sebelah sana,” maksudnya mau bilang jalannya berlubang-lubang
- Bonbon: permen
- Bos: sebutan buat orang tua kita (bapak/ibu). “Gimana kabar Bos? Sehat?” Gimana kabar bapakmu, sehat?
- Cak: coba…. “Cak mainkan dulu.”
- Cakap: omong. “Banyak kali cakapmu.”
- Cakap kotor: omong kotor
- Celat: cadel
- Celit: pelit
- Cemana: macam mana? Bagaimana?
- Cetek: dangkal, pendek. “Cetek ajanya airnya.”
- Cengkunek: gaya, omong kosong. “Banyak kali cengkunekmu.”
- Cici: kakak dalam bahasa Tionghoa. Sekarang kalau kita jalan ke Pajak Petisah pun, tiap lewat dipanggil “Tengok-tengok dululah Ci..” Masa aku dipanggil cici? Gak ditengoknya kulitku gelap begini?
- Cincong: cakap. “Gak usah banyak cinconglah.”
- Cop: ucapan saat mau berhenti melakukan sesuatu. “Coplah aku, capek.”
- Deking: orang andalan yang membantu di belakang. “Siapa dekingmu? Kok cepat kali beres urusanmu di kantor itu?”
- Demon: demonstrasi
- Dongok: bodoh
- Doorsmeer: cuci mobil. Nah ini mesti tahu, jadi kalau kita mau pergi ke tukang cuci mobil, pasti bilangnya, “Mau ku-doorsmeer dulu mobil.”
- Ecek-ecek: pura-pura
- Enceng: selesai. “Udah enceng kami main.”
- Eskete: gak bekawan, musuhan. “Esketelah kita.” Biasanya anak kecil kalau berantem ngomongnya gitu.
- Gacok: jagoan andalan. “Mana gacokmu. Ayo main kita.”
- Galon: pom bensin
- Gecor: mulut ember, gak bisa simpan rahasia
- Gedabak: sebutan untuk “badan yang besar”
- Gelek: ganja
- Gelut: kelahi
- Gerot: singkatan dari gegar otak, kata ini digunakan untuk mengatakan orang yang agak aneh tingkahnya
- Getek: genit
- Golek-golek: tidur-tiduran
- Gondok: dongkol. “Gondok aku dibuatnya.”
- Goni botot: abang gerobak butut, biasa lewat depan rumah sambil teriak “Booouuttt…. Botuttttt”
- Gosok/menggosok: menyetrika
- Guli: kelereng
- Hajab: mampus, hancur. “Hajablah aku nanti dimarahi mamakku, ilang uangnya kubuat.”
- Honda: sebutan untuk sepeda motor merek apa aja.
- Ikan laga: ikan cupang
- Kaco: kacau, berantakan. “Kaco kali kau. Kerjaan gak pernah beres.”
- Kak: kakak. Biasa dipakai untuk memanggil perempuan yang lebih tua beberapa tahun di atas kita
- Kali: sekali, banget
- Kamput: merek minuman keras Kambing Putih, jadi kalau mau bilang orang lagi mabok, “Rame-rame kutengok orang itu lagi minum kamput.”
- Kedan: teman, sohib
- Kede sampah: kedai yang jual macam-macam sampai jualan sayuran
- Kede Aceh: warung kelontong (sebab dulu yang biasa berjualan kelontong kebanyakan orang Aceh)
- Kek: kayak, biasa disambung dengan kata mana. “Kek mananya kau kerja? Kok gak siap-siap kerjaanmu?” Siap= selesai
- Kekeh: ketawa.
- Kelen: kalian
- Keling: hitam. Suka dipakai untuk menyebut suku India Tamil di Medan tapi juga dipakai untuk mengejek teman yang kulitnya gelap (saya contohnya dulu diejek keling juga)
- Kelir: pensil warna
- Kepling: kepala lingkungan (di Sumatera gak ada pake istilah RT RW ya)
- Keplor: kepala lorong
- Kereta angin: sepeda
- Kereta: sepeda motor
- Kocik: kecil.
- Kombur: ngobrol atau bercakap-cakap
- Kondor: longgar
- Kongsi: bagi-bagi. “Beli satu aja, kongsi kita.”
- Kopek: kelupas
- Koyak: sobek, robek
- Kuaci: permainan plastik kecil dengan aneka bentuk yang biasa dipakai untuk taruhan
- Langgar: Tabrakan/tabrak.
- Lantak: habis
- Lasak: gak bisa diam. “Lasak kali kaulah.”
- Lego: oper bola. “Jago kali bah kawan itu ngelego bola.”
- Lengkong: cincau hitam
- Lepuk: pukul. “Kena lepuk dia sama orang di kampung sebelah.”
- Lewong/leyong: hilang, raib. “Leyong udah uangku dibawa lari.”
- Ligat: lihai, lincah.
- Limper: lima perak, dulu dipakai untuk uang logam pecahan Rp 5
- Limpul: lima puluh perak, Rp50
- Limrat: lima ratus, Rp500
- Loak: payah, jelek, berantakan. “Loak kali kawan itu sekarang.”
- Lobok: kelonggaran, kebesaran
- Longoh/longor: bodoh, tolol
- Lorong: gang. Makanya tadi ada keplor
- Mak: panggilan antara ibu-ibu muda atau sesama kawan. “Cemana kabarmu, Mak?” Atau, “Mak Vaya apakabar?”
- Manipol: Mandailing polit. Entah kapan istilah ini ada, jadi orang yang pelit disebut manipol apalagi kalau ternyata dia orang mandailing, padahal sifat pelit mah bisa dari suku mana saja
- Main-main: istirahat. Biasa dipakai untuk menyebutkan jam istirahat sekolah, “Keluar main-main,”
- Masuk angin: udah amem. Ini untuk mengatakan makanan semisal kerupuk kondisinya sudah amem dan gak akan kriuk lagi saat dimakan. “Udah masuk angin tu kerupuknya, gak enak lagi.”
- Melalak: keluar terus, jalan terus
- Mengkek: manja
- Mentel: centil
- Mentiko: belagu, suka cari masalah
- Merajuk: ngambek
- Mereng: miring
- Merepet: mengomel
- Minyak: bensin. “Patutlah mogok, habis pulak minyaknya.”
- Minyak lampu: minyak tanah
- Minyak makan: minyak goreng
- Monja/monza: sebutan untuk daerah di jalan Monginsidi, yang menjual pakaian dan barang2 bekas impor, disebut Mongonsidi Plaza, tapi sekarang setiap penjualan baju bekas di Medan sekitarnya disebut “monza”.
- Motor: mobil
- Nampak: Terlihat, kelihatan. “Nah, udah nampak itu gunungnya dari sini.”
- Nembak: kabur. “Habis makan, nembak kawan tu.” Habis makan kabur gak bayar.
- Ngeten: mengintip, adaptasi dulu dari bahasa Batak.
- Nokoh: menipu. “Nokoh aja dia kerjanya,” menipu saja kerjanya dia.
- Ompa’an: untuk menyebutkan sifat orang yang senang dibaik-baikin
- Orang itu: mereka. “Udah capek kali awak bilangin Kak. Tetap gak mau dengar orang itu.”
- Oyong: limbung, keleyengan
- Pajak: pasar. Pajak Petisah, Pajak Sambas
- Pala: tidak terlalu. “Gak pala bagus juga barangnya.”
- Palak: bukan kena palak, tapi ini untuk mengatakan rasa sebel atau kesal. “Palak kali aku dibuatnya.”
- Palar: demi, dibela-belain
- Panas: demam. “Anakku lagi panas ini.”
- Pande: pandai
- Panglong: toko bangunan
- Pangkas: sebutan untuk potong rambut
- Parah: sebutan untuk orang yang gak bisa diharap. “Parah kali kawan itu, gak bisa dimintai tolong.”
- Paret: parit, got besar
- Pasar: jalan
- Paten: bagus, hebat
- Paok: bodoh
- Payah: susah. “Soal ujiannya payah kali.”
- Pekak: tuli
- Pencorot/corot: nomor paling belakang. Biasa dipakai untuk menyebutkan ranking di kelas. “Pencorot dia di kelasnya.”
- Perli: menggoda cewek
- Perei, prei: libur. “Perei dulu kami hari ini.”
- Pesong: tidak waras
- Pinggir: kalo naik angkot mau menepi teriaknya gini: Pinggir Bang!
- Ponten: nilai
- Porlep: sebutan untuk tukang angkut barang di bandara
- Raun-raun: jalan-jalan, keliling-keliling kota
- Recok: berisik
- Rol: mistar, penggaris
- Roti: sebutan buat semua jenis kue basah atau biskuit disebut roti
- RBT: Rakyat Banting Tulang, ini sebutan buat ojek
- Rupanya: ternyata
- Sarap: gila
- Sedeng: gila, sinting
- Selop: sandal
- Selow: slow, lambat
- Semak: berantakan, tak terurus. “Pangkaslah rambutmu, semak kali kutengok.”
- Semalam: Kemarin (mau pagi, siang sore, malam atau dini hari tetap dikatakan semalam)
- Sengak: ketus!
- Senget: gila, tidak waras
- Sepeda janda: sepeda jaman dulu yang besar itu
- Setil: gaya
- Setip: penghapus
- Sewa: digunakan oleh supir angkot atau betor sebagai pengganti kata penumpang. “Mau cari sewa dulu hari ini.”
- Siap: selesai. “Aku udah siap makan, ni. Pergi kita yok.”
- Sikit: sedikit
- Silap: keliru, salah
- Simpang: pertigaan atau perempatan jalan
- Somboy: buah kering asinan cina yang terkenal di Medan, rasanya asem-asem dan berwarna merah
- Sor: suka
- Stedy: keren. “Lu orang stedy terus ya, gayanya oke.”
- Sudako: angkot paling legendaris di Medan, pintunya bukan samping tapi belakang
- Tahapahapa: entah apa-apa. Merujuk pada orang yang susah dipahami perbuatan atau perkataannya. “Tahapa-hapalah kawan tu cakap. Gak ngerti aku.”
- Tarok: letakkan
- Teh tong: air minum biasa
- Teh manis dingin (mandi): es teh manis
- Telekung: mukena
- Tenggen: mabok
- Tepos: bokong rata
- Tepung roti: tepung terigu
- Terge: peduli. “Gak ditergenya aku dari tadi, lho.”
- Tekongan: tikungan
- Tekong: tikung, biasa dipakai di kalimat, “Kasihan si A, kena tekong cewek dia sama si B.”
- Tengok: lihat atau maksudnya adalah perhatikan baik-baik. Contoh kalau lewat toko akan dipanggil begini, “Masuklah Kak. Tengoklah dulu, mana tahu cocok.”
- Titi: jembatan
- Tokoh/nokoh: menipu. “Kawan itu gampang kali ditokohi orang.”
- Tokok: jitak. “Mo kutokok kepalanyalah. Bikin khawatir orang aja ngilang gak ada kabar.”
- Tonggek: bokong besar (kebalikan dari tepos)
- Toyor: pukul
- Tukam: takziah, melayat
- Tumbok: pukul/tumbuk
- Tungkik: kotoran telinga, suka dipakai menyebut orang yang dipanggil gak peduli. “Tungkik kurasa dia.”
- Ubi: singkong
- Uwak: sebutan buat orang yang sudah tua
- Wak Geng: ketua geng, bos remannya
- Wayar: kabel
- Woi: “Hei!”
Lalu ada istilah di bawah ini yang makin populer karena dipakai oleh Alm. Sutan Bathoegana tapi sebenarnya sudah jadi bahasa gaul sehari-hari orang Medan.
197. Ngeri-ngeri sedap: ketar-ketir, deg-degan menghadapi situasi. Situasi yang cocok digambarkan, misalnya kita mau atau habis ketemu seorang CEO untuk final interviu dan kita ceritakan pada teman kalau situasinya tadi “ngeri-ngeri sedap”, agak ngeri tapi aman juga… kurang lebih begitu.
198. Masuk barang tu / masok dia: ungkapan ketika akhirnya keluar jurus pamungkas yang ditunggu-tunggu
Tambahan Kamus Bahasa Medan Percakapan
Jadi ingat lagi, beberapa minggu lalu seorang sahabat lama di Medan menelepon. Namanya Rossita, temen kuliah saya dulu.
Begini kita ngobrolnya:
“Mak, apa kabar? Sehat kelen kan?”
“Sehat aku, Mak Ros. Kau sehat?”
“Alhamdullilah sehat.” jawabnya. “Aku lagi di kede kenalanku ni, Mak. Orang ini jualan kopi, terus kukasihlah kopi darimu, biar dicobak orang ini kan.”
“Udah kusuruh orang ini polo kau, ya.” Polo = follow.
“Tapi kau kutelepon dululah, aku tahu nanti kau pasti gak mau nerge orang, kalau kau gak kenal.” (terge-red)
“Iyalah, namanya pun gak kenal.” jawab saya. Maksudnya, ‘iyalah, kan gak kenal’.
Lalu kami berdua ketawa.
Sedikit tambahan lagi terjemahan bahasa medan
- Bahasa Medan aku sayang kamu, Holong rohanghu tu ho. Ini sebenarnya bahasa Batak, ya, tapi diadaptasi juga sebagai bahasa Medan
- Bahasa medan apa kabar, sebenarnya adaptasi juga dari bahasa Batak, “Songon dia baritana”
- Apa arti bodat dalam bahasa Medan. Kata “bodat” ini berasal dari bahasa Batak, artinya monyet. Biasanya dipakai untuk mengumpat orang lain.
Apa sebenarnya maksud kata “apakan dulu”?
Inilah yang paling sering mengundang tawa. Jangankan orang luar Medan, orang Medan ajapun kadang suka ketawa sendiri kalau udah sampai pada percakapan pamungkas ini.
“Dek, tolonglah dulu apakan itu biar apa dulu.” Maksudnya apa coba? Hahaha… ini maksudnya hanya bisa ketahuan kalau ada peraganya. Misalnya saya mau minta tolong anak saya merapikan sesuatu, maka saya akan tunjuk barangnya, lalu entah kenapa mau bilang panjang-panjang kan capek ya, jadilah pakai “Tolonglah apakan dulu biar apa.” Dan anak saya terkekeh-kekeh sendiri karen geli dengan bahasa maminya.
Ya kurang lebih itulah yang saya ingat ya, kalau ada yang mau menambahkan silakan lho. Semoga tulisan ini bisa membantu bagi yang ingin belajar bahasa Medan.
Oh iya, kalau kalian jadi jalan-jalan ke Medan, jangan lupa melipir juga ke sekitarnya, main-mainlah atau kemping di Bukit Gajah Bobok, atau bisa juga mampir ke Taman Simalem Resort. Dua tempat wisata di Tanah Karo itu memang termasuk yang kelewatan indahnya, saking keterlaluan indahnya, pasti nyesal kalau gak mampir. Di sana kalian akan bisa melihat indahnya Danau Toba dari sisi lain. Percayalah kataku, percuma liburan jauh-jauh ke luar negeri, tapi kalau belum pernah melihat langsung danau fenoemenal di negeri sendiri ini, RUGI!
Salam,
ZD
Pingback: 6 Tempat Wisata di Medan Yang Dapat Dikunjungi Setelah Pandemi | Life and Travel Journal
Pingback: Tempat Wisata di Medan Namanya Danau Linting | Life and Travel Journal
Pingback: Masa Cuma Mau Makan Lupis Harus ke Mr. Boey's Cafe? | Life and Travel Journal
Pingback: Siang Penuh Keringat di Central Park Zoo & Resort, Pancur Batu | Life and Travel Journal
Senyum2 aku bacanya. Soalnya aku baru satu taun pindah dari Medan ke Jkt. Cop bisa juga dipakai kalo lagi memilih sesuatu. “Cop, aku pakek baju yg ini ya.” Aku cop kue yg ini.”
Sekarang aku mulai belajar bahasa sini, biar yg denger ga bingung. Masih sering salah juga. Kayak minta pipet utk minum. Ya bingung la si penjual. Rupanya di sini bilangnya sedotan.
Tapi sayang juga ya kalo sampe lupa bahasa Medan. Penting juga ini sering ngobrol dgn sesama perantauan Medan. Mesti asyik, ga musti mikir dulu, haha..
Hahaha…. iya kan, di Medan bilangnya PIPET. Sama teh manis dingin di sana. Di sini mesti jelas, es teh manis.
Pingback: Berkaca dari Kasus Dokter Pakai Plat Nomor Rusia di Medan, Sebenarnya Plat Nomor Boleh Dimodifikasi Gak? | Life, Parenting & Travel Journal Mommy Blogger